Jumat, Maret 23, 2007

Inul Vs Rhoma dalam Perspektif UU Hak Cipta

Tulisan ini pernah dipublikasikan www.hukumonline.com edisi 15 Juni 2003

Oleh : Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta


Inul Daratista, 'Sang Bintang' kembali beraksi. Setelah meluncurkan album perdananya yang bertajuk Inul Bergoyang, kini Inul kembali menjadi berita. Pelantun dangdut yang memiliki nama asal Ainul Rokhimah dan sempat diulas dua halaman oleh majalah internasional Times, ini mendapat gelar Ratu Ngebor . Suatu julukan yang diberikan atas gaya goyangnya yang seperti ngebor saat melantunkan tembang. Kini, Sang Ratu menuai protes dari Raja Dangdut, Rhoma Irama, selaku ketua Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI).

Rhoma protes atas gaya goyang ngebor sang ratu. Ia menilai goyang Inul sensual, erotis, dan bisa merusak moral bangsa (selanjutnya disebut erotis). Bahkan, Raja Dangdut 'mengharamkan' lagunya dinyanyikan oleh sang Ratu Ngebor dan beberapa penyanyi lain yang dianggapnya melantunkan lagu dengan goyangan yang erotis. Konon, larangan tersebut juga berlaku bagi lagu ciptaan anggota PAMMI lainnya (Rhoma dkk.).



Tulisan di bawah ini tidak bertendensi pro atau kontra atas goyang ngebor Inul termasuk dalam kategori erotis atau bukan. Tapi, menitikberatkan pada (i) hak pencipta lagu terhadap lagu ciptaannya, (ii) konsekuensi hukum yang ditanggung oleh pelantun tembang apabila melanggar larangannya dalam perspektif Undang-Undang Hak Cipta, dan (iii) otoritas pencipta lagu untuk menafsirkan Erotis atas pelantun lagu yang dilarang menyanyikannnya.


Pencipta lagu dan hak cipta



Presiden telah mengesahkan UU No. 19/ 2002 tentang Hak Cipta (UU HCB) pada 29 Juli 2002 yang menggantikan UU No.6/1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan UU No.12 / 1997 (UU HCL). Namun, UU HCB itu baru berlaku 12 bulan sejak tanggal diundangkan, yakni tanggal 29 Juli 2003. Dengan demikian, UU Hak Cipta yang sekarang berlaku adalah UU HCL.



Perseteruan Inul VS Rhoma dari perspektif hak cipta bertitik tolak dari penafsiran kewenangan pencipta (lagu) atas ciptaannya yang dilantunkan penyanyi. Dalam menembang, tentunya Inul telah menyanyikan lagu yang diciptakan oleh pencipta lagu. Sebab, ciptaan lagu adalah termasuk salah satu obyek ciptaan yang dilindungi, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 11 ayat 1 huruf d UU HCL atau pasal 12 ayat 1 huruf d UU HCB. Lantas, seberapa besar kewenangan yang dimiliki pencipta lagu? Untuk menjawabnya, tentu harus mengetahui hak yang melekat pada pencipta, yakni hak cipta.



UU HCL pasal 2 ayat 1 mendefinisikan hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut pasal 2 ayat 1 UU HCB, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Adapun yang dimaksud dengan pengumuman adalah pembacaan, penyuaraan, penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain (pasal 1 angka 4 UU HCL). Sedangkan UU HCB mendefinisikan pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apaun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.



Mendasarkan pada definisi tersebut, Inul dalam melantunkan tembang karya Rhoma dkk, termasuk dalam kategori melakukan tindakan pengumuman sebagai mana dimaksud dalam UU Hak Cipta. Dengan demikian, jelas bahwa tindakan Rhoma dkk yang menyatakan bahwa mereka tidak memberikan ijin atas lagu-lagu ciptaan mereka untuk dinyanyikan ole Inul dengan gaya tarian yang erotis adalah dalam batas kewenangan yang diberikan oleh UU Hak Cipta sebagaimana dijelaskan di atas.



Dengan kata lain, hak Rhoma dkk tersebut merupakan hak 'derivatif' (turunan, yakni timbul karena sebagai pencipta) yang diberikan oleh UU HCL bagi pencipta dalam rangka kewenangan mengumumkan ciptaannya. Hal penting untuk diperhatikan adalah konsekuensi hukum yang akan ditanggung oleh penyanyi yang melanggar larangan pencipta lagu, yakni tetap menyanyikan lagu ciptaan dengan tarian tertentu yang dilarang penciptanya. Apakah ancaman gugatan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, ataukah ada peraturan lain?



Berdasarkan UU HC (pasal 41 ayat 1 UU HCL atau pasal 72 UU HCB) memberikan ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda bagi pihak yang mengumumkan suatu hak (karya) cipta tanpa hak. Dengan demikian, seorang penyanyi yang dilarang menyanyikan lagu ciptaan seseorang dengan gaya tarian tertentu (meskipun mungkin tidak melanggar norma kesusilaan dan kesopanan yang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang tetap) dan kemudian sang penyanyi melanggar larangan sang pencipta, maka terkena ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda.



Seluas itukah penafsiran pengadilan di Indonesia atas hak cipta? Penulis masih menyangsikannya. Selain itu juga, ditilik dari sejarah dan filosofi hak cipta, nampaknya lebih pada perlindungan agar pencipta memperoleh keuntungan ekonomis dari karya cipta sang pencipta. Hak cipta, diperkenalkan, bukan dalam rangka memberi kewenangan absolut yang tidak berkaitan dengan hak ekonomi sang pencipta. Hal ini didukung dengan perubahan kompetensi penyelesaian sengketa hak cipta yang diperkenalkan dalam UU HCB, yakni dalam kompetensi pengadilan niaga.



UU Hak Cipta di Indonesia tidak secara tegas mewajibkan kepada pihak yang melakukan pengumuman atas karya cipta dan mendapatkan keuntungan ekonomis atas pengumuman tersebut untuk memberikan semacam royalti atau imbalan dalam jumlah yang wajar (tertentu) kepada sang pencipta atau pemegang hak cipta. Sebenarnya, apabila diatur demikian, dapat diatur secara khusus bagi pelanggar ketentuan tersebut 'cukup' dikenakan ancaman denda saja ataukah perlu ancaman pidana. Dengan tidak adanya aturan khusus tersebut, otomatis ancaman sanksi pidana penjara masih mungkin dikenakan.



Jelasnya, dalam hal ini UU Hak Cipta tidak mewajibkan bagi penyanyi yang menyanyikan lagu atau pihak lainnya yang memperoleh keuntungan ekonomis untuk memberikan royalti atau imbalan kepada pencipta lagu yang telah dinyanyikannya. Tidak adil bukan? Sebab, penyanyi tidak mungkin bisa menerima bayaran atas aksi panggungnya tanpa lantunan lagu yang diciptakan sang pencipta.



Bayangkan, konon Inul bisa menerima honor sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta untuk satu lagu yang dilantunkannya (Majalah Tempo Edisi 5-11 Mei 2003). Sementara hukum tidak mewajibkan Inul untuk memberikan royalti dalam persentase tertentu (jumlah yang wajar) dari imbalan yang diterimanya kepada sang pencipta lagunya.


Otoritas penafsir moral



Persoalan yang menarik untuk dikaji adalah justru kewenangan untuk menafsirkan bahwa siapakah yang punya otoritas untuk menafsirkan bahwa gaya tarian seseorang erotis. Apakah ini melekat pada sang pencipta lagu secara absolut dan mutlak, atau ada pada otoritas badan peradilan.



Ada dua otoritas yang berhak menafsirkan erotis. Pertama, pencipta lagu (yang melarang lagunya untuk dinyanyikan oleh orang tertentu dengan tarian yang dinilainya erotis). Kedua, hakim dalam kaitannya erotis yang termasuk dalam kategori tindak pidana kesopanan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keduanya bisa saja menilai sama. Namun, bukan tidak mungkin memiliki penilaian yang berbeda atas kadar erotis.



Hak pencipta lagu untuk menafsirkan erotis atau tidak tersebut terlahir dari hak 'derivatif'-nya selaku pencipta sekaligus pemegang hak cipta yang memiliki hak khusus untuk mengumumkan (dalam hal ini untuk dinyanyikan) oleh penyanyi tertentu. Dengan demikian, 'larangan' Rhoma dkk tersebut absah dari perspektif hak cipta dan bukan dalam lingkup erotis secara hukum pidana. Rhoma dkk. memiliki hak melarang Inul untuk melantunkan tembang ciptaan mereka dengan gayaeErotis versi Rhoma. Meskipun, sangat mungkin apabila dibawa ke pengadilan tidak termasuk erotis yang melanggar KUHP.



UU Hak cipta memberikan hak mengumumkan tersebut kepada pencipta atau pemegang hak cipta secara absolut, sepanjang yang tidak termasuk dalam hal pembatasan oleh hukum. Misalnya, untuk kepentingan negara, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.



Padahal, tarian gaya ngebor a la Inul tersebut bisa saja termasuk dalam kategori obyek hak cipta yang dilindungi Undang-Undang. Yakni, sebagai karya cipta tari (koreografi), sebagaimana dimaksud pasal 11 ayat 1 huruf e UU HCL atau pasal 12 ayat 1 hurug e UU HCB. Dengan catatan, apabila gaya ngebor tersebut tidak termasuk yang melanggar tindak pidana kesopanan sebagaimana diatur KUHP.



Secara hukum pidana positif, seseorang telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kesopanan (tarian yang erotis) sebagaimana dimaksud pasal 281 KUHP adalah apabila telah ada keputusan hakim di pengadilan yang telah mempunyai keputusan tetap. Dengan kata lain, otoritas penafsir bahwa seseorang telah melakukan goyangan erotis yang termasuk dalam pelanggaran hukum adalah terletak pada sang hakim.



Penilaian Rhoma atas goyang ngebor adalah bukan otoritasnya dalam kategori erotis yang diatur KUHP. Rhoma hanya dapat menjalankan perannya selaku warga negara dalam kategori pelapor apabila goyang ngebor Inul dianggap atas dugaanya bahwa sang Ratu Ngebor telah melakukan tindak pidana. Itu pun apabila dia melaporkannya kepada kepolisian. Sebab, meski tindak kejahatan terhadap kesopanan bukanlah termasuk dalam kategori delik aduan, nampaknya polisi tidak menganggap goyang ngebor Inul dalam kategori melanggar KUHP.



Buktinya, kita saksikan bersama di TV, saat sang ratu bergaya dengan goyang ngebor-nya di hadapan ribuan penggemarnya, justru yang menjaga keamanannya adalah pihak yang berwajib. Namun ditegaskan sekali lagi, bahwa sang polisi pun bukanlah otoritas yang punya kewenangan menilai suatu tarian melanggar KUHP atau tidak, melainkan hakim.



Kasus yang dianggap tindak pidana kesopanan yang masih bersifat debatable antara seni, kebebasan berekspresi, atau erotis memang belum kunjung selesai di Indonesia. Kasusnya sering mengambang dan hilang disingkirkan oleh berita lainnya. Bahkan, mungkin sengaja diambangkan. Karena, persepsi masing-masing kelompok sangat mungkin berbeda. Utamanya dua arus besar, yakni kaum seniman dan kelompok religius.



Penilaian masyarakat secara umum pun terhadap kesopanan bisa jadi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Kesusilaan atau pun kesopanan bagi kelompok tertentu bukanlah sesuatu yang statis. Kita tunggu hakim sebagai pemegang otoritas untuk memberikan penafsiran erotis atau tidak yang bersifat kontekstual -- bahkan mungkin tentatif -- atas gaya tarian yang dianggap sebagian orang sebagai kebebesan seniman berekpresi yang lebih cenderung memandangnya dari sisi keindahan.



Manusia memang diciptakan begitu indah oleh Sang Pencipta. Namun, sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, hakim tidak mungkin memberikan putusan tanpa kasusnya dibawa ke pengadilan. Semuanya bergantung kepada bagaimana kedua pihak yang bersengketa beritikad untuk hanya sekadar jadi berita besar ataukah menemukan penafsiran otentik dan valid atas pengertian erotis.

Tidak ada komentar: