Senin, Maret 26, 2007

Melindungi Saksi Kasus Korupsi

Tulisan ini dipublikasikan pada http://www.Gusdur.net tanggal 10 Maret 2004

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum



Korupsi adalah sebuah kosa kata yang mungkin paling
sering diucapkan dan ditulis berbagai kalangan pasca
kejatuhan Soeharto, memasuki orde reformasi. Di era
inilah bebas mengemukakan pendapat. Di era ini juga
korupsi lebih terang-benderang dan tanpa tedeng
aling-aling.

Rupanya, virus korupsi yang telah disuntikkan oleh
penguasa sebelumnya guna merusak moral bangsa dan
menyehatkan pemerintahannya, hingga kini belum juga
punah dari jaringan tubuh bangsa Indonesia. Bahkan,
virus itu nampak sekarang semakin ganas, sehingga
mengakibatkan penyakit korupsi lebih kronis dan pada
stadium yang sangat membahayakan.

Namun, berbarengan dengan itu, kosa-kata koruptor
jarang digunakan. Sebabnya, meski negeri ini
"berprestasi" memeperoleh peringkat ke-6 terkorup di
dunia. Sayangnya, (nyaris) tanpa koruptor yang
dijebloskan ke hotel prodeo.

Abdurahman Wahid, yang lebih sering disapa Gus Dur,
ketika menjabat presiden, sempat melontarkan ide
"mengimpor" hakim. Sebagai tokoh yang penuh kejutan,
ide tersebut masih cukup mengejutkan. "Impor" hakim
merupakan refleksi klimaks ketidakpercayannya pada
institusi penegak hukum stadium tertinggi, titik
nadir.


Tidak Menampakkan Hasil

Awalnya, kegagalan pemberantasan korupsi dianggap
disebabkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UUPTK) tidak menganut pembuktian terbalik. Secara
sederhana, sistem pembuktian terbalik dapat
didefinisikan, sistem pembuktian dalam proses
perkara pidana yang membebankan terdakwa membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah atas dakwaan yang
ditujukan kepadanya. Dengan kata lain, terdakwa
dianggap bersalah, kecuali dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah.

Sistem tersebut merupakan pengecualian Hukum Acara
Pidana sebagaimana diatur pasal 66 UU No.8/1988
tentang Hukum Acara Pidana yang menganut praduga tak
bersalah, yakni tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian. UUPTK No.3/1971
memberikan keleluasaan hakim secara subyektif jika
dianggap perlu, dapat membebankan terdakwa
membuktikan tidak korupsi.

Selanjutnya, UUPTK No.31/1999 yang menggantikannya
menganut pembuktian terbalik 'pura-pura'. Pasal 37
ayat (1) menyatakan, "terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi. Penjelasannya, ketentuan ini merupakan
suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang
menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut
ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Sesungguhnya, pembuktian terbalik justru menghukum
terdakwa dengan mewajibkannya untuk membuktikan
tidak melakukan korupsi. Sedangkan, pasal tersebut
menetapkan hak terdakwa untuk membuktikannya tidak
melakukan korupsi. Padahal, dalam sistim hukum acara
pidana konvensional juga diberikan hak bagi terdakwa
membela dirinya yang merupakan bagian dari HAM yakni
pengadilan wajib memberikan hak (kesempatan) bagi
terdakwa untuk membela diri.

Kemudian, UU No.31/1999 diubah beberapa pasal dengan
UU No.20/2001 yang secara substantif menganut sistem
pembuktian terbalik. Mestinya, perubahan ini
mempermudah pemberantasan korupsi yang hasilnya
telah dilakukan secara 'lurus' (tidak terjadi money
laundering).

Namun, kenyataannya perubahan tersebut belum
(tidak?) menampakkan hasil significant bagi
pemberantasan korupsi. Sebabnya, korupsi dilakukan
gotong royong, yakni dilakukan secara bekerja sama
dan sitematis. Contohnya, Endin selaku pelapor kasus
korupsi, dijadikan tersangka pencemaran nama baik.
Hukum tidak melindungi pelapor/saksi (yang teribat
dalam korupsi, baik sebagi pemberi maupun penerima
gratifikasi (pemberian dalam arti luas, meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pegobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya) dari ancaman dijadikan
tersangka.


Memecah Belah Koruptor

Pemberantasan korupsi harus memecah belah
solidaritas koruptor. Sebab, ternyata pembuktian
terbalik tidak kuat mendobrak benteng yang dibangun
bergotong royong oleh koruptor. Mungkin, 'devide et
impera', sebagai upaya memecah belah solidaritas
kegotongroyongan koruptor harus diterapkan.

Subtsansi UUPTK telah memperkuat solidaritas
kegotongroyongan antarkoruptor saling menutupi.
Sebab memberikan ancaman pidana terhadap pemberi dan
penerima gratifikasi.

Konsep tersebut justru menyebabkan korupsi sulit
diberantas. Hampir dipastikan, pemberi dan penerima
gratifikasi, selamanya tutup mulut. Sebab, jika
salah satu pihak (pelaku) berniat membongkar, sang
pelapor (baik pemberi atau penerima gratifikasi)
akan dikenakan sanksi selaku pelaku korupsi. Tanpa
ada jaminan pengampunan baginya oleh UU untuk tidak
dituntut di pengadilan.

Perubahan revolusioner materi UUTPK yang masih
"konvensional" diperlukan. Beberapa hal di bawah ini
dapat dijadikan pertimbangan.

Pertama, pelapor yang berinisatif pertama (meski
pemberi atau penerima gratifikasi) diberikan
perlindungan oleh UU untuk dibebaskan dari tuntutan
pidana atas tindak pidana korupsi yang telah
dilaporkannya. Ini untuk mendorong pelaku korupsi
yang insyaf agar dapat membantu membongkar korupsi.

Pertimbangannya, bagi pihak yang terpaksa memberikan
gratifikasi untuk menuntut haknya, maka dapat
menyeret pejabat korup ke pengadilan. Di sisi lain,
bagi pemberi gratifikasi kepada pejabat yang bersih
dengan maksud-maksud tertentu, maka pejabat tersebut
dapat membongkar niat busuk pemberi gratifikasi
dengan memperoleh bukti yang valid, yakni dengan
menerima gratifikasi tersebut dan segera
melaporkannya kepada pihak yang berwenang.

Dengan demikian, akan tercipta saling curiga antar
pelaku korupsi dan tidak akan merasa nyaman atas
gratifikasi yang telah diberikan atau diterimanya.
Begitu salah satu pihak melaporkanhanya maka
habislah nasibnya.

Dengan kata lain, "insentif" diberikan untuk memecah
belah solidaritas para koruptor untuk buka mulut.
Sebab, inisiator pertama akan dibebaskan dari
ancaman pidana.

Kedua, ketentuan satu diatas hanya berlaku bagi
tindak pidana yang tidak merugikan kekayaan negara.
Jika terdapat kerugian negara, maka bagi pelapor
(untuk menemukan tersangka lain), cukup diwajibkan
baginya mengembalikan jumlah kerugian negara
tersebut (dengan mempertimbangkan unsur bunga dan
harga pasar), sedangkan tuntuntutan pidana penjara
terhadapnya tidak dikenakan.

Ini dimaksudkan agar tidak disalahgunakan pihak yang berpura-pura membongkar kasus korupsi, namun sebenarnya dia mendapatkan keuntungan ekonomi atas kasus tersebut.

Semoga saja dengan model perlindungan korupsi yang demikian, para mantan koruptor yang telah insyaf akan berbondong-bondong menjadi saksi pelapor. Siapa cepat, dia akan bebas. Kita tunggu.


Gusdur.net

Tidak ada komentar: