Jumat, Maret 23, 2007

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang

Hukumonline.com 5 Juli 2003

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang
[5/7/03]

Reformasi memberi banyak perubahan tingkah-polah masyarakat Indonesia. Dari semula pendiam menjadi begitu agresif. Tak terkecuali, sikap direksi yang berani menunjukkan perlawanannya terhadap pemegang saham. Kini, refomasi kembali melahirkan perseteruan, yakni antara Direksi PT Semen Padang (PTSP) dengan PT Semen Gresik (PTSG) selaku pemegang saham PTSP. Pokok sengketanya masalah kekuasaan tampuk kepemimpinan dalam pengelolaan PTSP.

Perseteruan ini menarik dikaji dari perspektif hukum perseroan guna menambah khasanah perkembangan hukum di Indonesia. Sejauh mana kewenangan pemegang saham mengganti direksi/komisaris atas dasar alasan subyektif. Indonesia yang menganut civil law system, miskin akan referensi putusan pengadilan yang terdokumentasi dan tersosialisasi secara memadai yang berupa ulasan para pakar dan praktisi hukum. Hal ini (mungkin) terkait dengan mainstream yang berkembang bahwa bagi negara penganut civil law system, peranan pengadilan dalam perkembangan hukum sangat tidak menonjol, berbeda dengan common law system.



Sepanjang pengamatan penulis, sengketa direksi dan pemegang saham yang terekspose cukup besar di media massa, inilah yang kedua kali. Pertama, Direksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ketika itu terkesan tak sejalan dengan pemerintah (pemegang saham) untuk 'konsisten' melanjutkan kontrak kerjasama dengan investor asing yang ditandatangani di era Orde Baru. Konon, kontrak tersebut beraroma KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam hitungan bisnis, tidak menguntungkan PLN. Padahal, dari pemberitaan di media massa, terkesan Direksi PLN berniat untuk membatalkannya.



Sayang, Direksi PLN memilih mengundurkan diri ketimbang menunggu 'dipecat' dan melakukan perlawanan di pengadilan akibat perbedaan pandangan dengan pemegang saham (pemerintah) demi kepentingan PLN. Langkah hukum ini penting bagi dunia hukum guna menguji absoluditas kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap bertentangan dengan maksud dan tujuan perseroan.



Lakon perlawanan Direksi PTSP



Perseteruan bermula di awal tahun 2002, Menteri BUMN selaku wakil pemerintah (pemegang saham) di PTSG -- PTSG pemegang saham PTSP -- berniat mengganti anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Konon, alasannya kinerja keuangan PTSP yang kurang baik. Namun, alasan tersebut dibantah Direksi PTSP.



Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) adalah forum yang akan digelar untuk mengganti Direksi dan Komisaris PTSP oleh PTSG selaku pemegang saham, sebagaimana dimungkinkan oleh UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Direksi berwenang menyelenggarakan RUPS(LB) (pasal 66 UUPT). Namun, UUPT juga memberi pemegang saham hak inisiatif dengan mengajukan permintaan disertai alasan (agenda acara) kepada direksi atau komisaris untuk menyelenggarakan RUPS(LB).



Apabila lebih dari 30 hari terhitung sejak permintaan penyelenggaraan RUPS(LB), direksi atau komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS(LB), maka ketua Pengadilan Negeri tempat kedudukan Perseroan dapat memberikan ijin pemegang saham selaku pemohon melakukan sendiri pemangggilan RUPS(LB).



Berbekal hak yang diberikan UUPT, PTSG (pemegang saham) berniat mengganti Direksi dan Komisaris PTSP melalui RUPSLB dengan alasan kinierja keuangan PTSP memburuk. Karuan saja, keinginan ini ditentang Direksi dan Komisari PTSP. Alasannya, rencana RUPSLB tidak diberitahukan kepada Direksi PTSP sebagaimana yang diatur UUPT. Akibatnya, tak terhindarkan sengketa antara keduanya terjadi melalui pengadilan.



Pengadilan Negeri (PN) Padang melalui Penetapan Ketua PN telah menolak dua kali keinginan PTSG menyelenggarakan RUPSLB, sebagaimana dalam penetapannya tanggal 12 Juni 2002 dan 7 September 2002. Konon, alasan penolakannya adalah karena tidak sesuai prosedur UUPT, bukan substansi penggantian direksi dan Komisaris PTSP. PTSG seharusnya menyampaikan permintaan kepada Direksi atau Komisaris PTSP terlebih dahulu, sebelum mengajukan permohonan kepada ketua PN untuk menyelenggarakan RUPSLB.



Sangat mungkin, PTSG memiliki praduga bahwa Direksi dan Komisaris PTSP tidak akan rela menyelenggarakan RUPSLB dengan agenda untuk memberhentikan jabatan mereka. Terdapat conflict of interest, sebagaimana dimaksud pasal 84 ayat (1) huruf b UUPT. Sehingga, PTSG langsung mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan RUPSLB pada ketua PN setempat.



Meski pernah ditolak dua kali oleh ketua PN Padang, akhirnya pada 29 April 2003, MA mengeluarkan putusan kasasi yang mengijinkan PTSG menyelenggarakan RUPSLB untuk mengganti direksi dan komisaris PTSP. Pada 12 Mei, PTSG akhirnya menyelenggarakan RUPSLB dan berhasil mengganti Direksi dan Komisaris Semen Padang yang lama.



Masih ada kesempatan untuk melawan



Umumnya, Anggaran Dasar PT mengatur jabatan Direksi dan/atau Komisaris berakhir apabila (i) dinyatakan pailit atau ditaruh di bawah pengampuan berdasarkan suatu keputusan pengadilan, (ii) mengundurkan diri, (iii) tidak lagi memenuhi persyaratan peraturan perundangan yang berlaku, (iv) meninggal dunia; atau (v) diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS(LB).



Anggota direksi dan/atau komisaris dapat sewaktu-waktu diberhentikan RUPS(LB) dengan menyebutkan alasannya. Keputusan mengganti diambil setelah anggota direksi dan/atau komisaris tersebut diberi kesempatan membela diri dalam RUPS(LB). Apabila yang bersangkutan tidak hadir, maka RUPS(LB) dapat memberhentikannya (pasal 91 juncto pasal 101 UUPT).



UUPT mengatur sedemikian rupa kemungkinan pemberhentian anggota direksi dan/atau komisaris hanya melalui RUPS(LB). Sebab, terkait dengan nama baik dan reputasi anggota direksi dan/atau komisaris yang diberhentikan secara mendadak (di tengah masa jabatannya). Pemberhentian di tengah masa jabatan, identik dengan pemecatan. Oleh karena itu, pengambilan keputusannya dikecualikan dari keputusan RUPS(LB) yang dapat dilakukan melalui Circular Resolution.



Padahal, umumnya pasal 22 ayat 9 Anggaran Dasar Perseroan diatur bahwa keputusan yang dibuat melalui Circular Resolution yang telah disetujui dengan suara penuh oleh semua pemegang saham, akan memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai keputusan RUPS(LB) perseroan.



Circular ini dimungkinkan dalam rangka untuk mengakomodasi kepraktisan praktek dunia bisnis. Pasalnya, begitu sulit mempertemukan pemegang saham dalam waktu dan tempat secara bersamaan. Namun, penggantian anggota anggota direksi dan/atau komisaris, UUPT tidak mengakomodasinya. Begitu besar UUPT melindungi nama baik direksi dan komisaris perseroan, hingga pemberhentiannya harus melalui RUPS(LB) yang memebrikan kesempatan untuk membela diri.



Kembali ke perseteruan antara Direksi PTSP dan PTSG (pemegang saham PTSP). Semestinya, perlawanan Direksi PTSP tidak berhenti setelah keputusan RUPSLB digelar dan berhasil memutuskan penggantian anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Sejatinya, direksi dan komisaris lama PTSP mempunyai dua kesempatan untuk mempertahankan argumennya menolak alasan penggantian mereka oleh PTSG selaku pemegang saham yakni karena kinerja keuangan yang menurun.



Pertama, Direksi PTSP dapat melakukan pembelaan diri pada RUPSLB. Tentunya, disertai bukti dan alasan yang valid. UUPT memang memberikan wewenang kepada pemegang saham mengganti direksi dan komisaris yang ditunjuknya secara subjektif. Namun alasan kali ini, sesuatu yang dapat diukur secara akuntasi/ekonomi, yakni kinerja keuangan PTSP yang memburuk.



Mungkin, di RUPSLB ini Direksi dan Komisaris PTSP mengalami kesulitan untuk menolak alasan pemegang saham mayoritas (PTSG). Sebab, PTSG bertindak dalam dua kapasitas pada saat bersamaan yakni 'penggugat' dan sekaligus hakim. Selaku 'penggugat', menilai kinerja keuangan PTSP memburuk. Selaku hakim, PTSG berhak memutuskan apakah dapat menerima alasan/pembelaan Direksi dan Komisaris PTSP atau tidak. Padahal, PTSG sudah berpraduga yang kurang baik atas kinerja mereka, sehingga penilaiannya relatif tidak objektif.



Kedua, melalui pengadilan. Sejatinya, Direksi dan Komisaris lama PTSG lebih efektif melakukan perlawanan secara optimal atas keputusan RUPSLB justru lewat pengadilan. Di sinilah Direksi dan Komisaris PTSG lebih mendapatkan hakim yang relatif independen dan bebas dari subjektivitas, karena di luar pihak yang bersengketa.



Direksi dan Komisaris PTSP dapat memberikan bukti dan alasan bahwa tuduhan pemegang saham (PTSG) kepada pihaknya adalah tidak benar. Atau bisa juga beralasan bahwa kinerja keuangan PTSP menurun bukan akibat kesalahan Direksi dan Komisaris PTSP, tapi karena kebijakan pemerintah di sektor semen yang merugikan PTSP. Misalnya, PTSP dijadikan anak perusahaan PTSG. Akibatnya, mau tidak mau PTSP kurang bebas mengambil keputusan bisnis yang mungkin berseberangan atau bahkan merugikan PTSG selaku induk perusahaan.



Selanjutnya, pengadilan akan menilai keputusan PTSG mengganti Direksi dan Komisaris PTSP didasarkan alasan yang benar atau tidak. Tentu, putusan hakim ini akan bersejarah bagi dunia hukum perseroan di Indonesia dan bisa dijadikan landmark verdict atau preseden. Yakni, putusan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi putusan hakim di masa yang akan datang.



Hal ini penting untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat di Indonesia. Bisa saja, setelah putusan pengadilan yang menolak alasan penggantian anggota Direksi dan Komisaris PTSP, mereka mengundurkan diri. Yang jelas mereka keluar bukan karena 'dipecat', tapi lebih dengan cara yang terhormat, yakni dengan mengundurkan diri. Bukan karena kinerjanya tidak becus.



Kita dapat memetik pelajaran dari yurisprudensi di Belanda yang dikenal dengan Forum Bank Arrest, Arrest H.R. 21 Januari 1955 (N.J 1959 N.43). Adapun duduk perkaranya menyakut NV (semacam PT) Forum Bank dengan dua kelompok pemegang saham yang perbandingan kepemilikan sahamnya 4:1.



Dalam RUPS, kelompok mayoritas berhasil memaksakan untuk memerintahkan 300 saham yang mereka miliki dalam NV harus dibeli kembali oleh NV dengan harga @ pari. Dengan maksud agar dengan uang hasil penjualan tersebut, pemegang saham ini dapat bukan saja mengadakan perhitungan pelunasan atas hutangnya yang ada kepada NV. Namun, lebih daripada itu masih dapat menarik sejumlah uang dari NV yang bersangkutan.



Keputusan ini ditentang, utamanya kelompok pemegang saham minoritas, direksi dan komisaris NV, yang tidak bersedia mengadakan jual-beli sebagaimana dimaksud pemegang saham mayoritas. Adapun pertimbangan direksi, penjualan dengan harga @ pari tersebut tidak wajar jika dinilai dari harta NV tersebut. Jika dilaksanakan, akan membahayakan posisi NV tersebut (Forum Bank).



Akhirnya, diajukan gugatan ke Pengadilan untuk membatalkan keputusan RUPS tersebut dengan dua alasan. Pertama, pemegang saham mayoritas telah bertindak bertentangan dengan UU dan Anggaran Dasar NV serta kesusilaan, keadilan, kepantasan, dan/atau itikad baik. Kedua, sesuai degan hukum Belanda bahwa pengurusan NV dan pengurusan harta kekayaan NV adalah mutlak wewenang direksi.



Selanjutnya, pemegang saham mayoritas beralasan bahwa RUPS mempunyai kekuasaan tertinggi yang tidak dapat ditentang oleh direksi, meski direksi berpandangan lain. Pengadilan memutuskan menerima gugatan tersebut dan membatalkan keputusan RUPS atas dasar bahwa keputusan RUPS bertentangan dengan kepantasan dan itikad baik.



Semoga saja Direksi PTSP berkehendak mempersoalkan pemecatannya di pengadilan. Ini penting untuk iklim manajemen di BUMN dan anak perusahaannya. Selayaknya pemerintah harus menunjuk direksi dan komisaris pada BUMN atau anak perusahaannya (PTSP masuk dalam kategori ini) berdasarkan pertimbangan yang terukur. Asas profesionalitas harus lebih ditekankan, bukan perkoncoan atau karena kepatuhannya pada 'titah' pemerintah selaku pemegang saham, yang pada gilirannya akan membuat BUMN atau anak perusahaan tidak sehat.



Sudah waktunya kita berani menata ulang iklim profesionalitas di dunia BUMN dan anak perusahaannya. Dengan begitu, Indonesia yang banyak memiliki BUMN dan anak perusahaannya adalah benar-benar menjadi contoh baik bagi pilar bisnis di tanah air, menjadi pioner bagi penerapan good corporate governance.



Paradigma hukum selama ini (mungkin) menganggap pemegang saham memiliki hak secara absolut sekehendak hati atas perusahaannya adalah harus ditelaah secara kritis. Hukum punya kepentingan menciptakan sistem pengelolaan perusahaan yang profesional dan mandiri sesuai dengan kepentingan perusahaan, bukan kepentingan pemegang saham.



Ini penting untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan berdaya saing tinggi. Utamanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang usaha atas barang atau jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sebab, kehancuran dunia usaha tersebut sangat mungkin akan membawa gejolak sosial yang tidak bisa diremehkan. Hakim sebagai penjaga garda hukum, bisa melakukan insiatif penafsiran, sepanjang hukum yang tersedia belum melingkupinya. Kita tunggu saja keberanian hakim dalam memandang perkembangan di masyarakat yang (akan) tercermin dari putusannya. Tentu saja, ini harus dimulai dengan adanya kasus yang diajukan.

Tidak ada komentar: