Rabu, Juni 25, 2008

Kasus Tempo, Inspirasi Revisi KUHAP

Tulisan ini pernah dipublikasikan Majalah Fokus Indonesia Edisi No.7, 29 April 2004.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) menganut hak mutlak penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan hanya oleh aparat penegak hukum. Polisi untuk penyelidikan dan penyidikan (dalam hal tindak pidana tertentu yang ditetapkan UU, --Pejabat Pegawai Negeri Sipil--- diberi wewenang). Sedangkan jaksa memiliki hak ekslusif dalam hal penuntutan.
Persoalan timbul, jika antara penyidik dan korban berbeda pendapat atas pasal yang disangkakan. Contohnya, tindak pidana penyerangan kantor majalah Tempo. Bagi Bambang Harymurti (Pemimpin Redaksi Tempo), penyidik selayaknya mendasarkan pada UU No.40/1999 tentang Pers (UU Pers) untuk mengusut kasus ini. Sebaliknya, aparat penyidik --polisi—mendasarkan pada pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP mengancam pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 4.500 bagi pihak yang secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Menurut Bambang, penyerangan kantor Tempo, terkait dengan isi pemberitaan. Tindak kekerasan Davied A Miaw, telah menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan pasal 4 ayat (3) UU Pers sebagaimana dimaksud pasal 18. Bagi yang sengaja melanggarnya, diancam hukuman pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 5 juta.
Adapun Pasal 4 ayat (2) menetapkan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Penyensoran (diantaranya) tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik. Selanjutnya, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Dari penjabaran di atas, alasan Bambang lebih memiliki landasan. Sebagaimana prinsip hukum, lex spesialis derogat lex generalis. Mungkin penyidik menafsirkan asas tersebut berlaku jika antara KUHP dan UU terdapat pertentangan pengaturan. Padahal tidaklah demikian. Apalagi jika dilihat ancaman pidana penjara maksimalnya yang dua kali lipat.. Ini merugikan korban! Namun, apa lacur, demikianlah KUHAP mengatur, tidak mengakomodasi keinginan korban. Penegak hukum merupakan pemegang kuasa absolut bagi kepentingan korban.
Lebih dari 20 tahun KUHAP berlaku, kita tanpa sadar (?) telah memberikan kepercayaan luar biasar kepada aparat. Padahal, sebagai manusia, mereka sarat nafsu keduniawian. Sangat mungkin wewenang tunggal ini disalahgunakan bagi kepentingan kelompok tertentu. Bersyukurlah kita, kasus Tempo menyadarkan kita akan perlunnya revisi KUHAP.
Di negara penganut Eropa Kontinental, seluruh Eropa Barat, Jepang, Korea, Israel, jika polisi tidak/enggan menyidik, korban kejahatan akan pergi kepada jaksa. Lantas, jaksa selaku penuntut umum dapat langsung menyidik sendiri atau meminta polisi melakukannya. Sedangkan, di negara penganut Anglo-Saxon (jaksa tidak menyidik), jika polisi tidak/ enggan menyidik, maka korban dapat langsung mengadu kepada hakim. Artinya korban (dapat) menjadi penyidik dan penuntut sekalian (Andi Hamzah :2002).
Lantas, bagaimana KUHAP mengantisipasi kondisi jika aparat penegak hukum tidak/enggan mengusut kasus? Apakah korban dibiarkan tanpa perlindungan hukum? Bahkan melarangnya untuk mencari keadilan dengan biaya sendiri. KUHAP tidak memberi peluang korban untuk menegakkan hukum dengan mencari “penegak hukum alternatif”, misalkan dengan mencari advokat yang sudah terdaftar khusus. Maka guna mengantisipasi “pembangkangan” aparat hukum atas kewajiban “suci”-nya, revisi KUHAP harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan:
Satu, kewenangan praperadilan diperluas mendekati fungsi hakim komisaris (rechter commissaris) di Belanda dan Judge d’ Instruction di Perancis. Praperadilan berwenang mengadili bila ada perbedaan pasal yang diituduhkan antara penyidik dengan korban/ahli waris. Ini untuk menjaga hubungan baik antara penyidik dan korban/ahli waris agar tidak ada merasa yang dikalahkan.
Dua, jika ketentuan satu dianggap tidak efektif, karena meskipun hakim pemeriksa pokok perkara dan pemeriksa praperadilan berbeda individunya (untuk menjaga independensi pemeriksaan pokok perkara), namun seolah merupakan “pengadilan” sebelum dilakukan pemeriksaan. Alternatifnya, karena UU pasal pendapat korban/ahli warisnya yang digunakan. Alasannya, korban/ahli waris yang mempunyai pendapat berbeda dengan penyidik, pastilah paham hukum. Selain itu, tingat kepuasan korban/ahli waris relatif lebih baik jika dakwaan yang dikenakan tidak terbukti atau tidak masimal.
Tiga, jika penyidik enggan/tidak melakukan penyidikan (jangka waktu tertentu) secara memadai (harus dijelaskan secara gamblang maksud ini sehingga tidak ada lagi perdebatan penafsiran atas hal ini), maka korban/ahli waris dapat langsung mengadukan kepada hakim. Artinya menjadi penyidik dan penuntut sekalian (seperti sistem Anglo Saxon).
Namun, berhubung tidak semua korban adalah orang melek hukum, maka sebagai pelaksana penyidik dan penuntut partikelir dapat dilakukan oleh Advokat dengan kualifikasi tertentu (UU No.18/2003 tentang Advokat mengakui eksitensi Advokat sebagai penegak hukum).
Semoga kasus Tempo menyadarkan kita akan kelemahan KUHAP. Sebab, kita tidak boleh menyerahkan kuasa mutlak penegakan hukum kepada aparat yang masih dipertanyakan profesional dan mental-integritasnya. Kita belum terlambat untuk mengubahnya.

Kamis, Juni 19, 2008

Hak Paten vs Petani Kecil

Tulisan ini pernah dipublikasikan Harian Sinar Harapan Edisi 24 Oktober 2005.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
NIA F.02.12653

Percy Schmeiser seorang petani biasa, yang sudah 50 tahun menjadi petani Kanola di Bruno, Saskatchewan, bagian Barat Kanada, dituduh menggunakan secara ilegal benih kanola hasil rekayasa produk Monsanto. Percy terancam sanksi harus membayar denda US$ 15 per are tanaman kanola-nya (total US$ 200.000) kepada Monsanto atau dipidana.
Perseteruan petani kecil versus pemilik modal besar atas penggunaan benih tanaman yang mirip di Kanada (tahun 1998) itu juga terjadi di Indonesia. Tokohnya di Indonesia adalah Djumadi dkk yang merupakan petani kecil di Kediri yang telah merasakan “keganasan” UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.Selengkapnya

Jumat, Juni 06, 2008

Skenario Privatisasi BUMN

Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 15 April 2004.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Welfare State terbentuk melalui kontrak sosial antara rakyat dengan pemerintah. Rakyat ‘merelakan’ tunduk diatur pemerintah dan menyerahkan otoritas kepada pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan. Tujuannya, membentuk tertib sosial dalam rangka mencapai kesejahteraan bersama. Kompensasi dari ‘ketundukan’ rakyat adalah pemerintah (diantaranya) wajib menjamin tersedianya kebutuhan hidup (barang dan jasa) mereka (baca: rakyat).
Untuk menyediakannya, diperlukan pengelolaan alat-alat produksi. Ini di luar dari fungsi administrasi pemerintahan. Dalam rangka pemenuhan itulah, pemerintah mengelola dan menyelenggarakan alat-alat produksi dengan cara membentuk BUMN. Sebabnya, peranan swasta dalam pengelolaan alat-alat produksi belum memadai, bahkan terkadang belum ada sama sekali. Itulah hakikat dibentuknya BUMN. Bukan memperoleh keuntungan setinggi tingginya. Tapi, lebih pada tanggung jawab pemerintah guna memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya. Karenanya, awal pendirian BUMN sebagai pelaku usaha, lebih cenderung dalam rangka menjalankan fungsi pemeritahan ketimbang bisnis.
Artinya, pemerintah mendirikan BUMN untuk mengelola alat produksi dalam rangka penyediaan kebutuhan hidup rakyatnya sepanjang peran serta swasta untuk mengelola alat produksi belum memadai. Sekedar contoh, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis telah mengurangi peranan negara sebagai pelaku usaha untuk mengelola alat produksi melalui BUMN. Peran tersebut telah diganti swasta. Negara terkonsentrasi pada penciptaan kondisi persaingan usaha yang sehat supaya keberlangsungan dunia usaha untuk menyediakan kebutuhan hidup masyarakat tetap terjamin. Pendapatan negara digantungkan dari pajak, bukan dividen.
BUMN di Indonesia
Mulanya, BUMN sesuai sifat usaha dan maksud tujuan didirikannya, terbagi 4 macam (pasal 1 UU No.9/1969). Yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), (iii) Perusahaan Perseroan, dan bentuk lain yang ditetapkan dengan atau berdasarkan Undang-Undang (selain Perjan, Perum, dan Persero).
Selanjutnya, berdasarkan UU No.19/2003 tentang BUMN (mencabut UU No.9/1969) membagi 2 jenis BUMN. Yakni Perum dan Persero.
Perjan adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki pemerintah dan merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta tidak terbagi atas saham-saham. Maksud dan tujuannya menyelenggarakan kegiatan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan masyarakat umum, berupa penyediaan jasa pelayanan yang bermutu tinggi dan tidak semata-mata mencari keuntungan.
Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Maksud dan tujuannya untuk menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki negara RI.
Adapun maksud dan tujuannya menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat baik di pasar dalam negeri atau pun internasional dan memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Persero dengan sifat usaha tertentu dapat melaksanakan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum, dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan sebagaimana disebutkan di atas.
Dari pespektif yuridis di atas, konstruksinya secara gradual bertransformasi menuju privatisasi BUMN. Setidaknya, dari bentuk kelembagaan hukumnya yaitu dari badan hukum publik (publiekrechteljke verhounding) yang berbentuk Perjan (sebelum UU No.19/2003), Perum (memiliki misi sosial), menuju pada badan hukum privat yang berbentuk Persero. Pasal 1 ayat 1 PP No.12/1998 secara eksplisit menetapkan terhadap Persero berlaku UUPT. Artinya, secara implisit Persero adalah badan hukum privat.
Konstruksi yuridis yang secara implisit menghendaki privatisasi secara kelembagaan badan hukum terhadap BUMN tersebut telah terbukti secara empirik. Misalnya, privatisasi (badan hukum) terhadap BUMN Perusahaan Kereta Api. Berawal dari Perjan Kereta Api (PJKA) , Perum KA, dan akhirnya menjadi PT KAI (Persero).
Privatisasi Yang Terukur
Jika dikaji lebih mendalam, sesungguhnya privatisasi dikelompokkan menjadi 3 macam. Yaitu privatisasi peranan, privatisasi kelembagaan hukum, dan privatisasi kepemilikan (bandingkan Michael Beesley & Stephen Littlechild : Privatization: Principles, Problems, and Priorities,1994).
Privatisasi peranan adalah proses pergeseran dominasi pengelolaan alat-alat produksi dalam penyediaan kebutuhan hidup masyarakat yang semula dominasi pemerintah melalui BUMN bergeser menjadi swasta.
Privatisasi kelembagaan adalah proses perubahan bentuk hukum BUMN yang melakukan pengelolaan alat-alat produksi yakni dari Perjan (sebelum UU No19/2003- badan hukum publik), Perum (memiliki misi sosial), menjadi Persero (badan hukum privat).
Privatisasi secara kepemilikan adalah proses penjualan saham-saham negara di BUMN oleh pihak partikelir (swasta) baik perorangan maupun badan hukum.
Secara umum tujuan khusus privatisasi kepemilikan adalah meningkatkan pendapatan pemerintah, mendorong efisiensi ekonomi, mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian, mendorong kepemilikan saham yang lebih luas, dan mengembangkan pasar modal negara (William L. Megginson: 2002).
Sedangkan, menurut UU No.19/2003, privatisasi (kepemilikan) bertujuan untuk meningkatkan kinerja perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
Dalam melakukan privatisasi BUMN selayaknya mempertimbangkan beberapa hal berikut.
Pertama, privatisasi kelembagaan hukum (Perum menjadi Persero) apabila swasta sudah berminat dan mampu berpartispasi dalam penyediaan (sebagian) kebutuhan atas barang dan jasa (yang semula menjadi tanggungjawab sepenuhnya pemerintah melalui BUMN).
Konsekuensinya, bidang usaha disektor penyediaan barang atau jasa yang bersangkutan sudah terbuka bagi swasta (perorangan/badan hukum) untuk menjalankan usahanya. Alasannya, filosofi pendirian BUMN memiliki tujuan historis untuk menyediakan kebutuhan rakyat atas barang dan jasa oleh pemerintah. Bukan untuk kepentingan bisnis yang tujuannya memupuk keuntungan setinggi-tingginya.
Kedua, hukum positif Indonesia secara implisit menganut prinsip privatisasi kelembagaan yang bertahap yakni dari Perjan (sebelum UU No.19/2003 yang berbadan hukum publik), Perum (memiliki misi sosial), menuju Persero (badan hukum privat).
Karenanya, selayaknya BUMN melakukan perubahan kelembagaan badan hukum secara bertahap apabila pemerintah memandang masyarakat sudah dapat berpartisipasi untuk memenuhi sebagian kebutuhan atas barang dan jasa.
Ketiga, seyogyanya perubahan kelembagaan badan hukum BUMN menjadi Persero dan melakukan privatisasi secara kepemilikan dilakukan dengan syarat, apabila peran BUMN tidak mendominasi secara significant (peran serta swasta atas sektor tersebut sudah dapat diandalkan). Konsekuensinya, BUMN tidak lagi melakukan monopoli atas ijin negara terhadap barang dan/atau jasa tersebut. Pada tahap ini, sektor bidang usaha yang bersangkutan sudah banyak pelaku usahanya dan bukan monopoli BUMN lagi.
Alasannya, karena Persero merupakan badan hukum privat, sehingga penyediaan atas barang atau jasa tersebut bukan monopoli kemampuan pemerintah lagi untuk menyediakannya. Selanjutnya, pemerintah lebih baik berkosentrasi pada penciptaan dan penataan sistem yang menciptakan iklim usaha yang sehat dan menarik.
Dengan pertimbangan tersebut, penulis yakin privatisasi akan berjalan secara terukur dan sehat. Sebab, mempertimbangkan filosofi dan kelembagaan. Privatisasi (dalam arti luas) dilakukan semata-mata untuk menciptakan struktur ekonomi yang sehat dan terjaminnya kebutuhan rakyat atas barang dan jasa secara murah dan berkualitas.
Niscaya, rakyat akan menerima apabila privatisasi dilakukan oleh pemerintahan yang dipercaya bekerja dengan tulus. Bukan untuk kepentingan kelompoknya.

Rabu, Juni 04, 2008

MENIMBANG “HAK IMUNITAS” DEWAN GUBERNUR DAN PEJABAT BI

Tulisan ini pernah dipublikasikan majalah InfoBank edisi No.309/Desember 2004/Vo.XXVI.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta

Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral, dengan undang-undang (UU) baru serta semangat dan sikap baru akan diarahkan pada tugas pokoknya. Yakni menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar Rupiah. BI akan menjaga independensi yang tidak bisa ditawar sehingga tidak satu pun pihak yang dapat mengintervensi kebijakan BI. Demikian pernyataan yang mencerminkan semangat reformasi telah disampaikan Gubernur BI Burhanudin Abdullah dalam suatu kesempatan.
Kini, laksana dilengkapi rompi anti peluru, Gubernur BI, Deputi Senior BI, Deputi Gubernur (Dewan Gubernur) dan pejabat BI memiliki “Hak Imunitas” (kebal dari tuntutan hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya) sebagaimana diatur pasal 45 UU No.23/1999 yang diubah dengan UU No.3/2004 tentang BI (UUBI).
Pasca diundangkannya UUBI No. 23/1999, BI nampak lebih berwibawa dan percaya diri dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Sebabnya, pertama, posisinya yang independen dan mendapat jaminan UUBI atas ketiadaan campur tangan pihak lain untuk mengobok-obok BI dengan ancaman pidana bagi yang menabraknya.
Kedua, perlindungan dari ancaman pidana (hak imunitas) atas keputusan atau kebijakan Dewan Gubernur dan/atau pejabat BI yang dilakukan dengan itikad baik.
Pengalaman UUBI Lama
Nampaknya, konstruksi hukum pasal 45 UUBI tersebut merupakan jawaban atas ketidaknyamanan Dewan Gubernur BI saat mengambil keputusan dalam posisi sulit. Syahril Sabirin, Gubernur BI dulu, pernah tersandung kasus cessie Bank Bali. Ia sempat menjadi terpidana, meski akhirnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dinyatakan tidak bersalah.
Beberapa mantan Direktur BI, yakni Heru Supraptomo, Paul Soetopo, dan Hendrobudiyanto pernah divonis bersalah pada awal Mei 2003 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN) atas penyalahgunaan wewenang dengan menyetujui pemberian fasilitas saldo debet (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia -BLBI).
Ketiganya dinilai terbukti menyalahgunakan wewenang karena tidak melaksanakan stop kliring yang berakibat merugikan keuangan negara (pada 29 Desember 2003 dalam persidangan terspisah ketiganya dilepaskan dari tuntutan hukum oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Kasusnya sekarang masih dalam tingkat Kasasi)
Nampak kekecewaan BI sebagaimana tersirat dalam pernyataan persnya ketika itu (Mei 2003) bahwa Dewan Gubernur dan segenap pegawai BI menyatakan keprihatinannya, sebagai tanggapan atas putusan PN yang memvonis bersalah ketiga mantan Direktur BI tersebut.
Padahal Dewan Gubernur BI (ketika itu) menganggap BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multi dimensi (untuk lebih jelas bahwa dapatkah kebijakan dipidana, baca: Sulistiono Kertawacana: Administrasi Korupsi BLBI: InfoBank Edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI : 58-59).
Perlu diketahui, vonis PN pada awal Mei 2003 tersebut ditetapkan berdasarkan UUBI yang lama (UU No.13/1968) yang belum memuat substansi ketentuan pasal 45 UUBI. Hal ini terjadi karena tempus delicti (waktu kejadian perkara) terjadi sebelum UUBI No.23/1999 berlaku dan diundangkan (17 Mei 1999).
Menimbang “Hak Imunitas”
Pasal 45 UUBI menyatakan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik.
“Hak imunitas” diberikan berkaitan dengan pelaksaanaan tugas dan wewenang mereka. BI mempunyai tiga tugas yang diemban Dewan Gubernur selaku pelaksananya yang ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.
Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara yang termasuk tapi tidak terbatas pada (i) operasi pasar terbuka; (ii) penetapan tingkat diskonto; (iii) penetapan cadangan wajib minimum; dan (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.
Beberapa pelaksanaan dari kewenangan tersebut, BI diberi wewenang mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Kedua, mengatur dan menjaga sistem pembayaran. BI berwenang melaksanakan dan memberikan persetujuan izin penyelenggaraan jasa sistem perbankan, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran menyampaikan laporan kegiatannya, menetapkan penggunaan alat pembayaran. Pelaksanaan atas kewenangan dimaksud ditetapkan dengan PBI.
Ketiga, mengatur dan mengawasi bank. BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin usaha bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan (LPSJK) yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Karenanya -untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya- BI akan menerbitkan keputusan atau kebijakan. Bentuk produk hukumnya terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking). Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan BI, tatacara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut tidak sama.
Regelling adalah keputusan BI yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal.. Contohnya, BI menerbitkan PBI atau BI menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Apabila masyarakat (tidak hanya terbatas pada kalangan perbankan) menilai tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka dapat melakukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945.
Putusan MA berupa memperkuat peraturan BI atau membatalkannya. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai oleh MA tidak tepat.
Beschikking adalah keputusan BI yang bersifat konkret, individual dan final. Contohnya memberikan sanksi terhadap bank, atau memberikan izin atau mencabut izin usaha suatu bank. Beschikking adalah Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN).
Upaya hukumnya bagi yang dirugikan dengan mengajukan gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN. Keputusan hakim dapat berupa mengabulkan gugatan (membatalkan penetapan BI yang telah) atau menolak gugatan (penetapan BI tetap berlaku).

Tidak Berimplikasi Secara Hukum Pidana
Pelaku tindak pidana dapat terhindar dari (ancaman) pidana jika terdapat alasan yang mengecualikannya (strafuitsluitingsgronden). Yakni alasan pemaaf, alasan pembenar, atau dekriminalisasi.
Alasan pemaaf, jika tindakannya masih termasuk kategori tindak pidana, tapi karena melakukannya dalam kondisi tertentu (schulduitsluitingsgronden), maka dimaafkan dan dilepaskan dari ancaman hukuman pidana (pasal 48 s/d 49 KUHP). Contonya membunuh perampok dalam rangka pembelaan diri.
Alasan pembenar, jika dilakukan atas perintah UU (rechtvaardingsgronden), tindakannya sendiri masih dianggap tindak pidana oleh UU (lihat pasal 50 KUHP). Contohnya, Polisi yang mengeksekusi terpidana mati.
Dekriminalisasi adalah suatu tindakan semula termasuk kriteria tindak pidana diubah oleh UU menjadi tindakan yang tidak diancam pidana. Misalkan pada saat dilakukan tindakan tersebut masih dalam kategori tindakan pidana, namun kemudian diubah menjadi bukan termasuk tindak pidana.
Pasal 1 ayat 2 KUHP, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Penjelasan pasal 45 UUBI menyatakan pengambilan keputusan dianggap telah memenuhi beritikad baik apabila dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan lain yang berindikasikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Jelas ini bukan alasan pembenar atau pun alasan pemaaf. Apalagi dekriminalisasi tindak pidana dalam KUHP atau UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kriteria itikad baik tidak cukup mengesampingkan perumusan pasal UU PTPK yang dirumuskan secara materiil. Sekedar contoh berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU PTPK dinyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara ….
“Perbuatan melawan hukum” dalam pasal tersebut adalah dalam arti formil maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peratuaran perundang-undangan , namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat , maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan demikian, seseorang dianggap telah melakukan korupsi karena telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Mekipun tentu saja pasti pelaku akan berkilah bukan bertujuan (secara sengaja) merugikan keuangan negara. Tapi, cukup mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi (lihat penjelasan pasal 2 , pasal 3 dan pasal 14 UU PTPK).
“Perlindungan hukum” dengan itikad baik dalam penjelasan 45 UUBI hanya berguna bagi jenis tindak pidana yang dirumuskan secara formil (unsur pidana terbit, jika tindak pidana tersebut sebagai tujuan/dengan niat/maksud atau yang dilakukan secara sengaja).
Namun, menjadi tidak berarti bagi tindak pidana yang dirumuskan secara materil (unsur pidana terbit, jika mengakibatkan sesuatu) sebagaimana perumusan dalam UU PTPK tersebut.
Selain itu juga secara pengkategorian ilmu hukum, BI dalam menjalankan tugas dan wewenangya termasuk dalam lingkup hukum tata usaha negara dan administrasi negara.
Forum pengadilan untuk mengkoreksi atas pengaturan adalah judicial review. Sedangkan koreksi atas Penetapan adalah PTUN bagi pihak yang merasa dirugikan atas penetapan atau keputusan BI. Bisa juga pejabat yang menerbitkannya sendiri yang merubah atau merevisinya secara sukarela.
Koreksi atas kesalahan produk keputusan atau kebijakan BI tidak ada peluang untuk dihukum secara pidana. Kecuali dibarengi tindakan lain yang masuk dalam lingkup pidana korupsi.
Yakni, mengandung salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain. Karenanya, kebijakan Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI yang terdapat unsur pidana (korupsi), tidak dapat dikesampingkan oleh pasal 45 UUBI.
Dengan demikian, pasal 45 UUBI yang memuat “hak imunitas” bagi Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang telah dilakukan dengan itikad baik, dari kacamata ilmu hukum, tidak berdampak secara hukum.
Sebab, bukan dekrimilasisasi, alasan pembenar, atau pun alasan pemaaf. Klausul pasal 45 UUBI hanya memberikan dampak psikologis bagi penerima ‘hak imunitas’. Apakah itu memang tujuannya? Di tangan hakimlah UU berbicara

Senin, Juni 02, 2008

Kontroversi Emiten Rugi Bagi Dividen

Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 16 Maret 2004.

Oleh: Sulistiono Kertawacana & Saleh Basir
Advokat di Jakarta
Beberapa waktu lalu, sempat menjadi berita hangat dimedia massa berkaitan dengan pembagian dividen bagi emiten yang memiliki Saldo Laba Negatif. Pada saat yang berdekatan, terdapat dua peraturan yang terkait dengan hal tersebut yang diterbitkan dua otoritas pasar modal kita.
Satu, Surat Edaran PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), sebagai penyelenggara perdagangan efek utama di Indonesia. Dua, Surat Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) selaku badan yang berwenang melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan sehari-hari di pasar modal.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan penerapan prinsip-prinsip Tata Kelola Yang Baik (Good Corporate Governance), khususnya mengenai perlakuan yang adil terhadap semua pihak yang berkepentingan terhadap kinerja Emiten (perusahaan tercatat), pada tanggal 11 Agustus 2003 BEJ melalui Surat Edaran No. SE-007/BEJ08-2003 tentang Pembagian Dividen Perusahan Tercatat (SE BEJ) menetapkan bahwa Emiten dapat membagi dividen final jika berdasarkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menyetujui pembagian dividen dengan syarat (i) memperoleh laba bersih dalam tahun buku berjalan dan (ii) memiliki saldo laba positif.
Selang 10 hari kemudian (21 Agustus 2003), Bapepam melakukan “koreksi” atas SE BEJ melalui suratnya kepada Direksi emiten dan perusahan publik No. S-2076/PM/2003 tentang Pembagian Dividen (SE Bapepam) yang menyatakan bahwa bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang memilik Saldo Laba (Retainied Earnings) negatif dapat membagi dividen dengan syarat (i) laba bersih tahun berjalan positif, (ii) jumlah Tambahan Modal Disetor (additional paid in capital) lebih besar dari pada saldo laba (retained earnings) negatif tersebut, (iii) total ekuitas positif, (iv) jumlah dividen yang akan dibagikan lebih kecil dari laba bersih tahun berjalan , dan (v) jumlah dividen yang akan dibagikan tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Akhirnya, sebagai bentuk “kepatuhannya” kepada Bapepam selaku otoritas pembina, pengatur, dan pengawas kegiatan sehari-hari di pasar modal, BEJ telah mencabut SE BEJ tersebut (tentang Pembagian Dividen Perusahan Tercatat) dengan Surat Edaran No.SE-013/BEJ/10-20003. Sengketa diantara keduanya pun usai sudah. Namun, dari kacamata hukum dan akuntansi, pembagian deviden bagi perusahaan yang bersaldo laba negatif masih mennyisakan beberapa persoalan.
Dividen Vs Saldo Laba Negatif
Berkaitan dengan diperbolehkannya emiten bersaldo laba negatif untuk membagi dividen, seorang praktisi dan pakar hukum terkemuka pernah menyampaikan pendapatnya kepada sebuah media online di bidang hukum beberapa waktu lalu yang isinya menentang kebijakan tersebut (SE Bapepam-pen). “Ketentuan pasal 61 dan pasal 62 UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sudah secara jelas mengatur hal tersebut, “ jelasnya.
Menurutnya, selama PT masih mengalami kerugian (carried forward loss) yang belum ditutup melalui cadangan lain –antara lain retained earnings dan agio saham—maka dividen tidak bisa dibagikan. “Jadi, kalau ada menteri (Kementerian BUMN) memutuskan sebuah BUMN –yang berbentuk PT—memberikan dividen, sementara PT tersebut masih merugi, maka surat keputusan menteri itu batal demi hukum,’” tegasnya seolah mengomentari kemungkinan PT Bank Mandiri (Persero) dan PT Bank BNI (Persero) yang akan memberikan dividen ketika itu.
Padahal, secara kumulatif, dua BUMN tersebut kemungkinan bersaldo laba negatif. Benarkah demikian alpa-nya Bapepam sehingga berani menerbitkan surat yang jelas-jelas melanggar UU PT?
Jika dilihat secara sepintas, memang terlihat kedua aturan tersebut berbeda. Namun, mari kita lihat lebih mendalam, apakah memang benar kedua aturan tersebut saling bertentangan?
Menurut penulis, SE BEJ yang telah dicabut tersebut merupakan aturan yang ideal karena mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, logika bisnis dan akuntansi. Secara common sense, emiten dapat membagi laba (dividen) jika emiten membukukan laba bersih dan memiliki saldo laba positif. Hal ini sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) No.21 tentang Akuntansi Ekuitas paragraf 22 yang menyatakan bahwa kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen. Dengan demikian, pada saat itulah saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Jelas, menurut PSAK, dividen akan dibebankan (didebet) kepada saldo laba. Jika emiten memiliki saldo laba negatif, bagaimana mungkin akan membagi dividen? Karena jika membagi dividen, maka saldo laba akan semakin negatif.
Kedua, SE BEJ yang telah dicabut tersebut merujuk pada UUPT khususnya pasal 58 juncto pasal 61 dan 62. Menurut UUPT tersebut, sebelum dibagikan sebagai dividen, laba bersih harus disisihkan (dalam jumlah tertentu) terlebih dahulu untuk membentuk cadangan wajib sekurang-kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan. Artinya, apabila cadangan bersaldo negatif, berarti laba tidak boleh dibagikan sebagai dividen. Prinsip itulah yang wajar dilakukan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
Dalam dunia akuntansi, istilah cadangan memang kurang lazim digunakan. Namun, jika dilihat dari fungsinya, cadangan dapat dipadankan dengan bagian laba yang tidak dibagi dalam bentuk dividen atau biasa disebut sebagai saldo laba (PSAK No.1 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan).
Jadi, pada hakekatnya jika suatu perusahaan memiliki Saldo Laba bersaldo positif, berarti perusahaan memiliki akumulasi keuntungan dari periode-periode sebelumnya sampai dengan tanggal neraca yang belum dibagikan dalam bentuk dividen. Sebaliknya, jika perusahaan memiliki saldo laba negatif berarti perusahaan tersebut membukukan akumulasi kerugian. Dalam hal ini, saldo laba (cadangan) digunakan diantaranya untuk menutup kerugian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Disisi lain, Surat Bapepam tentang Pembagian Dividen menurut penulis lebih realistis karena mempertimbangkan faktor-faktor penyebab adanya saldo laba negatif.
Pertama, seperti kita ketahui, akibat krisis hutang sejak tahun 1998 khususnya hutang luar negeri yang melilit sebagian besar korporasi di Indonesia. Banyak emiten yang mengalami kerugian disebabkan selisih kurs yang dahsyat. Bukan karena kinerjanya yang buruk. Kerugian selisih kurs tersebut sangat membebani laporan keuangan emiten sampai dengan saat ini. Dari data emiten di BEJ, per Neraca 31 Desember 2002 sekitar 100 emiten mengalami posisi keuangan bersaldo laba negatif, sebagai akibat kerugian kurs tersebut.
Kedua, keinginan investor untuk mendapatkan dividen. Walaupun masih bersaldo laba negatif, banyak emiten sudah menunjukkan perbaikan kinerjanya. Hal ini dapat dilihat dari mulai dapat diperolehnya kembali laba bersih untuk tahun 2002.
Tentunya, setelah sekian tahun investor tidak memperoleh dividen, sekaranglah saatnya, investor dapat menerima kembali hak-haknya. Banyaknya emiten yang dapat membagi dividen tentunya akan dapat menarik kembali investor-investor jangka panjang untuk masuk kembali kepada Pasar Modal di Indonesia.
Ketiga, adanya 5 syarat tersebut diatas, yakni laba bersih tahun berjalan, saldo additional paid capital yang lebih besar dari saldo laba negatif, total ekuitas positif, jumlah dividen yang akan dibagikan lebih kecil dari laba bersih tahun berjalan , dan jumlah dividen yang akan dibagikan tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Sebagaimana lazimnya, perusahaan yang memperoleh laba dapat mengalokasikannya untuk (i) dana cadangan yang diwajibkan UUPT yakni hinga minimal mencapai 20% dari modal ditempatkan, (ii) pembagian tansiem (tantieme) untuk anggota direksi, anggota komisaris, bonus untuk karyawan, atau (iii) cadangan lain untuk ekspansi perusahaan.
Dengan demikian, menurut penulis, kelima syarat Surat Bapepam tersebut sebenarnya cukup efektif untuk menghindari adanya penurunan modal emiten akibat pembagian dividen. Hal ini karena dividen yang dibagikan tidak boleh lebih besar dari pada laba bersih tahun berjalan dan jumlah dividen tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Artinya, setelah emiten yang bersaldo laba negatif membagi dividen, tidak mengakibatkan ekuitas menjadi lebih kecil dari pada modal disetor plus cadangan yang diwajibkan. Apalagi ditambah syarat bahwa emiten tersebut juga harus memiliki saldo additional paid capital yang dapat menutup saldo laba negatif.
Namun, disisi lain menurut penulis SE Bapepam punya potensi untuk bertentangan dengan pasal 61 dan 62 UU PT. UUPT jelas menngatur bahwa sebelum dibagikan dalam bentuk dividen, suatu PT harus menyisihkan sebagian labanya sebagai cadangan hingga sekurang-kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan.
Selain itu juga, berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi manusia No.M-01.HT.01.01 tahun 2001 tentang Tatacara Pengajuan Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT yang memberikan standar model Anggaran Dasar PT pada bagian lampirannnya khususnya mengenai Kerugian Yang Tidak Tertutup diatur bahwa apabila perhitungan laba rugi pada suatu tahun buku menunjukkan kerugian yang tidak dapat ditutup dengan dana cadangan, maka kerugian itu akan tetap dicatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi dan dalam tahun buku selanjutnya PT dianggap tidak mendapat laba selama kerugian yang tercatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi itu belum sama sekali tertutup.
Persoalannya, apa yang dimaksud dengan cadangan menurut UUPT ini? Apakah cadangan menurut UUPT sama dengan Saldo Laba menurut akuntansi atau akun lain selain komponen modal disetor? Jika yang dimaksud dengan cadangan adalah Saldo Laba (akuntansi), jelas SE Bapepam kurang sesuai dengan UUPT, karena bagaimana mungkin bagi dividen, padahal cadangan (Saldo Laba) masih negatif?
Bagaimana halnya jika emiten bersaldo negatif hendak membagi dividen tapi tidak memenuhi kelima syarat tersebut? Dari sisi akuntansi, ada satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menjembatani masalah tersebut, yakni emiten melakukan quasi reorganisasi.
Quasi Reorganisasi dilakukan dengan salah satu cara atau gabungan dari penilaian kembali aset-asetnya dan penurunan nilai nominal saham. Keuntungan dari penilaian kembali aset-aset tersebut dan agio dari selisih nilai nominal dengan nilai pasar atas saham digunakan untuk menghilangkan saldo laba negatif tersebut.
Jika dengan cara tersebut, emiten tetap belum dapat menghilangkan saldo laba negatif atau total ekuitas negatif, maka perlu melakukan restrukturisasi modal, yakni penambahan modal disetor dengan injeksi dana segar dari investor.
Dengan demikian, SE BEJ yang telah dicabut sejatinya lebih konservatif dan berhati-hati karena memperhatikan kaidah-kaidah yang ditetapkan PSAK dari pada SE Bapepam. Meski berdasarkan pasal 11 UU No.5/1995 tentang Pasar Modal (UUPM) diatur bahwa peraturan yang wajib dibuat oleh Bursa Efek, termasuk perubahannya, mulai berlaku setelah mendapat persetujuan Bapepam.
Namun, berdasarkan pasal 58 UUPT, perhitungan tahunan (yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun buku tahun berjalan) dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (prinsip akuntansi yang yang telah diakui dan disetujui oleh kalangan akuntan Indonesia bersama instansi pemerintah yang berwenang - SAK).
Jika SAK tidak dapat dilaksanakan, maka harus diberikan penjelasan serta alasannya. Persoalannya, apakah SE Bapepam tersebut sudah cukup sebagai alasan untuk mengesampingkan PSAK yang telah disepakati oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai lembaga penerbit Standar Auntansi Keuangan (dalam bentuk PSAK) yang eksistensinya telah diakui pemerintah?
Dengan demikian, dilihat dari yuridis formal bahwa Bapepam selaku badan yang berhak menerbitkan peraturan bagi emiten di pasar modal memiliki otoritas untuk itu sebagaimana dijamin oleh pasal 11 UUPM sebagaimana disebutkan di atas
Namun, secara substansi, Surat Bapepam ini memiliki potensi untuk melanggar ketentuan UUPT, sebab tidak mengacu pada PSAK yang dirujuk oleh UUPT. Tantangannya, beranikah IAI mengajukan uji materil terhadap SE Bapepam tersebut yang dianggap menyalahi kaedah kebiasan (yang bisa dijadikan sumber hukum) PSAK.
Sebab, tentunya PSAK diterbitkan oleh IAI tentunya memiliki logika akuntansi dan ekonomi yang teruji. Sehingga, jika disimpangi akan mengandung resiko keuangan yang tidak diinginkan. IAI sebagai organisasi profesi akuntan yang independen, sudah selayaknya memberikan pendapatnya, ketika ada otoritas pemerintah yang “menganggu” tatanan akuntansi di Indonesia.
Semoga saja SE Bapepam tersebut bukan sebagai aturan yang dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan emiten tertentu saja, namun lebih sebagai kebijakan & tafsir akuntansi untuk mengatur dan melindungi kepentingan stakeholders pasar modal Indonesia.

Kesepakatan BLBI, Demi Tak Hilang Muka

Tulisan ini telah dipublikasikan majalah InfoBank edisi No.296 Desember 2003 Vol.XXV.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum

Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah telah mencapai kesepakatan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp144,5 truliun, di awal Agustus 2003 setelah menjadi "perselisihan" selama bertahun-tahun diantara keduanya.
Sebagai penyelesaiannya, pemerintah menerbitkan obligasi negara berseri SRBI-01/MK/2003 pada tanggal 7 Agustus 2003 sebagai pengganti surat utang No.SU-001/MK/1998 (senilai Rp80 trliun) dan SU-003/MK/1999 (senilai Rp64,5 triliun) yang dulu pernah disetujui sebagai penyelesaian BLBI. Dengan diterbitkannya obligasi negara tersebut, maka kedua surat utang terdahulu dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Beberapa Kesepakatan Penting
Ada tiga hal menarik dalam kesepakatan tersebut untuk dibedah dalam perspektif hukum.
Satu, kebijakan BLBI adalah kebijakan pemerintah yang dirumuskan pemerintah dan BI dalam masa krisis, kemudian dilaksanakan BI dalam upaya menyelamatkan sistem moneter dan perbankan serta perekonomian secara keseluruhan.
Artinya, dari perspektif hukum pihak yang menerbitkan kebijakanlah yang menanggung beban BLBI, sebab BI diakui pemerintah sebagai pihak yang "hanya" ikut merumuskan kebijakan (bersama pemerintah) dan pelaksana (penerima kuasa) BLBI, bukan pihak yang menanggung/memerintahkan BLBI.
Sebagai konsekuensi dari pemerintah telah sepakat/mengakui BLBI sebagai kebijakannya, maka pemerintah juga yang menanggungnya. Meski ditilik dari namanya sendiri telah melibatkan BI, yaitu BLBI yang lebih cenderung sebagai kebijakan BI.
Ketentuan peralihan pasal 73 UU No.23/1999 tentang BI (UUBI) ditetapkan bahwa segala aktiva dan pasiva BI menurut UU No.13/1968 tentang Bank Sentral (UUBS) beralih menjadi aktiva dan pasiva BI menurut UUBI.
Menurut pasal 32 UUBS, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (dikenal dengan lender of the last resort) untuk membantu bank yang sedang mengalami likuiditas keuangan dalam keadaan darurat.
Namun, harap diperhatikan bahwa posisi BI berdasarkan UUBS ini tidak independen. Ketika itu, BI adalah Lembaga Negara yang bertugas membantu presiden dalam melaksanakan kebijakan moneter, karenanya BI menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dua, rentang rasio modal BI (terhadap kewajiban moneternya) yang disepakati dalam penyelesaian BLBI melalui penerbitan obligasi negara seri SRBI-MK01/MK/2003 adalah 3% sampai 10%. Artinya, jika rasio modal BI kurang dari 3%, pemerintah wajib menyetor charge (suntikan dana) kepada BI sampai rasio modal BI mencapai 3%. Sebaliknya, jika rasio modal BI melampaui 10% dari kewajiban moneternya, BI akan menyetorkan kelebihan modalnya kepada pemerintah untuk mengurangi outstanding (nilai) obligasi negara seri SRBI-001/MK/2003 tersebut.
Kesepakatan item dua tersebut tidak konsisten dengan kesepakatan BLBI dalam item satu. Sebab, BI masih dibebani kewajiban untuk menyetorkan kelebihan modalnya berdasarkan kesepakatan tersebut. Padahal, dalam item satu kesepakatan BLBI sudah ditetapkan bahwa BI hanya sebagai pihak yang ikut merumuskan (bersama pemerintah) dan pelaksana, bukan pihak yang menerbitkan kebijakan BLBI itu sendiri. Pemerintah sebagai pihak yang telah menerbitkan kebijakan BLBI adalah pihak nyang bertanggung jawab 100% atasnya.
Hal ini berbeda jika BI juga telah disepakati sebagai pihak (bersama-sama pemerintah) yang turut serta sebagai penerbit kebijakan, misalkan sebagai keputusan bersama antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan RI.
Sebab, kabarnya keputusan BLBI ini ditetapkan melalui mekanisme rapat Dewan Moneter (ketika posisi BI belum independen). Anggota Dewan Moneter terdiri dari 3 orang yaitu menteri-menteri yang membidangi keuangan dan perekonomian (Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri - Menko Ekuin) dan Gubernur BI. Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan ini bertugas memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan pemerintah.
Berhubung BI hanya dianggap sebagai pihak yang ikut merumuskan saja, maka tidak sebagai pihak yang layak ditarik bertanggung jawab atas kebijakannya itu sendiri. Hal ini berbeda jika kebijakan BLBI adalah merupakan kebijakan dari Dewan Moneter yang melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk misalnya Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai dasar diterbitkannya kebijakan BLBI.
Itu pun seandainya dimungkinkan oleh UUBS bahwa BI dalam hubungannya dengan pemerintah berwenang untuk mengeluarkan SKB yang akibatnya membebankan BI secara finansial. Padahal UUBS mengatur hubungan keuangan BI dengan pemerintah adalah sebagai pemegang kas pemerintah, menyelenggarakan pemindahan uang untuk pemerintah, dan membantu pemerintah dalam penempatan surat utang negara.
Sesungguhnya, penataan modal BI telah diatur UUBI. Pemerintah atau Dewan Gubernur tidak boleh menyimpangi UUBI tersebut berdasarkan perjanjian/kesepakatan. Benar bahwa. BI dalam kapasitasnya sebagai badan hukum berwenang membuat perjanjian dengan pihak lain, baik dalam lingkup hukum internasional/publik yakni perjanjian BI dengan dengan bank sentral negara lain, organisasi, dan lembaga internasional maupun dalam hubungan hukum privat.
Sampai di sini, terkesan bahwa kesepakatan BLBI tersebut tidak bermasalah. Tapi, tunggu dulu. UUBI tidak memberikan kewenangan Gubernur BI (mewakili BI) melakukan kesepakatan yang bersifat sementara (karena hanya mengenai penyelesaian BLBI) dalam hal mengatur mekanisme penataan modal BI.
Sebab, UUBI mendelegasikan kepada BI untuk mengatur tata cara penambahan modal dari cadangan umum atau sumber lainnya ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI), yang bersifat independen (tidak tergantung pada kesepakatan pihak lain). Produk hukumnya berupa PBI, bukan perjanjian/kesepakatan dengan pemerintah, yang bersifat sementara yakni 30 tahun (jangka waktu obligasi negara SRBI No.01/MK/2003).
Boleh saja BI mengadakan kesepakatan dengan pihak lain. Tapi bukan dalam hubungan hukum yang dibatasi UUBI khususnya ketentuan yang bersifat memaksa (mandatoir) dan tidak boleh disimpangi.
Modal BI adalah termasuk dalam kategori ketentuan UUBI yang mandatoir, yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 62. Modal BI ditetapkan minimal Rp2 triliun yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan merupakan penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut UUBS sebelum UUBI diberlakukan. Modal tersebut harus ditambah hingga mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter yang dananya berasal dari cadangan umum dan sumber lain.
Cadangan umum adalah dana yang berasal dari sebagian surplus BI yang dapat digunakan untuk menghadapi resiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan tugas dan wewenang BI. Sedangkan sumber lain dapat berupa hasil revaluasi aset dan/atau setoran modal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kewajiban moneter adalah kewajiban BI kepada masyarakat, bank, dan pemerintah yang terdiri atas uang kartal yang diedarkan; saldo kredit rekjening milik bank, milik pemerintah, dan milik pihak lain seperti simpanan pegawai yang tercatat di BI; serta surat utang yang diterbitkan oleh BI.
Pasal 62 UUBI mengatur bahwa surplus hasil kegiatan BI akan dibagi (i) 30% untuk cadangan tujuan (digunakan untuk penggantian dan/atau pembaruan harta tetap dan perlengkapan yang diperlukan, pengembangan sumber daya manusia dan organisasi dalam melaksanakan tugas dan wewenang BI serta untuk penyertaan modal pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas BI dan dengan persetujuan DPR) dan (ii) sisa dipupuk sebagai cadangan umum sehingga jumlah modal dan cadangan umum mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter.
Selanjutnya, sisa surplus setelah dikurangi pembagian tersebut, diserahkan kepada pemerintah (berdasarkan perintah UUBI, bukan karena kesepakatan BI dengan pemerintah). Berkaitan dengan hal tersebut, kesepakatan BLBI yang mewajibkan BI untuk melakukan hal ini adalah sia-sia. Sebab, tanpa kesepakatan dengan pemerintah pun BI wajib menjalankannya atas perintah UUBI.
Sebaliknya, apabila modal BI menjadi kurang dari Rp2 triliun, pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang pelaksanaanya dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR. Ini berbeda dengan ketentuan yang disepakati antara pemerintah dengan BI mengenai penyel;esaian BLBI, yakni kewajiban pemerintah untuk menambah modal (menyetor charge- suntikan dana) BI ketika rasio modal BI mencapai 3%.
Kewajiban pemerintah itu tidak digantungkan pada jumlah modal BI yang kurang dari Rp2 triliun. Tapi, pada rasio modal BI yang minimal harus mencapai 3%. Padahal, bisa jadi modal BI lebih dari Rp2 triliun, tapi kurang dari rasio modal BI terhadap kewajiban moneternya sebesar 3%.
Kewajiban pemerintah dalam penyelesaian BLBI dalam kesepakatannya dengan BI adalah kewajiban yang berdasarkan perjanjian. Tapi kewajiban yang timbul karena perjanjian, tidak boleh bertentangan dengan UU, khususnya UUBI.
UUBI mengatur hubungan BI dengan pemerintah khususnya dalam kaitan jika pemerintah akan menerbitkan surat utang negara (SUN), yakni mewajibkan pemerintah terlebih dahulu berkonsultasi dengan BI. BI dapat membantu penerbitan SUN oleh pemerintah dengan bertindak seabagai agen untuk melaksanakan lelang SUN di pasar perdana (pasal 13 UU No.24/2002 tentang Surat Utang Negara).
Catatan penting lainnya, berdasarkan pasal 62 ayat (3) UUBI, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk menggunakan dana setoran BI yang berasal dari sisa surplus setelah dikurangi cadangan tujuan dan cadangan umum, akan digunakan untuk tujuan mengurangi outstanding obligasi negara sebagaimana tertuang dalam kesepakatan pemerintah dan BI.
Tiga, charge yang dibayar pemerintah akan dibukukan BI sebagai penerimaan, bukan sebagai sumber lain untuk menambah modal. Padahal kewajiban pemerintah yang diwajibkan UUBI adalah justru untuk menambah modal BI.
Meski demikian, apakah BI bisa bebas membelanjakan penerimaan tersebut? Tentu saja tidak.. Sebab, meski bukan dibukukan sebagai modal, namun penggunaan dana yang ada dalam BI diatur secara ketat oleh UUBI, yakni apabila surplus, maka harus dialokasikan untuk cadangan tujuan dan cadangan umum sebagaimana dijelaskan dimuka tulisan ini. Jadi, BI tetap saja tidak bebas menggunakan penerimaan tersebut.
Pertimbangkan Dua UU
Keputusan BLBI diterbitkan sebagai jawaban untuk mengatasi krisis perbankan yang melanda Indonesia. Ketika itu, BI menjalankan tugasnya berdasarkan UUBS. Kemudian terjadi perselisihan antara pemerintah dan BI mengenai BLBI yang berlarut-larut, yaitu siapa yang bertanggung jawab atas pengucuran dana BLBI tersebut.
Akhirnya (beberapa kali?) kesepakatan tercapai (terakhir) pada tanggal 1 Agustus 2003 ketika BI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan UUBI.
Menurut penulis, dengan adanya dua UU yang berbeda dalam rentang waktu tersebut, maka untuk menyelesaikan kemelut antara pemerintah dengan BI harus mempertimbangkan dua UU yang berlaku saat itu.
Satu, berkaitan dengan pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan BLBI, apakah pemerintah atau BI. Untuk hal ini harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat kebijakan BLBI diputuskan. Untuk BI, tentunya berdasarkan UUBS.
Dua, isi kesepakatan BLBI antara pemerintah dengan BI yang telah diputuskan pada Agustus lalu, harus berdasarkan UUBI yang menjadi landasan pemerintah dan BI dalam melakukan hubungan hukum paska BI menjadi lembaga independen. Sebab, kesepakatan tersebut terjadi ketika UUBI telah berlaku yakni sejak tanggal 17 Mei 1999.
Nampaknya, beberapa kesepakatan yang telah dicapai antara pemerintah dan BI, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah lebih kepada pertimbangan untuk menyelamatkan muka kedua pihak. Tujuannya, agar dalam pandangan masyarakat tidak ada pihak yang kehilangan muka.
Mengapa demikian? Sebab, kesepakatannya menampakkan sesuatu yang tidak konsisten dari kacamata hukum. Bagaimana tidak, pihak yang telah menyepakati sebagai kebijakannya (pemerintah), masih melibatkan pihak lain (BI) untuk turut menanggungnya secara semu. Dinilai semu, sebab seolah-olah mewajibkan BI untuk menyerahkan sisa surplus setelah dikurangi untuk alokasi dana cadangan dan dana tujuan serta rasio modal BI telah mencapai 10% dari kewajiban moneter tersebut berdasarkan kesepakatan.
Padahal, sebenarnya, kewajiban tersebut timbul karena UUBI, bukan disebabkan kesepakatannya dengan pemerintah.
Sesungguhnya, beberapa item kesepakatan BLBI yang telah dicapai antara pemerintah dan BI merupakan preseden buruk bagi penyelesaian sengketa antar lembaga negara. Maklum Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum yang berwenang mengadilinya belum disahkan UU-nya (UU Mahkamah Konstitusi disahkan beberapa hari sebelum tanggal 17 Agustus 2003, kesepakatan BLBI dicapai pada tanggal 1 Agustus 2003).