Senin, Oktober 13, 2008

HIPOTIK PESAWAT UDARA DI INDONESIA DIKAITKAN DENGAN CAPE TOWN CONVENTION 2001

Tulisan ini pernah dikirimkan untuk bahan seminar yang diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Perhubungan RI tanggal 29 Juni 2006.


Oleh: Tamiza Saleh dan Sulistiono Kertawacana

Pengantar:

Indonesia, sebagai Negara kepulauan, sangat memerlukan sarana transportasi yang cepat, murah, dan aman. Transportasi udara dengan menggunakan pesawat udara adalah merupakan alat transportasi yang tercepat dibandingkan dengan sarana angkutan laut dan angkutan darat. Perkembangan transportasi udara mengalami perkembangan pesat, setelah pemerintah memberikan cukup kebebasan bagi maskapai penerbangan untuk menentukan tarif.
Dengan model pengaturan yang demikian, bisnis disektor transportasi udara menjadi bergairah dan tumbuh pesat. Persaingan menciptakan pasar domestik yang pada gilirannya dapat menguntungkan konsumen. Akibat tiket pesawat terbang komersial yang relatif murah dan terjangkau, kini transportasi udara cenderung menggantikan/menggeser dominasi transportasi laut dan darat jarak jauh. Sebagai contoh banyak penumpang kereta api kelas eksekutif mengalihkan pilihan dari kereta api Jakarta-Surabaya menjadi ke pesawat terbang komersial. Begitu juga penumpang Jakarta-Medan banyak yang beralih memilih pesawat terbang komersial ketimbang bus antar propinsi. Kini transportasi udara sudah bukan lagi menjadi sarana transportasi yang mewah dan hanya bisa dijangkau oleh kalangan atas.
Namun, berkembangnya pertumbuhan bisnis transportasi udara, tidak diiringi dengan sistem hukum yang menopang pertumbuhan bisnis sektor tersebut. Salah satu diantaranya adalah hukum mengenai agunan atas pesawat udara (yaitu: pesawat terbang dan helikopter) yang terkait dengan pembiayaan pengadaan/pembelian pesawat udara. Sebab, jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah terjadi maskapai penerbangan membeli pesawat udara secara tunai seketika dengan menggunakan semata-mata uang/modalnya sendiri. Dengan sistem non tunai atau pinjaman diperlukan agunan yang memberikan kepastian hukum atas pembayaran kembali pinjaman secara tepat waktu dan untuk jumlah seluruhnya. Dengan adanya agunan yang bersifat kebendaan yang memberikan hak utama/prioritas kepada kreditur, maka apabila debitur wanprestasi atau gagal melakukan pembayaran kembali atas pinjamannya kreditur dapat mengeksekusi agunan kebendaan yang telah diberikan debitor tersebut guna pelunasan hutangnya. Oleh karenanya kreditor dapat merasa lebih aman dalam memberikan pembiayaan/kredit terhadap debitor.

Pesawat Udara Sebagai Agunan

Terkait dengan pengaturan pesawat udara sebagai agunan (jaminan) utang, pertama kali aturan yang diperkenalkan adalah melalui Keputusan Menteri Perhubungan No.13/S/1971 (“Kep Menhub No.13/S/1971”). Pasal 11 Kep Menhub No.13/S/1971 mengatur bahwa untuk maksud registrasi pesawat udara di Indonesia, pembelian pesawat udara dengan cara sewa beli (hire purchase) dapat dianggap sebagai pemilikan yang sah dan memenuhi persyaratan untuk registrasi pesawat udara dengan ketentuan:
a. dalam kontrak sewa-beli (hire purchase) tersebut tidak terdapat kemungkinan bagi si penjual untuk membeli kembali pesawat tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung;
b. sewa beli (hire purchase) tersebut disertai agunan berupa mortgage dari suatu lembaga keuangan berupa bank atau institusi lainnya atau lembaga kredit yang bonafide menurut pendapat Dirjen Perhubungan Udara.
Selanjutnya, untuk menjelaskan jaminan pesawat udara, diterbitkan Surat Edaran Menhub No.01/ED/1971 (“SE”) yang memberikan penjelasan pasal 11 Kep Menhub No.13/S/1971. SE tersebut diantaranya menjelaskan bahwa mortgage atas pesawat udara tidak mutlak diberikan dan diadakan di Indonesia, melainkan dapat pula dilakukan di luar negeri, asalkan prosedurnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara tersebut dan terdapat suatu ketentuan yang menentukan hukum Negara mana yang akan berlaku. Sebelum mortgage atas pesawat udara dapat dicatatkan pada Departemen Perhubungan c.q Ditjen Perhubungan Udara, mortgage yang diadakan di luar negeri tersebut harus ditetapkan kembali (di-verifikasi) oleh notaris di Indonesia.
Kep Menhub No.13/S/1971 tak berlaku lagi sejak terbitnya Kep Menhub No.KM 65/2000 yang kemudian dicabut dengan Kep Menhub No.KM 82/2004 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter. Pasal 7 Kep Menhub No.KM 82/2004 mengatur bahwa dalam hal pesawat terbang dan helikopter dibebani hak kebendaan (hipotik atau mortgage), pihak yang akan mengalihkannya wajib mencatatkan pada Ditjen Perhubungan Udara dengan menyampaikan bukti pengikatan hak kebendaan tersebut.
Sesungguhnya amanat diaturnya hukum tentang agunan atas pesawat udara sudah ada sejak diundangkannya UU No.15 tahun 1992 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) tanggal 25 Mei 1992. Pasal 12 UU Penerbangan mengatur: (1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek; (2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud ayat (1) harus didaftarkan; (3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun penjelasan dari Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Ayat (1)
Terhadap hipotek pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini berlaku ketentuan-ketentuan hipotek dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Ketentuan dalam pasal ini tidak menutup pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Hingga saat ini Peraturan Pemerintah sebagai ketentuan pengatur lebih lanjut dari Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas belum pernah dikeluarkan sehingga ketentuan mengenai agunan pesawat udara tersebut diatas tidak dapat dilaksanakan.
Selain dari itu perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kendala sehingga pembebanan atas pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas sulit untuk bisa dilaksanakan, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia ketentuan-ketentuan hipotek berlaku untuk tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya (dahulu – sedangkan sekarang atas tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya dibebankan dengan Hak Tanggungan). Selanjutnya berdasarkan pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang Indonesia hipotek berlaku untuk kapal laut berukuran paling sedikit duapuluh meter kubik (20 m3). Baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang Indonesia tidak menyebutkan mengenai pesawat terbang dan helikopter.
2. Pendaftaran atau Registrasi khusus untuk pembebanan pesawat terbang dan helikopter baik dalam bentuk hipotek atau hak agunan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku belum tersedia.
Contohnya: (a) pendaftaran atau registrasi pembebanan hipotek dan atau Hak Tanggungan atas tanah dilakukan di Badan Pertanahan Nasional kabupaten atau kota setempat dimana tanah tersebut berlokasi; dan (b) pendaftaran atau registrasi pembebanan hipotek atas kapal laut berukuran 20 m3 atau lebih dilakukan oleh pejabat khusus (Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal) yang diangkat oleh Menteri Perhubungan di kantor yang khusus disediakan untuk hal tersebut dilingkungan Departemen Perhubungan Laut. Dengan dilakukannya pendaftaran atau registrasi sesuai prosedur yang ditentukan, Hak Tanggungan dan Hipotek kapal tersebut merupakan suatu hak agunan yang mengikat pihak ketiga dan memberikan kedudukan yang diutamakan (preferen) kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain dari debitor yang mengagunkan tanah atau kapalnya tersebut.
3. Meskipun penjelasan dari Ayat 1 Pasal 12 UU Penerbangan tersebut menyebutkan bahwa tidak tertutup kemungkinan dilakukannya pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya dengan jaminan fidusia), didalam prakteknya terjadi perbedaan interpretasi mengenai hal tersebut yang menghambat pelaksanaan pembebanan pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang terutama untuk pembiayaan dalam negeri dengan kreditur bank-bank di Indonesia.
Dengan kondisi-kondisi diatas, sangat jelas bahwa untuk kepastian hukum dapat dilakukannya pembebanan pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang di Indonesia, diperlukan perangkat hukum yang mengatur suatu lembaga pembebanan khusus untuk pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang.

Berbagai Konvensi Berkenaan Dengan Pesawat Udara

Sampai dengan saat ini, Peraturan Pemerintah sebagai amanat dari pasal 12 ayat (3) UU Penerbangan belum ditetapkan. Akibatnya saat ini Indonesia belum mempunyai peraturan yang memadai tentang tata cara pembebanan hipotik atas pesawat udara yang terdiri dari: pesawat terbang dan helikopter tersebut.
Secara umum, syarat untuk suatu pesawat udara dapat dibebani hipotik adalah pesawat udara tersebut telah terdaftar dan memiliki tanda kebangsaan. Pasal 12 ayat (1) UU Penerbangan mengatur bahwa pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek.
Registrasi pesawat udara dikenal dalam konvensi internasional seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Madrid 1926, Konvensi Havana 1928 dan Konvensi Chicago 1944.
Menurut Konvensi Paris 1919, apabila sebagian atau seluruh pesawat udara dimiliki oleh warga Negaranya, pesawat udara dapat diregistrasi di Negara tersebut. Tidak ada maskapai penerbangan yang dapat meregistrasikan pesawat udara sebagai pemiliknya, kecuali dua pertiga modal disetor dari maskapai penerbangan tersebut dimiliki oleh warga negara dari Negara yang melakukan registrasi sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Negara yang meregistrasi tersebut.
Konvensi Madrid 1926 menetapkan bahwa pesawat udara harus diregistrasi, tetapi persyaratan registrasi diserahkan kepada hukum nasional masing-masing Negara.
Adapun berdasarkan Konvensi Havana 1928, pemilikan pesawat udara oleh warga negaranya bukan merupakan syarat khusus untuk dapat dilakukannya registrasi pesawat udara di Negara yang bersangkutan. Persyaratan registrasi pesawat udara diatur oleh hukum nasional masing-masing Negara. Karenanya, dapat saja terjadi ketidakseragaman persyaratan registrasi pesawat udara dari satu Negara dengan Negara lainnya.
Selanjutnya pasal 80 Konvensi Chicago 1944 mencabut Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Havana 1928. Pasal 17 sampai dengan pasal 21 Konvensi Chicago 1944 mengatur tentang registrasi pesawat udara. Chapter III Konvensi Chicago 1944 menetapkan bahwa pesawat udara dilarang memiliki registrasi ganda, namun demikian dimungkinkan mengubah registrasi dari suatu Negara ke Negara lainnya (an aircraft can not be validly registered in more than one state, but its registration may be changed from one state to another). Tata cara pemindahan registrasi atau registrasi ulang dari suatu Negara ke Negara lain diatur oleh hukum nasional Negara yang bersangkutan (the registration or transfer or re-registration of aircraft in any contracting state shall be made in accordance with its laws and regulations). Pesawat udara tidak sah melakukan penerbangan internasional, kecuali mempunyai tanda kebangsaan dan tanda pendaftaran dari suatu Negara (every aircraft engaged in international air navigation shall bear appropriate nationality and registration marks).

Konvensi Cape Town 2001 (Cape Town Convension 2001)

Berikut ini adalah beberapa hal yang diatur didalam Konvensi Cape Town 2001.


Obyek Jaminan
Konvensi Cape Town 2001 tentang Jaminan-Jaminan untuk Benda Bergerak (Interest in Mobile Equipment) berisi (diantaranya) beberapa hal penting berkenaan dengan agunan terhadap benda-benda bergerak. Obyek benda-benda bergerak yang dapat diagunkan (agunan internasional) berupa (i) kerangka pesawat terbang (airframe), mesin pesawat, dan helikopter; (ii) gerbong kereta api (railway rolling stock) ; dan (iii) aset –aset ruang angkasa.
Konvensi Cape Town 2001 mengenal sistem pendaftaran internasional. Pasal 16 dari Konvensi Cape Town 2001 ini mengatur bahwa :
(1) Suatu sistem Pendaftaran Internasional akan dibentuk bagi pendaftaran:
(a) agunan internasional, agunan internasional yang akan datang dan dapat didaftarkan hak-hak dan jaminannya secara non-konsensual;
(b) pengalihan dan pengalihan yang akan datang dari agunan internasional;
(c) pengambilalihan agunan internasional karena subrogasi hukum atau karena diperjanjikan berdasarkan hukum yang berlaku;
(d) pemberitahuan agunan nasional; dan
(e) subordinasi agunan merujuk pada sub paragraph sebelumnya.
(2) Perbedaan Pendaftaran Internasional mungkin dibentuk untuk perbedaan kategori dari objek dan hak-hak yang terkait dengannya.

Otoritas Pengawas
Pasal 17 Konvensi Cape Town 2001 mengatur tentang Otoritas Pengawas dan Pendaftar. Sebagaimana dinyatakan dalam Protokol akan dibentuk suatu Otoritas Pengawas. Otoritas Pengawas akan (antara lain):
(a) membentuk atau menyiapkan pembentukan Pendaftaran Internasional ;
(b) kecuali dinyatakan sebaliknya oleh Protokol, menunjuk dan memberhentikan Petugas Pendaftaran;
(c) membuat prosedur administrative yang melengkapi pelaksanaan/operasi Pendaftaran Internasional;
(d) mengawasi Petugas Pendaftaran dan pelaksanaan/operasional Pendaftaran Internasional;
(e) berdasarkan permintaan Petugas Pendaftaran, menyiapkan tatacara pendaftaran sebagaimana dianggap tepat oleh Otoritas Pengawas;
(f) menyusun dan meninjau ulang (me-review) secara periodik struktur biaya yang dibebankan untuk jasa dan fasilitas Pendaftaran Internasional;
(g) melakukan segala tindakan yang dianggap perlu untuk meyakinkan bahwa sistem pemberitahuan/sistem pendaftaran elektronik yang ada dapat berjalan dengan efektif untuk melaksanakan maksud dan tujuan Konvensi ini dan Protokol;
(h) melaporkan secara periodik kepada Negara yang Meratifikasi Konvensi ini tentang tidak terikatnya kewajiban-kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dan Protokol

Ijin Pendaftaran
Pasal 20 Konvensi Cape Town 2001 mengatur tentang Ijin Pendaftaran. Suatu agunan internasional baik yang akan datang atau suatu pengalihan atau pengalihan yang akan datang dari agunan internasional tersebut dapat didaftarkan, dan setiap perubahan terhadap pendaftaran tersebut dapat diperpanjang sebelum habis waktunya oleh salah satu pihak dengan ijin tertulis pihak lainnya. Subordinasi suatu agunan internasional terhadap agunan internasional lainnya dapat didaftarkan oleh atau dengan ijin tertulis yang diterbitkan setiap waktu oleh orang/pihak yang agunannya disubordinasikan. Suatu agunan dapat dilepaskan/dicoret oleh atau dengan ijin tertulis dari pihak yang untuk kepentingannya jaminan dibuat (kreditor). Pengambilalihan suatu agunan internasional karena hukum atau melalui subrogasi yang diperjanjikan didaftarkan oleh penerima subrogasi (subrogatee). Hak non-konsensual yang dapat didaftarkan atas agunan dapat didaftarkan oleh pemegangnya. Suatu pemberitahuan dari suatu agunan nasional dapat didaftarkan oleh pemegangnya.


Asas Publisitas
Konvensi Cape Town juga telah mengakomodasi asas publisitas terhadap agunan internasional sebagai mana diatur dalam pasal 22 tentang Pencarian. Setiap pihak dapat, dengan cara yang diatur menurut Protokol dan peraturan, membuat atau meminta suatu dilakukannya pencarian secara elektronik pada Pendaftaran Internasional terhadap benda/harta yang didaftarkan terkait dengan agunan-agunan atau agunan internasional. Berdasarkan permohonan tersebut, Petugas Pendaftaran, dengan cara yang diatur dalam Protokol dan peraturan, akan menerbitkan suatu sertifikat pencarian dengan eletronik terhadap harta/benda yang terkait dengan setiap obyek (a) yang menyatakan informasi terdaftar yang terkait, bersama-sama dengan suatu pernyataan yang menunjukkan tanggal dan waktu pendaftaran dari informasi yang bersangkutan; atau (b) yang menyatakan bahwa tidak ada informasi dalam Pendaftaran Internasional yang terkait dengan yang dicari.
Tidak seorangpun akan ditolak aksesnya terhadap pendaftaran dan pencarian dengan menggunakan fasilitas Pendaftaran Internasional dengan alasan apapun selain tidak terpenuhinya ketentuan dalam prosedur yang ditetapkan menurut Konvensi ini.

Prioritas Agunan Yang Bersaing
Pasal 29 Konvensi Cape Town 2001 mengatur bahwa agunan yang telah didaftar lebih dahulu memiliki prioritas terhadap agunan yang didaftar berikutnya dan terhadap semua agunan yang tidak didaftarkan. Prioritas agunan terdahulu tersebut berlaku (a) meskipun jika agunan terdahulu diambil alih atau didaftarkan dengan pengetahuan sesungguhnya dari pemegang agunan lainnya; dan (b) meskipun terkait hal nilai yang diberikan oleh pemegang agunan yang disebutkan terdahulu dengan pengetahuan tersebut.
Pembeli obyek mengambil alih agunan didalamnya: (a) tunduk pada suatu jaminan terdaftar pada saat pengambilalihan agunan tersebut; (b) bebas dari suatu agunan yang tidak terdaftar sungguhpun ini memiliki pengetahuan yang sebenarnya terhadap jaminannya yang demikian. Calon pembeli (provisional buyer) atau penyewa mengambil alih agunan dalam atau hak-hak terhadap obyek (a) tunduk pada suatu agunan terdaftar sebelum pendaftaran agunan internasional yang dipegang oleh penjual sementaranya atau yang menyewakan (lessor) dan (b) bebas dari suatu agunan tak didaftarkan segera pada saat itu juga sungguhpun diketahui secara nyata terhadap agunan tersebut.
Prioritas agunan yang bersaing atau hak berdasarkan pasal ini dapat divariasikan oleh perjanjian antara pemegang agunan, tetapi seorang penerima pengalihan jaminan subordinasi tidak diikat oleh suatu perjanjian untuk mensubordinasikan agunan jika pada saat pengalihan suatu subordinasi telah didaftarkan terkait dengan perjanjian.

RUU Hipotik Pesawat Udara

Berikut ini adalah usulan dan masukan kami atas Konsep Rancangan Undang-Undang Tentang Hipotik Pesawat Udara (“RUU Hipotik Pesawat Udara”) yang disiapkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perhubungan Udara Tahun 2005.

Obyek Hipotik (pasal 4 s/d pasal 7)
1) Yang bisa dihipotikkan sebagai agunan adalah pesawat udara (alat yang dapat terbang di atmosfir karena daya angkat dari reaksi udara kecuali reaksi udara terhadap permukaan bumi) sipil. Termasuk dalam pengertian pesawat udara meliputi kerangka pesawat udara, mesin, baling-baling, peralatan navigasi, peralatan komunikasi dan semua perlengkapan yang bertujuan untuk digunakan dalam pesawat udara tersebut, terlepas apakah dipasang atau untuk sementara dilepaskan dari pesawat.
Pesawat udara yang dimaksudkan adalah pesawat terbang sipil atau helikopter sipil tanpa memperhatikan besar kecilnya maupun harga, pesawat terbang atau helikopter yang dapat terbang dan dioperasikan yang dibuktikan dengan sertifikat kelayakan udara yang masih berlaku.


Komentar:
Apakah cadangan mesin yang sedang diperbaiki atau pesawat yang sudah rusak namun masih memiliki nilai ekonomis tidak dapat dijadikan sebagai jaminan hipotik?

2) Pasal 6 ayat (2) menetapkan bahwa pesawat udara dengan tanda kebangsaan Indonesia yang dimiliki bersama-sama (trusteeship) tidak dapat dibebani hipotik.
Komentar:
Selama para pihak yang memiliki secara bersama-sama pesawat udara tersebut menyetujui, sebaiknya diperbolehkan untuk dijadikan jaminan hipotik. Konsep hukum jaminan bahkan tidak melarang barang milik pihak lain untuk dijaminkan sebagai agunan terhadap kredit yang dilakukan oleh pihak lain lagi.

3) Pasal 7 mengatur bahwa pesawat udara yang telah dibebani hipotek tidak dapat dibebani hipotik berikutnya, kecuali pembebanan hipotik berikutnya telah berakhir yang telah dihapuskan (roya) dari Buku Daftar Hipotik Pesawat Udara.
Komentar:
Sepanjang nilai pesawat udara yang dibebankan hipotik masih lebih tinggi dari jumlah utang, maka sebaiknya hipotik pesawat udara dapat dilakukan secara bertingkat (sebab bisa jadi agunan utang tidak hanya berupa pesawat udara). Dengan ketentuan bahwa kreditur yang memegang peringkat pertama memiliki hak lebih dulu dibandingkan dengan kreditur selanjutnya. Bandingkan dengan pasal 29 Konvensi Cape Town 2001. Hal serupa juga dilaksanakan dalam Hak Tanggungan (agunan atas tanah) berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996.

Dalam Pasal 10 huruf c diatur bahwa permohonan pendaftaran akta perjanjian hipotik pesawat udara dilengkapi dengan (diantaranya) salinan akta perjanjian hipotik yang dibuat oleh notaris Indonesia atau akta perjanjian hipotik yang dibuat diluar negeri yang telah disahkan oleh notaris Indonesia.
Komentar:
Sebaiknya ditegaskan bahwa apakah akte hipotik tersebut harus menggunakan bahasa Indonesia atau tidak. Sebab sangat mungkin para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut adalah pihak asing. Selayaknya, seperti dalam jaminan fidusia dan Hak Tanggungan, akta notaris tersebut harus berbahasa indonesia.


Subyek Hukum (pasal 2 dan 3)
5) Yang dapat menjadi penerima hipotik sebagai kreditur pesawat udara adalah (i) Warga Negara Indonesia (WNI), (ii) badan hukum Indonesia, (iii) Warga Negara Asing (WNA), atau (iv) badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Komentar:
Apa yang dimaksud dengan perwakilan di Indonesia? Apakah harus memiliki kantor perwakilan (representative office) atau cukup memiliki wakil yang dikuasakan yang berdomisili di Indonesia? Sebab, jika yang dimaksud adalah mempunyai perwakilan di Indonesia, ini akan sulit diterapkan. Sebab banyak lembaga asing baik bank atau pun lembaga keuangan bukan bank yang menjadi kreditur maskapai penerbangan Indonesia dalam pembiayaan pesawat udara tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia.

6) Pasal 3 ayat 2 mengatur bahwa WNA atau Badan Hukum Asing yang memiliki pesawat udara yang telah didaftarkan dan mempunyai tanda kebangsaan Indonesia tidak dapat memberi hipotik pesawat udara?
Komentar:
Sebaiknya ketika orang/badan hukum asing dapat mendaftarkan pesawat udaranya dengan kebangsaan Indonesia, maka hipotik pesawat udara yang dimilikinya pun dapat dibebankan hipotik menurut hukum Indonesia. Sebab, tempat pendaftaran hipotik pesawat udara didasarkan pada dimana pesawat udara tersebut didaftarkan dan memiliki kebangsaan, bukan pada dimiliki oleh warga Negara/badan hukum mana (asing atau bukan).

2 komentar:

Sulistiono Kertawacana mengatakan...

Konvensi Cape Town 2001 tentang Jaminan-Jaminan untuk Benda Bergerak (Interest in Mobile Equipment) diratifikasi melalui Peraturan Presiden Tentang Pengesahan Convention On International Interests In Mobile Equipment (Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak)

>>>lihat Perpres versi lengkap di
http://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+7&f=perpres8-2007.htm

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Inilah realitas peradilan di Indonesia.
Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675