Senin, Oktober 13, 2008

Memahami Hubungan Hukum PPA

Oleh: Sulistiono Kertawacana

Bahan diskusi di kantor Hukum Wiriadinata & Widyawan (pendahulu Wiriadinata & Saleh) tanggal 15 April 2004.

Lihat juga mengenai Menggugat Skenario "Pembubaran" BPPN
Tanggapan Untuk Iming M. Tesalonika

Artikel Iming M. Tesalonika berjudul Mencermati Institusi Pengganti BPPN (Bisnis, 17/3) yang mencoba memahami keberadaan PT (Persero) Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) dalam perspektif hukum terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan.
Benar bahwa PPA dibentuk untuk mengelola aset negara yang berasal dari BPPN. Namun, judul tersebut dapat menimbulkan persepsi yang keliru atas keberadaan PPA. Prinsip utama dibentuknya badan khusus -Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)- berdasarkan UU No.7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan adalah melakukan program penyehatan terhadap bank yang kurang sehat yang diserahkan Bank Indonesia (pasal 37 ayat 2).
Bahkan, PP No.17/1998 sebagaimana diubah terakhir dengan PP No.47/2001 tentang BPPN jelas menyatakan BPPN bertugas untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu sepanjang masih didiperlukan untuk menjalankan tugasnya. Artinya, jika prinsip diperlukannya BPPN masih diperlukan, maka masa tugas BPPN akan diperpanjang. Bukan mengganti BPPN dengan PPA.
PPA dan Kuasa Menkeu
Iming juga nampak tidak konsisten memposisikan dan tidak dapat membedakan secara jelas Menteri Keuangan (Menkeu) dan Menteri Negara (Menneg) BUMN dalam hubungan hukum dengan (Direksi) PPA (paragraf 7, 13, 23, 25, dan 29). Terkadang memposisikan Menkeu sebagai wakil dari pemerintah selaku pemegang saham PPA (paragraf 7), namun dalam paragraf lainnya pemegang saham pemerintah diwakili oleh Menneg BUMN (paragraf 29).
Pemahaman tersebut bersumber dari kegamangan Iming dalam mengasumsikan hubungan hukum antara Menkeu dengan PPA seolah-olah bukan hubungan kuasa antara pemilik aset dengan pengelola. Sehingga tidak ada bedanya dengan hubungan hukum antara Menneg BUMN selaku pemegang saham dengan Direksi PPA dalam suatu organ yakni PPA.
Selanjutnya, dalam paragraf 7 Iming menyatakan, meski pengangkatan dan pemberhentian Direksi merupakan kewenangan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah yang bertindak selaku pemegang saham Persero PPA…
Padahal, sesungguhnya hubungan (Menkeu dengan PPA) adalah hubungan pemberian kuasa. Maksud dan tujuan PPA mengelola aset negara yang berasal dari BPPN setelah pengakhiran tugas dan pembubaran BPPN, untuk dan atas nama Menkeu (pasal 2 ayat 1 Kepres No.10/2004 tentang Pendirian PPA). Artinya, Menkeu telah memberikan kuasa (berdasarkan perintah Keppres No.10/2004) kepada PPA untuk mengelola aset negara yang berasal dari BPPN.
Ketentuan tersebut terkait dengan status pihak yang akan mewakili negara selaku pemilik kekayaan BPPN. Berakhirnya tugas BPPN dan dibubarkannya BPPN, segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menkeu (pasal 6 ayat 1 Keppres No.15/2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN). Pennunjukan Menkeu dalam pengalihan untuk dikelola Menkeu tersebut (selanjutnya dikuasakan kepada PPA) terkait dengan posisi Menkeu selaku bendahara negara.
Artinya, hubungan antara Menkeu dengan PPA adalah hubungan statutory mandat (pemberian kuasa). Menkeu selaku “pemilik” kekayaan negara yang berasal dari BPPN, memberikan kuasa kepada PPA untuk mengelola aset negara dan bertindak untuk dan atas namanya (Menkeu).
PPA dan Menneg BUMN
Hubungan hukum Menneg BUMN dengan Direksi PPA adalah dalam kapasitas Menneg BUMN selaku wakil pemerintah (pemegang saham PPA) untuk mengangkat dan/atau memberhentikan anggota Direksi PPA sebagaimana dikuasakan melaui pasal 1 PP No. 64/2001 tentang Pengalihan Tugas dan Kewenangan Menkeu Pada Persero, Perum, dan Perjan Kepada Meneg BUMN.
Kewenangan menyuarakan kepentingan pemegang saham (pemerintah) melalui RUPS diberikan kepada Meneg BUMN (bukan Menkeu).
Akibat ketidakjelasan Iming memposisikan hubungan hukum antara Menkeu dan Menneg BUMN dengan Direksi PPA telah mengaburkan model kerja hubungan PPA dengan Menneg BUMN (selaku wakil pemerintah seagai pemegang saham).
Karenanya, dalam paragraf 25 artikelnya dinyatakan…. perlu diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian pengelolaan aset antara Direksi dan Menneg BUMN c.q. Menteri Keuangan mengenai kinerja secara kuantitatif yang disanggupi oleh Direksi dengan denda gantirugi (sanksi perdata) atas kegagalannya memenuhi isi perjanjian pengelolaan aset, maka Direksi Persero PPA dapat dimintai tanggungjawab secara perdata berdasarkan perjanjian pengelolaan aset.
Jelas, perjanjian pengelolaan aset yang dimaksud paragraf tersebut menggambarkan suatu hubungan yang terpisah sama sekali antara Direksi PPA dengan Menneg BUMN dalam kaitan hubungan antar organ dalam suatu Persero yakni pemegang saham dan Direksi. Bukan dalam rangka pelaksanaan kontrak manajemen (ditandatangani calon anggota Direksi Perseo (PPA) yang lulus fit and proper test sebelum diangkat menjadi Direksi) sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat 3 UU No. 19/2003 tentang BUMN (UU BUMN).
Kesalahan Iming dalam memposisikan hubungan hukum dalam paragraf 25 artikelnya tersebut, disebabkan ia terlalu cepat menyimpulkan keterangan (callon?) Direktur Utama PPA yang menyatakan pembiayaan operasional dan modal kerja PPA berasal dari pendapatan jasa pengelolaan aset. Dengan demikian skenario yang akan terjadi menurut Iming adalah PPA akan menandatangani perjanjian pengelolaan aset dengan pemerintah (Menkeu) (paragraf 12 dan paragraf 13).
Padahal, hubungan hukum antara Menkeu (selaku wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara) dengan PPA adalah sebagaimana disebutkan di atas yakni PPA bertindak untuk dan atas nama Menkeu melakukan pengelolaan aset negara yang berasal dari BPPN. Bukan melalui perjanjian pengelolaan aset.
Sedangkan, negara selaku pemilik aset akan memberikan target yang musti disanggupi oleh anggota direksi PPA dalam Kontrak Manajemen.
Kontrak Manajemen
Iming juga kurang dapat menangkap makna hakiki dari Kontrak Manajemen dalam rangka pengangkatan anggota Direksi Persero (PPA) yang diatur dalam UU BUMN.
Karenanya, dengan semangat mewujudkan profesionalitas terhadap BUMN yang nampak berlebihan, menurutnya … isi Kontrak Manajemen yang terinci dan mendalam dapat menjadi alat pembentuk perilaku yang lebih kompetitif dan profesional, dengan ancaman sanksi perdata berupa sanksi gantirugi jika terbukti lalai, serta sebagai tolok ukur kinerja (benchmark) yang definitif, sehingga tingkat keberhasilan Direksi dapat dinilai secara lebih obyektif (paragraf 33).
Padahal, Kontrak Manajemen adalah statement of corporate intent yang antara lain berisikan janji-janji atau pernyataan Direksi untuk memenuhi segala target yang ditetapkan Menneg BUMN -selaku pemegang saham PPA- sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota Direksi. Kontrak Manajemen akan diperbaharui setiap tahun untuk disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan perusahaan.
Sesungguhnya, Kontrak Manajemen merupakan penyimpangan dari prinsip umum fiduciary duty yang dianut UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dalam hubungan antara pemegang saham dengan anggota direksi. Sebab, prinsip dan praktek dari pengangkatan anggota direksi dilatar belakangi kepercayaan dari pemegang saham terhadap anggota direksi untuk mengelola PT dengan itikad baik.
Sehingga -dalam praktek- inisaitif untuk mengangkat anggota direksi justru datang dari pemegang saham. Bukan calon anggota direksi yang menawarkan diri untuk diangkat. Prinsipnya, pemegang sahamlah yang membutuhkan orang yang dipercayainya untuk diangkat mengelola PT menjadi anggota direksi.
Namun -karena pengalaman praktek merugikan BUMN karena pemerintah tidak mengangkat anggota direksi BUMN secara profesional dan kepentingan rakyat selaku “pemegang saham sesungguhnya dari BUMN” yang terlindungi- penulis dapat memahami keberadaan Kontrak Manajemen dalam pengangkatan anggota Direksi BUMN.
Kontrak Manajemen dapat menetapkan alasan yang terukur dan objektif terhadap anggota direksi PPA untuk diberhentikan ditengah masa jabatannya atau diperpanjang masa tugasnya oleh Menneg BUMN selaku pemegang saham.
Diperkenalkannya Kontrak Manajemen diharapkan dapat mengeliminasi atau setidaknya mereduksi subyektifitas Menneg BUMN, korupsi, klolusi, dan nepotisme dalam pengangkatan atau pemberhentian ditengah masa jabatan direksi. Pada gilirannya, hal ini akan membuat anggota Direksi lebih tenang dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku bagi Persero secara umum, Direksi PPA juga akan diwajibkan untuk menyiapkan Rencana Jangka Panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan PPA yang hendak dicapai dalam waktu 5 tahun. Didalamnya akan memuat diantaranya misi, sasaran, strategi, kebijakan dan programn kerja.
Meski demikian, jika kita memahami dari fiduciary relationsip (hubungan kepercayaan) yang melahirkan fiduciary duties, tidaklah tepat memuat klausul ancaman sanksi perdata berupa sanksi ganti rugi apabila direksi PPA tidak berhasil mencapai target dalam Kontrak Manajemen sebagaimana dinyatakan Iming dalam paragraf 23 artikelnya.
UU PT menyediakan ancaman bagi setiap anggota direksi untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (tidak dengan itikad baik) yang dikenal dengan doktin piercing the corporate veil.
Bukan dengan ancaman bahwa jika Direksi PPA gagal mencapai target yang ditentukan pemegang saham (Menneg BUMN). Sebab, pengangkatan anggota direksi oleh pemegang saham dilandasi kepercayaan dari pemegang saham itu sendiri . Ini merupakan hubungan internal (fiduciary relationship) antarorgan PT. Ini jelas berbeda jika PT mengadakan kontrak dengan pihak luar (di luar organ PT) yang memungkinkan tuntutan ganti rugi jika pihak lawan lalai memenuhi perjanjian.

1 komentar:

Sulistiono Kertawacana mengatakan...

UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas telah diganti dengan UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.