Sabtu, Oktober 03, 2009

Administrasi Korupsi BLBI

Majalah InfoBank edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI.

Oleh; Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Pangadilan Tinggi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dalam persidangan yang terpisah pada tanggal 29 Desember 2003 telah melepaskan ketiga mantan Direktur Bank Indonesia (BI), yakni Hendrobudiyanto, Heru Supraptomo, dan Paul Sutopo dari tuntutan hukum. Artinya, meskipun perbuatan mereka terbukti, namun ketiganya tidak dapat dihukum karena bukan perbuatan pidana. Putusan tersebut dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Samang Hamidi, Hasan Basri, dan Hartati.
Vonis diputuskan dengan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa adalah kebijakan pemerintah. Penyaluran Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat itu adalah kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan dalam keadaan krisis moneter (krismon).
Karena itu, pengadilan tinggi tidak bisa menilai kebijakan pemerintah sebagai tindak pidana. Keputusan presiden saat itu tidak bisa dinilai salah atau benar. Demikianlah penjelasan Hasan Basri Pase selaku Hubungan Masyarakat (Humas) Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Benarkah demikian?
Benar, berdasarkan pasal 32 ayat (3) Undang-Undang (UU) No. 13/1968 tentang Bank Sentral, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (lender of the last resort). Bahkan BLBI diakui sebagai kebijakan pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Kesepakatan ini menyetujui pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah dengan cara pengalihan hak tagih (cessie). Bahkan secara politik, kesepakatan itu telah mendapat restu dari Komisi IX DPR di awal Juni 2003 lalu.
Jika dipandang dari sisi yang demikian, tak ada masalah. Sebab, pemerintah selaku pemegang amanat konstitusi mempunyai otoritas untuk mengambil suatu tindakan darurat guna menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional. Saat itu masyarakat nampak panik. Mereka was-was uangnya yang disimpan di bank tidak dapat ditarik kembali.
Hal ini dibuktikan dengan panjangnya antrian nasabah di berbagai ATM. Jika tidak diselamatkan melalui BLBI, maka mungkin akan terjadi chaos, selain kekacauan ekonomi.
Persoalannya, pandangan majelis hakim PT DKI Jakarta itu berkiblat dalam dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) atau Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang memang tidak berimplikasi pidana. Padahal, persidangan yang ditanganinya dalam lingkup hukum pidana, yaitu pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam perkembangan suatu negara demokrasi modern, kewenangan eksekutif (pemerintah) tidaklah absolut (tanpa dapat dibatalkan) melalui pengadilan sebagai sistem perimbangan check and balances. Prosedurnya, kelompok masyarakat dan/atau individu yang menilai kebijakan/keputusan eksekutif kurang tepat atau bahkan merugikannya secara pribadi, dapat mengajukan judicial review atau gugatan Tata Usaha Negara (TUN) dapat diajukan.
Sistem hukum Indonesia pun saat ini telah mengenalnya. Judicial review diakui eksitensinya oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 selaku konstutusi kita pasca perubahan. Baik kebijakan/keputusan yang dikeluarkan pemerintah semata (di bawah UU) yang kewenangan mengadilinya pada Mahkamah Agung (MA), maupun produk hukum pemerintah dengan persetujuan DPR (UU) yang ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, untuk gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN.
Namun demikian, dari kacamata HAN atau HTUN, kebijakan pemerintah yang dinilai pengadilan salah, tidak menuai konsekuensi pidana bagi penerbit kebijakan tersebut. Sebab, pemerintah dinilai “hanya” salah menggunakan wewenang yang bersifat adminsitratif atau ketatausahaan dan bukan menyalahgunakan wewenang yang termasuk dalam domain (wilayah) hukum pidana. (Pemerintah) dinilai salah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya (perbuatan melawan hukum perspektif HAN atau HTUN).
Ketika apararat kepolisian atau kejaksaan mulai melakukan penyidikan dan penuntutan, maka secara otomatis perspektif hukumnya adalah hukum pidana, bukan dalam konteks HAN atau HTUN. Tentu saja metode pemeriksaan dan pembuktiannya tidak sama jika dibandingkan dengan pemeriksaan dalam lingkup HAN atau HTUN.
Dalam perspektif hukum pidana, bukan kebijakan yang diadili. Namun, perbuatan melawan hukum atas kebijakan atau keputusan eksekutif tersebut apakah diikuti unsur-unsur lainnya atau tidak. Unsur melawan hukum yang dibuat eksekutif merupakan penyalahgunaan wewenang, bukan salah menggunakan wewenang.
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN atau HTUN) bisa berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya.
Unsur-unsur tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama atau berdiri sendiri. Adapun yang dimaksud unsur-unsur tersebut diantaranya adalah satu, memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Dua, dapat merugikan keuangan negara (delik formil). Artinya, tidak mesti sudah terjadi bahwa kerugian negara telah benar-benar terjadi. Tapi dengan kebjikan yang telah diterbitkan dan belum terealisasi secara nyata, hal itu dapat saja termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Tiga, penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi oleh pihak lain. Jika ketiga atau salah satu unsur tersebut dipenuhi, maka penerbit kebijakan dapat didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Diperlukan kejelian jaksa dalam proses pembuktian dan kecermatan hakim untuk mengambil putusan. Sebab, pembuktiannya berbeda dengan kesalahan penggunaan wewenang dalam lingkup HAN atau HTUN. Apalagi yang terkait dengan gratifikasi. Tentu tidak menggunakan transaksi yang konvensional.
Selain itu, diperlukan bantuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengusutnya. Sebab, hampir pasti, penerima dan pemberi gratifikasi tidak akan ceroboh. Bisa jadi mereka menyewa advokat untuk mengamankan agar gratifikasi yang diberikannya tidak mudah ditelisik secara hukum. Transaksinya akan dilakukan secara tidak langsung dan dikaburkan.
Dari paparan di atas, tentu saja fokus pembuktiannya tidak sekadar bahwa apakah proses penyaluran BLBI tersebut telah benar secara prosedur atau tidak.. Tapi diikuti juga pemeriksaan atas tiga unsur tersebut (secara bersama-sama atau terpisah) sebagaimana yang telah didakwakan kepada ketiga mantan Direksi BI tersebut.
Kabarnya, ketiga mantan Direksi BI (diadili secara terpisah) didakwa telah melanggar pasal yang sama. Yakni pasal 1 ayat 1 sub b jo. pasal 28 jo. pasal 34 sub c UU No.3/1971 jo. pasal 64 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) jo pasal 1 UU No.20/2001 tentang perubahan UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bisa jadi, BLBI sebagai kebijakan tidak melanggar hukum. Namun, mungkin saja penyaluran dana BLBI terhadap bank-bank tertentu oleh ketiga mantan Direksi BI tersebut melanggar (diantaranya) SK Direksi BI No.14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 dan atau SK Direksi BI No.26/162/KEP/DIR tanggal 22 Maret 1994 (SKBI).
Berdasarkan ketentuan tersebut, diduga ada beberapa bank penerima BLBI yang tidak berhak menerimanya (fasilitas saldo atau mengikuti kliring). Persoalannya, SKBI pasti tidak mengatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atasnya. Sebab, ada persoalan otoritas dan konflik kepentingan bagi BI jika mengatur sanksi pidana.
Namun, putusan MA Regno.275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang telah menyatakan bersalah Raden Sonson Natalegawa (RSN) telah melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya dapat dijadikan perbandingan.
RSN, selaku eks Direktur Bank Bumi Daya (BBD), telah melakukan tindakan melawan hukum. Diantaranya memberikan kredit kepada PT Jawa Building (debitur) yang tidak sesuai dengan kebijakan internal BBD, yakni Surat Edaran/Instruksi Direksi BBD No.6/61 Kredit tanggal 10 September 1974 (SE BBD) juncto Surat Edaran BI No.SE 6/22/UPK tanggal 30 Juli 1973 (SE BI) yang melarang BBD memberikan kredit untuk proyek Real Estate.
Tentu saja, jika hanya dilihat pelanggaran SEBI dan SE BBD tidak terdapat ancaman pidana. Artinya, pelanggarannya bersifat adminsitratif. Namun, ketika itu MA menilai terdapat kerugian keuangan negara. Sebab, PT Jawa Building tidak dapat mengembalikan kredit. Ditambah dengan bukti bahwa RSN telah menerima hadiah atau fasilitas (gratifikasi) dari pihak yang tekait dengan PT Jawa Building.
MA menafsitrkan unsur melawan hukum tidak hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi BBD yang menurut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak melanggar peraturan hukum yang berkonsekuensi sanksi pidana. Tapi, MA berpendapat lain.
Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya perbuatan melawan hukum diukur juga berdasarkan asas hukum tak tertulis maupun asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Sedangkan, menurut kepatutan masyarakat dalam perkara korupsi, seorang petinggi Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menerima gratifikasi berlebihan serta keuntungan lainnya dari debitur (penerima kredit) dengan maksud direksi Bank BUMN tersebut menggunakan kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara menyimpang adalah perbuatan melawan hukum.
Semoga saja, ditingkat Kasasi, MA akan memberikan putusan yang bijak dan cerdas demi kepastian hukum. Sebab, diperlukan alasan hukum yang logis untuk melepaskan atau menghukum ketiga mantan Direksi BI. Pejabat BI butuh kepastian hukum dengan kategori yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, kita juga berkepentingan untuk menjaga keuangan negara agar tidak disalahgunakan. Selamat mengadili MA.

Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara

1 komentar:

Sulistiono Kertawacana mengatakan...

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara