Selasa, Desember 22, 2009

Dapatkah Kebijakan Dipidana?

Sinar Harapan Edisi Jum'at, 25 Juli 2003.

Oleh Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta

Bank Indonesia (BI), selaku Bank Sentral yang dari dulu sampai kini masih mengemban tugas pengawasan bank komersial, telah mengalami pasang surut dan sejarah, baik yang muram maupun yang gemilang. Beberapa mantan Direksi BI telah divonis bersalah. Sebut saja Paul Soetopo Tjokronegoro, telah divonis hukuman penjara 2,5 tahun dan denda Rp20 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (4/4). Ia dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian fasilitas saldo debet atau dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada lima bank.

Hakim menilai, meski Paul sebagai salah satu anggota Direksi BI tidak secara langsung ikut mengambil keputusan memberi fasilitas saldo debet, tetapi membiarkan keputusan tersebut dilaksanakan. Seandainya terdakwa tidak berwenang menghentikan kliring, terdakwa bisa menolak pemberian fasilitas saldo debet. Sebab keputusan direksi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan hakim, Dewan Gubernur BI mempunyai pendapat lain. Mereka beranggapan bahwa BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multidimensi tahun 1997.
Untuk menilai apakah yang diadili kebijakan BI (sebagaimana pendapat Dewan Gubernur BI di atas) ataukah justru tindakan hukum lain yang dilakukan oleh Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, maka harus dipahami dahulu pengertian kebijakan dan produk hukum yang diterbitkan.

Produk Hukum Kebijakan
Kebijakan BI merupakan hak prerogatif Dewan Gubernur dan Pejabat BI yang bersifat discretionary (kebebasan untuk mengambil keputusan) untuk menjalankan amanat UU dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya. Bentuk produk hukumnya berupa pengaturan (regelling) atau penetapan (beschikking).
Pengaturan (regelling) adalah kebijakan yang bersifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal artinya sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu. Produk hukumnya berupa peraturan perundang-undangan. Misalnya Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Penetapan (beschikking) adalah keputusan pejabat negara (Pejabat Tata Usaha Ne-gara –TUN) yang bersifat konkret, individual dan final sebagaimana dimaksud oleh UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya Surat Keputusan tentang pemberian izin atau pencabutan izin usaha suatu bank.

Baik regelling (pengaturan) maupun bechikking (penetapan) dapat dilakukan koreksi secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, BI dapat melakukan sendiri perubahan, pencabutan atau pembatalan atas penetapan atau keputusan yang telah dikeluarkannya atas inisiatif pejabat atau atasan yang telah menerbitkannya. Bukan karena perintah pengadilan.

Secara eksternal, koreksi atas regelling dapat dilakukan di luar BI selaku badan yang me-nerbitkan produk hukum, misalkan PBI. Pihak yang menolak regelling (pengaturan), dapat mengajukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan uji materiel apakah produk hukum tersebut (PBI) bertentangan dengan UU atau tidak, sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945. Putusan MA berupa memperkuat PBI yang telah diterbitkan atau membatalkan PBI tersebut. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum penjara pidana atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai MA tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya.

Beschikking yang termasuk kategori Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN) dapat dikoreksi oleh pihak yang merasa dirugikan BI dengan mengajukan gugatan TUN berdasar-kan UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan hakim TUN dapat berupa mengabulkan gugatan dan membatalkan beschikking yang telah diterbitkan dan/atau memerintahkan BI untuk menerbitkan beschikking yang baru atau menolak gugatan (beschik-king tetap berlaku).

Secara hukum Adminsitrasi Negara dan Tata Usaha Negara, produk hukum atas kebijakan (dalam bentuk regelling atau beschikking) dapat diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan bahwa terdapat kesalahan atas kebijakan, tidak membawa konsekuensi hukuman penjara pidana bagi pejabat yang menerbitkannya. Dengan catatan bahwa diterbitkannya produk hukum tersebut tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Sebab, tidak tertutup kemungkinan diterbitkannya penetapan atau pengaturan yang menjadi wewenangnya, pejabat negara (dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya) telah melakukan juga tindak pidana penyalahgunaan jabatan sebagaimana dimaksud pasal 1 huruf b UU No.3/1971 atau pasal 3 UU No.31/1999 (yang mencabut UUNo.3/1971) sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Mengadili Kebijakan?

Sebagaimana tersebut di atas, Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, divonis bersalah karena menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian BLBI. Hakim menganggap bahwa kebijakan masih dalam batas kewenangan Paul. Namun, telah terjadi tindak pidana dalam menerbitkan kebijakannya selaku Direksi BI, yakni menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud UU PTPK.

Pertimbangan hakim yang mempersoalkan keabsahan kebijakan Paul Soetopo (direksi BI) telah bertentangan dengan perundangan-undangan, bukan pokok pemeriksaan perkara. Tapi sebagai petunjuk/indikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sebab, jika pokok perkaranya mengadili kebijakan an sich, maka tentunya lebih tepat melalui mekanisme judicial review atau gugatan PTUN. Ini bukan kewenangan kejaksaan untuk menuntutnya. Judicial review atau PTUN juga bagi hakim yang memeriksa perkara tidak bisa aktif mengadili tanpa ada pihak yang mengajukan gugatan.

Suatu kebijakan yang (kemudian) divonis sebagai penyalahgunaan wewenang (sebelum ada putusan pengadilan) adalah tetap sah dan berlaku. Sebab, diterbitkan oleh pejabat berwenang, dalam batas dan wewenangnya. Namun karena dianggap menyalahgunakan wewenang berarti yang dipersoalkan unsur penyalahgunaannya, bukan memeriksa kewenangan pejabat yang bersangkutan sah atau tidak menerbitkan kebijakan atau keabsahan kebijakannya itu sendiri. Apakah terdapat penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau tidak sebagaimana diatur UUPTPK.

Untuk kasus Paul Soetopo, yang diadili bukan kebijakan produk hukumnya (penetapan pemberian BLBI kepada lima bank). Sebab mekanisme pengadilan atas keabsahan kebijakan adalah judicial review atau gugatan melalui PTUN, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Paul dkk diadili atas penyalahgunaan wewenang (bukan salah menggunakan wewenang) yang terkait dengan motif diterbitkannya kebijakan tersebut. Jika kebijakannya yang diadili, maka bukan berkaitan dengan pidana (korupsi), tapi dari penilaian bahwa apakah kebijakan tersebut pantas diterbitkan, bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak, dan termasuk dalam kompetensi judicial review atau gugatan melalui PTUN.

Lantas, bagaimana konsekuensi hukum keberlakuan kebijakan Paul Soetopo dkk yang diputus hakim telah menyalahgunakan wewenang, apakah masih berlaku? Menurut penulis, bisa masih berlaku, bisa tidak. Untuk kasus Paul Soetopo, jaksa penuntut sebelumnya telah menuntut (selain pidana penjara dan denda) kepada terdakwa untuk mengembalikan uang kerugian negara. Artinya, ketika hakim memutus terdakwa bersalah, maka unsur bahwa terdakwa telah menyalahgunakan wewenang sekaligus merugikan keuangan negara. Kedua unsur telah terpenuhi bukan salah satu.

Dengan demikian, semestinya ketika memvonis Paul bersalah telah menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara, dan bertentangan dengan peraturan perundangan, maka keputusan tentang pemberian BLBI oleh Paul dkk dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Konsekuensinya, penerima BLBI harus mengembalikan BLBI yang telah diberikan. Sebab, putusannya batal demi hukum. Apabila tidak demikian, maka sepertinya hakim tidak konsisten, di satu sisi menganggap merugikan keuangan negara, tapi di lain sisi, pihak yang menerimanya tidak diminta mengembalikan.

Berarti hakim telah membiarkan kerugian negara tetap berlangsung, padahal majelis telah memvonis terdakwa justru karena kesalahan tersebut yang menjadi pokok pemeriksaan. Bukan karena salah menggunakan wewenang, yakni dalam pemeriksaan gugatan TUN dari para penerima bank penerima BLBI tersebut yang menolak bank mereka menerima BLBI.


Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara