Selasa, Februari 09, 2010

Pengusaha Rotan Dapat Membatalkan Kebijakan Expor Bahan Mentah Rotan

Tulisan ini pernah dipublikasikan Export Import Indonesia pada 9 Januari 2010

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta

Peraturan Menteri Perdagangan No. 33/M-DAG/PER/7/2009 tanggal 28 Juli 2009 (”Permendag No.33/2009”) telah mengubah Permendag No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tanggal 30 Juni 2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan (”Permendag No.12/2005”). Sayangnya, kebijakan pemerintah hanya merevisi Volume Rotan Asalan dan Rotan Setengah Jadi Yang Dapat Diekspor. Padahal, pengusaha industri rotan mengharapkan agar ekspor bahan baku rotan dilarang sama sekali untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (”AMKRI”) memperkirakan bahwa jika ekspor rotan masih diperbolehkan, maka diperkirakan pada tahun 2011 industri rotan akan mati. Lantas, jika harapan AMKRI dan pelaku usaha lainnya yang menggunakan bahan baku rotan tidak terpenuhi harapannya atas revisi Permendag No.12/2005, langkah hukum apa yang musti dilakukan AMKRI dan/atau anggotanya?

Uji Materiil (Judicial Review)

Sejatinya, kekecewaan AMKRI atas kebijakan pemerintah yang hanya mengubah Permendag No.12/2005, dan bukan mencabut Permendag No.12/2005 beserta segala perubahannya, masih memiliki harapan melalui uji materiil (judicial review).

Pasal 24A Perubahan Ketiga UUD 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung (”MA”) untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (UU) terhadap UU.

Pasal 31 UU No.5/2004 yang mengubah UU No. 14/ 1985 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.3/2009 tentang MA menegaskan bahwa MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Selanjutnya, MA akan menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (Pasal 31 ayat 2 UUno.5/2004).

Berdasarkan Pasal 31A ayat (2) UU No.3/2009 (mengubah UU No.14/1985) diatur bahwa yang dapat melakukan permohonan Uji Materiil adalah (a) perorangan warga negara Indonesia, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang, atau (c) badan hukum publik atau badan hukum privat.

Aturan tersebut lebih luas dari pada yang diatur Pasal 1 angka 4 Peraturan Mahkamah Agung No.1 tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (”Perma No.1/2004”) yang mengatur bahwa Pemohon Keberatan dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat atau perorangan.

Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke MA untuk mendapatkan putusan (Pasal 1 angka 3 Perma No.1/2004). Permohonan Keberatan disebut juga dengan istilah judicial review.

Sebagai catatan, meskipun berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Perma No.1/2004 diatur bahwa Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, MA telah menerima permohonan Uji Materiil (judicial review) yang diajukan lebih dari 180 hari sebagaimana dalam Putusan MA Nomor: 41 P/HUM/2006 tanggal 21 November 2006. Dalam pertimbangan putusan tersebut, majelis hakim mempertimbangkan 5 hal.

Pertama, ditinjau dari perbandingan hukum yang berlaku di berbagai negara, baik dalam sitem hukum Eropa Kontinental, maupun sistem hukum Anglo Saxon tidak dikenal adanya pembatasan waktu secara ekplisit dalam suatu peraturan untuk mengajukan Hak Uji Materiil (Judicial Review) terhadap peraturan yang berlaku secara umum.

Kedua, ditinjau dari segi analogi dengan praktek dan prosedur yang berlaku di Mahkamah Konstitusi Indonesia, juga tidak tidak diterpkan adanya pembatasan waktu untuk mohon judicial review terhadap produk UU maupun obyek yang dimohonkan judicial review, sehingga dalam kenyataan ada putusannya tentang pembatalan ataupun pernyataan tidak sah terhadap beberapa ketentuan UU yang daya berlakunya sebetulnya sejak beberapa tahun lalu.

Ketiga, ditinjau dari filosofis perlindungan hukum, maka adanya suatu pembatasan terhadap hak seseorang untuk menggugat dengan diberikannya batasan tenggang waktu pengajuan gugatan, pada hakekatnya merupakan bentuk pengurangan atau tindakan membatasi Hak Asasi Manusia (“HAM”) dalam melaksanakan haknya untuk mengajukan gugatan, dan apabila memang hal demikian dipandang perlu untuk diadakan, maka batasan itu harus;ah dituangkan dalam bentuk UU atau Hukum Acara, dan bukannya dalam suatu bentuk produk hukum yang lebih rendah daripada UU, termasuk juga tidak dalam suatu Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).

Keempat, ditinjau dari hukum positif yang berlaku, yaitu dengan menelusuri sumber hukum tentang diakuinya lembaga judicial review yang diberikan yurisdiksinya pada badan peradilan, yaitu Pasal 11 ayat (2) UU No.4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (yang meneruskan ketentuan yang sama UU sebelumnya), dan juga dalam Pasal 31 dan 31A UUNo.5/2004 tentang Perubahan atas UU No.UU No.14/2005 tentang Mahkamah Agung, ternyata memang tidak dicantumkan secara eksplisit adanya pembatasan tanggang waktu untuk mengajukan permohonan keberatan.

Kelima, adanya pembatasan tenggang waktu dapat dikhawatirkan akan timbulnya peraturan-peraturan yang pada hakikatnya bertentangan dengan ketertiban umum (publiek orde), tetapi ternyata tidak dapat diuji menurut hukum hanya karena sudah lewat waktu secara formal.

Dasar dan Alasan Uji Materiil

Anggota AMKRI dapat mengajukan Permohonan Keberatan atas berlakunya (1) Permendag No.12/2005 sebagaimana diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan Permendag No.33/2009 dan/atau (2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 558/Mpp/Kep/1 2/1998 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan PerMendag No. 07/M-DAG/PER/4/2005 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor yang mengklasifikasikan Barang dalam (1) Barang Yang Diatur Ekspornya, (2) Barang Yang Diawasi Ekspornya, (3) Barang Yang Dilarang Ekspornya, dan (4) Barang Yang Bebas Ekspornya.

Barang Yang Diatur Ekspornya adalah barang yang ekspornya hanya dapat dilakukan oleh Eksportir Terdaftar. Barang Yang Diawasi Ekspornya adalah barang yang ekspornya hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (sekarang Menteri Perdagangan –Pen) atau Pejabat yang ditunjuk. Barang Yang Dilarang Ekspornya adalah barang yang tidak boleh diekspor. Barang yang Bebas Ekspornya adalah barang yang tidak termasuk pengertian Barang yang Diatur Ekspornya, Barang yang Diawasi Ekspornya, dan Barang yang Dilarang Ekspornya.

Substansi penting atas Permohonan Keberatan terhadap Permendag No.12/2005 yang diubah terakhir dengan Permendag No.33/2009 adalah menunjukkan bahwa Permendag tersebut dianggap telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dari Permendag adalah Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan/atau UU.

Salah satu dasar yang bisa dijadikan Permohonan Keberatan adalah Pasal 3 UU No.5/1984 tentang Perindutsrian (“UU No.5/1984”) yang mengatur bahwa pembangunan industri bertujuan untuk (diantaranya) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumber daya alam, dan/atau hasil budidaya serta dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

Setidaknya, ada dua alternatif alasan pembatalan peraturan ekspor rotan tersebut. Pertama, keberatan terkait dengan jumlah volume bahan baku yang boleh diekspor sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran Permendag No.33/2009. Artinya, pengusaha rotan tidak keberatan terhadap kebijakan diklasifikasikannya rotan dalam kelompok Barang Yang Diatur Ekspornya, tapi karena jumlah volume yang terlalu banyak dibolehkan diekspor sehingga produsen meubel rotan nasional mengalami kelangkaan. Karenanya, Permendag No.33/2009 dianggap bertentangan dengan UU No.5/1984.

Kedua, keberatan terkait dengan klasifikasi rotan dalam Barang Yang Diatur Ekspornya, dan menganggap lebih tepat dalam kategori Barang Yang Dilarang Ekspornya. Sebab, sumber pelanggaran atas UU No.5/1984 adalah karena diijinkannya ekspor rotan mentah (Rotan Asalan dan Rotan Setengah Jadi), dan hanya dalam bentuk meubel atau kerajinan lainnya yang boleh diekspor. Dengan demikian, yang direview untuk dibatalkan adalah Kep Menperin No. 558/Mpp/Kep/12/1998 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PerMendag No. 07/M-DAG/PER/4/2005 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor. Sebab, Indonesia sebesar 85% (delapan puluh lima persen) pasokan bahan baku rotan dunia. Penguasaan bahan baku ini, tentu akan menghidupkan industri meubel dan kerajinan rotan.

Berdasarkan data yang diperoleh AMKRI, setelah diterbitkannya Permendag No.12/2005, bahan baku industri rotan mengalami kelangkaan. Akibatnya, di Cirebon saja, selaku salah satu sentra industri rotan, per Oktober 2008 dari 426 perusahaan rotan sebanyak 144 perusahaan yang sudah tutup, 127 perusahaan hanya mampu mengekspor 1 kontainer kerajinan rotan/bulan, 113 perusahaan hanya mampu mengekspor hingga 8 kontainer per bulan, 20 perusahaan hanya bisa menyediakan 8 (delapan) sampai dengan 15 (lima belas) kontainer per bulan, dan 11 perusahaan hanya mengekspor 15 (lima belas) sampai dengan 25 (dua puluh lima) kontainer per bulan (Majalah Rotan Icon edisi Oktober 2008).

Padahal, sebelum berlakunya Permendag No.12/2005, perusahaan mebel dan kerajinan rotan di Cirebon rata-rata mampu mengekspor sedikitnya 75(tujuh puluh lima) sampai dengan 150 (seratus lima puluh) kontainer per bulan. Dengan jumlah 426 (empat ratus dua puluh enam) perusahan di Cirebon, maka dari industri rotan di Cirebon saja diekspor 31.950 (tiga puluh satu ribu sembilan ratus lima puluh) sampai dengan 63.900 (enam puluh tiga ribu sembilan ratus) kontainer per bulan.

Jika kebijakan pemerintah justru mengakibatkan ditutupnya banyak perusahaan yang pada gilirannya menciptakan pengangguran, tentu kebijakan tersebut bertentangan pembangunan industri yang bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU No.5/1984. Saatnya pengusaha rotan melakukan judicial review untuk mengoreksi kebijakan pemerintah. Selamat mencoba!!!

Tidak ada komentar: