Jumat, November 21, 2008

Transformasi Pertamina, Menuju Kelas Dunia

Tulisan ini dipublikasikan Majalah Warta Pertamina Edisi No.10/THN XLIII/November/2008.

Oleh: Sulistiono Kertawacana

Pertamina sudah mencanangkan Transformasi sejak 2 tahun lalu. Meskipun dukungan aktif karyawan terus meningkat, tapi masih belum ideal. Berdasarkan hasil Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan mencapai 28% (melonjak 200% dibandingkan hasil Theme-o-Meter pertama). Peningkatan yang signifikan, meskipun belum mencapai angka ideal minimum 30% (Media Pertamina No.32, Tahun XLIV, 11 Agustus 2008).
Apakah sulitnya mencapai angka ideal mencerminkan masyarakat Indonesia pada umumnya yang sulit bertransformasi menuju kemajuan? Bisakah orang Indonesia -yang menurut Mochtar Lubis (1977) bersifat munafik/hipokrit, yang diantaranya menyuburkan sikap Asal Bapak Senang, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, feodal, percaya tahkyul. dan lemah watak/karakternya – mampu membentuk korporasi yang berkelas dunia?
Benarkah bendapat ekonom dan sosiolog Jerman abad ke-19 Max Weber dalam The Protestant Work Ethic and Spirit of Capitalism bahwa ada beberapa kultur seperti protestanisme yang lebih cocok dengan pembangunan ekonomi.

Jerman dan Jepang Bisa Berubah


Bangsa Jerman dan Jepang yang kini terkenal memiliki otak cerdas, budaya kerja super disiplin, dan berwawasan luas, pada awalnya merupakan bangsa yang dipandang tidak memiliki etos kerja yang positif dalam amatan para ilmuwan.
Sebelum Jerman meningkatkan ekonominya pada pertengahan abad ke-19, orang Inggris menganggap orang Jerman merupakan orang yang bodoh; jahat, dan lamban (T. Hodsgskin:1820). Mary Shelley, pengarang Frankenstein, dalam bukunya Rambles in Germany and Italy (1843) menilai orang Jerman tidak pernah bergegas.
Rupanya tak berbeda dengan orang Inggris, orang Perancis yang berbatasan langsung dengan Jerman pun menilai negatif terhadap bangsa Jerman saat itu. Seorang pabrikan Perancis yang menampung pekerja-pekerja Jerman mengeluh bahwa orangJerman bekerja seenak hatinya sendiri (D. Landes:1998)
Yang lebih mengagetkan lagi, orang Inggris juga mengangap orang Jerman berotak tumpul. John Russel, seorang berkebangsaan Inggris yang suka menulis perjalanannya (1828) menilai orang Jerman lamban, mudah puas, tidak memiliki ketajaman persepsi maupun kehalusan perasaan. Mereka tidak terbuka terhadap ide baru, butuh waktu lama sebelum bisa diajak memahami hal baru, dan sulit memotivasinya semangatnya.
Orang Inggris juga menganggap orang Jerman ketika itu sebagai orang yang individualis dan tak mampu bekerja sama, dan terlalu emosional (S. Whitman; 1898 dan Arthur Brooke Faulkner:1833).
Tak berbeda dengan bangsa Jerman, meski dalam amatan kurun waktu yang berbeda, orang Jepang pun sempat menyandang predikat kurang baik kultur kerjanya di mata bangsa lain. Misionaris Amerika Sidney Gulick, yang lama menetap di Jepang (1888-1913), dalam bukunya Evolution of Japanese (1903) menilai orang Jepang berkesan … santai, pemalas, sama sekali tak peduli dengan berlalunya waktu, dan emosional yang memiliki ciri-ciri periang, bebas, dari segala kepedulian akan masa depan, hidup semata-mata untuk hari ini.
Tak berbeda jauh dengan Sidney Gulic, pemimpin sosialisme Fabian Inggris, Beatrice Webb melukiskan orang Jepang sebagai orang yang memiliki anggapan tentang waktu luang dan independensi personal yang tak bisa ditoleransi dan tak ada kemauan untuk mengajar orang untuk berfikir (N.MacKenzie dan J. MacKenzie:1984).
Secara lebih halus, seorang konsultan Australia (1915) mengatakan pada pejabat pemerintah Jepang yang mengundangnya berkata “rasa terkesan saya mengenai tenaga yang murah segera rusak ketika saya melihat rakyat anda dalam bekerja. Pantaslah mereka di bayar rendah karena hasil kerjanya yang demikian. Melihat mereka bekerja membuat saya merasa bahwa bangsa anda merupakan bangsa yang puas dan santai, menganggap waktu tidak penting. Tidak mungkin mengubah kebiasaan yang merupakan warisan nasional” (Japan Times 18 Agustus 1915).
Kini, semua penilaian tersebut hanya tertulis dalam buku-buku sejarah dan museum kuno. Kita mungkin tercengang, Jerman (awal abad 19) dan Jepang (awal abad 20) yang dianggap miring oleh bangsa lainnya, kini bisa menjadi bangsa yang sangat maju science dan teknologinnya. Kedua Negara itu kini menjadi kelompok eksportir terbesar di dunia.

Transformasi Wajib Hukumnya

Transformasi sebagai suatu perubahan radikal yang terus menerus merupakan tuntutan dunia usaha yang menjadi ‘takdir’ perusahaan multinasional. Namun, benar kata Leo Tolstoy, novelis dan filsuf Rusia; semua orang ingin mengubah dunia, tapi tak ada satupun yang ingin mengubah dirinya sendiri. Sindiran bijak ini hendaknya disadari oleh karyawan dan petinggi Pertamina.
Transformasi seyogyanya tak melekat pada visi perorangan petinggi Pertamina. Tapi kebutuhan korporasi dan disadari oleh segenap karyawan dan pemerintah selaku regulator dan pemegang saham. Tujuannya agar etos dan spirit transformasi tetap terawat keberlanjutannya.
Hasil transformasi harus didesign untuk tujuan jangka panjang. Mitsuo Kinoshita, Executive Vice President Toyota sudah mewanti-wanti bahwa kalau kita hanya berusaha mengejar hasil dan target, hasil dan target yang dicapai itu tidak akan berkesinambungan..
Sangatlah penting dukungan karyawan Pertamina untuk berpartisipasi menemukan kelemahan dan kesalahan yang pernah dan masih terjadi untuk dievaluasi dan ditemukan jalan keluarnya. Pertamina bisa mencontoh Toyota, yang dapat menyalip General Motor menjadi perusahaan otomotif terbesar di dunia saat ini, dalam menerapkan “sistem saran” bagi karyawannya. Sistem ini berpremis bahwa atasan tidak selalu melihat dan tahu segala sesuatu yang dilakukan pekerja setiap hari.
Taiichi Ohno, mantan executive vice president Toyota berujar: ada yang salah kalau karyawan tak memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya, menemukan hal-hal yang monoton/ membosankan, kemudian menulis ulanng prosedur yang ada. Manual bulan lalu pun mestinya sudah usang.
Hasilnya, di Jepang saja, lebih dari 600.000 saran perbaikan oleh karyawan Toyota diajukan selama tahun 2005 (rata-rata 11 saran perbaikan/karyawan) dan lebih dari 99% saran perbaikan diterima. Untuk setiap perbaikan yang dilakukan, karyawan menerima bonus mulai dari 500 Yen sampai dengan 200.000 Yen (David Magee:2007).
Akio Morita, pendiri Sony, menciptakan system kerja karyawannya untuk bertindak layaknya anggota keluarga yang selalu siap melakukan gagasan yang dibutuhkan. Sony tertantang untuk memunculkan ide-ide meskipun kadang bertentangan satu ide dengan ide lainnya. Tapi ia menilainya bukan sebagai suatu perpecahan. Sebab, menurutnya benturan ide itu merupakan sesuatu yang bagus untuk level yang lebih tinggi.
Salah satu hambatan untuk tercapainya transformasi Pertamina adalah jika terjadi kesenjangan pendapatan yang terlalu jauh antara karyawan dan petinggi Pertamina. Sebab, ini akan mencederai rasa keadilan dan merusak solidaritas semangat transfomasi.. Di Jepang telah menjadi tradisi bahwa gaji CEO tidak lebih dari 17 kali gaji karyawan yang dibayar per jam.
Jika Jepang sebagai sesama bangsa Asia yang pernah dianggap “saudara tua” Indonesia- bisa mengubah dirinya dengan berbagai inovasi. Tentu tidak beralasan jika Pertamina tak bisa bertransformasi. Apalagi, Indonesia dalam sejarah konsep Production Sharing yang banyak berlaku di sektor Minyak dan Gas, merupakan pelopor konsep tersebut sejak 1960-an. Untuk sektor minyak dan gas, Pertamina butuh belajar proses transfer technology dari Norwegia. Mereka sanggup mengambil alih technology dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Setelah itu, tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia. Tuhan tidak akan merubah nasib, jika tidak merubahnya sendiri.

Tidak ada komentar: