Sinar Harapan January 07, 2005
Bahasa Version
Sulistiono Kertawacana
Legal Practitioner in Jakarta
National Bank Restructuring Agency (IBRA) has extended his tenure. These expressions may be provocative. In fact, thus is standing the law. This was contrary to the public impression that spread in the media at the end of February and then a busy discussing the "dissolution" of IBRA.
Public affirmation of many fooled by paragraph 1 of Article 1 of Presidential Decree No.15/2004 regarding Task Termination and Liquidation stating that IBRA declared dissolved as of February 27, 2004. In fact, if we listen to the affirmation of Article 1 paragraph 3 and 4 juncto Article 2 of Presidential Decree No. 15/2004, essentially he extended his duty to 30 April 2004. The task was particularly associated with the completion of four things namely liquidate Frozen-Bank Operations / Business Activities of Frozen-Bank, obligations of shareholders, audit and transactions that have occurred prior to February 27, 2004. That is, the institutional IBRA has not disbanded, but only reduce and eliminate other tasks besides four IBRA it.
Previously, the agency was responsible to do the administration of government guarantees provided to commercial banks as mentioned in the Presidential Decree No26/1998 and control, coach and effort to restructure, including restructuring of banks by Bank Indonesia (BI) declared healthy and necessary legal action in order to restructure bank (Article 2 of Presidential Decree. 27/1998 on Establishment of IBRA).
In connection with banking restructuring program, (formerly) IBRA has duties to recover banks stated and delivered by BI, settle the bank's assets, both physical assets and obligations of the debtor through the Asset Management Unit (Asset Management Unit), and seek a refund of state has been distributed to the bank - bank through the settlement assets in a restructuring (Article 3 paragraph 1 of Government Regulation (PP) No. 17/1998 on IBRA, as amended by Regulation No. 47/2001-PP IBRA).
Clearance Tim
Article 6 of paragraph 1 of Presidential Decree. 15/2004 confirmed with IBRA for the task and / or dissolution of IBRA, all his wealth into state property managed by the Ministry of Finance (Finance). Clearly, this is confuse construction. Because there are doubts about the exact time when IBRA no longer wealth. Apparently, the president does not understand this.
Because, there are 63-days period, or approximately two months between the end of IBRA's task in certain areas as referred to Decree 15/2004 (February 27, 2004) with the agency's time frame stated dispersed (April 30, 2004). This is not the time for a moment that many faced IBRA conundrum. In the end, this will cause a serious legal problem.
Task renewal of IBRA has legal consequences for the validity of legal acts which Clearance Team has been formed by presidential decree No.16/2004 on the establishment of IBRA clearance team led by the Ministry of Finance, especially, related to the authority to represent completion of IBRA in business assets (wealth IBRA). Clearance Team has duties in charge of handling the problem filing, the state property-related cases in the judiciary, legal issues, financial administration, and assistance in the framework of implementation of audit IBRA clearance.
To carry out its duties, Clearance Teams should be assisted by the Working Group (KK), which was formed as the head of Team Finance settlement. One of the tasks of these families are handling the Working Group on Legal Issues (KKPMH) which acts as the power minister (as head of Team clearance) for the proceedings in the courts.
More Precisely Regulated by PP (Government Regulation)
Yet, should the existence of IBRA is extended to 30 April 2004 (by narrowing its function), with consequences for the local authorities for legal action for and in behalf of IBRA associated with wealth of IBRA that is an organ regulated by PP IBRA. This is where the importance of assertiveness of Presidential Decree No.15/2004 to decide when property assets under IBRA be managed by the Ministry of Finance.
Because, as long as the agency still standing, in principle the authority to represent good IBRA outside the court and in the courts (including the dispute in court relating to the wealth IBRA) is an organ regulated in the PP IBRA namely IBRA chairman (Article 5, paragraph 4 PP IBRA) .
Therefore, the validity of KKPMH acting as proxy of the Minister of Finance for the proceedings in the courts in the context of settlement for the benefit of potential wealth of IBRA has no strong basis for the authorities in court. Consequently, his opponent will easily win the legal dispute in court.
Therefore, the legal basis through Clearance Team to act KKPMH deal IBRA property disputes is weak. In fact, position, duties, and authority in the Ministry of Finance as stipulated PP IBRA was transferred to the Minister of State Owned Enterprises (PP No. 63/2001).
If the government authorities intend to cut existing organs of IBRA (in certain cases) because of perceived IBRA's task has been reduced, it is more appropriate if it should be arranged in PP IBRA (not by decree of a lower level than the PP in the hierarchy of legislation).
Clearly, the principle of legal construction of the extension of duty with camouflage IBRA "Liquidation" is better to have a political purpose with a weak legal footing. Prepare to reap KKPMH defeat in court as has been experienced during this IBRA. Good government is willing to learn from previous experiences. Construction law will affect litigations victory.
Tampilkan postingan dengan label Banking. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Banking. Tampilkan semua postingan
Sabtu, Januari 16, 2010
Selasa, Desember 22, 2009
Dapatkah Kebijakan Dipidana?
Sinar Harapan Edisi Jum'at, 25 Juli 2003.
Oleh Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta
Bank Indonesia (BI), selaku Bank Sentral yang dari dulu sampai kini masih mengemban tugas pengawasan bank komersial, telah mengalami pasang surut dan sejarah, baik yang muram maupun yang gemilang. Beberapa mantan Direksi BI telah divonis bersalah. Sebut saja Paul Soetopo Tjokronegoro, telah divonis hukuman penjara 2,5 tahun dan denda Rp20 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (4/4). Ia dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian fasilitas saldo debet atau dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada lima bank.
Hakim menilai, meski Paul sebagai salah satu anggota Direksi BI tidak secara langsung ikut mengambil keputusan memberi fasilitas saldo debet, tetapi membiarkan keputusan tersebut dilaksanakan. Seandainya terdakwa tidak berwenang menghentikan kliring, terdakwa bisa menolak pemberian fasilitas saldo debet. Sebab keputusan direksi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan hakim, Dewan Gubernur BI mempunyai pendapat lain. Mereka beranggapan bahwa BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multidimensi tahun 1997.
Untuk menilai apakah yang diadili kebijakan BI (sebagaimana pendapat Dewan Gubernur BI di atas) ataukah justru tindakan hukum lain yang dilakukan oleh Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, maka harus dipahami dahulu pengertian kebijakan dan produk hukum yang diterbitkan.
Produk Hukum Kebijakan
Kebijakan BI merupakan hak prerogatif Dewan Gubernur dan Pejabat BI yang bersifat discretionary (kebebasan untuk mengambil keputusan) untuk menjalankan amanat UU dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya. Bentuk produk hukumnya berupa pengaturan (regelling) atau penetapan (beschikking).
Pengaturan (regelling) adalah kebijakan yang bersifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal artinya sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu. Produk hukumnya berupa peraturan perundang-undangan. Misalnya Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Penetapan (beschikking) adalah keputusan pejabat negara (Pejabat Tata Usaha Ne-gara –TUN) yang bersifat konkret, individual dan final sebagaimana dimaksud oleh UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya Surat Keputusan tentang pemberian izin atau pencabutan izin usaha suatu bank.
Baik regelling (pengaturan) maupun bechikking (penetapan) dapat dilakukan koreksi secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, BI dapat melakukan sendiri perubahan, pencabutan atau pembatalan atas penetapan atau keputusan yang telah dikeluarkannya atas inisiatif pejabat atau atasan yang telah menerbitkannya. Bukan karena perintah pengadilan.
Secara eksternal, koreksi atas regelling dapat dilakukan di luar BI selaku badan yang me-nerbitkan produk hukum, misalkan PBI. Pihak yang menolak regelling (pengaturan), dapat mengajukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan uji materiel apakah produk hukum tersebut (PBI) bertentangan dengan UU atau tidak, sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945. Putusan MA berupa memperkuat PBI yang telah diterbitkan atau membatalkan PBI tersebut. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum penjara pidana atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai MA tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya.
Beschikking yang termasuk kategori Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN) dapat dikoreksi oleh pihak yang merasa dirugikan BI dengan mengajukan gugatan TUN berdasar-kan UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan hakim TUN dapat berupa mengabulkan gugatan dan membatalkan beschikking yang telah diterbitkan dan/atau memerintahkan BI untuk menerbitkan beschikking yang baru atau menolak gugatan (beschik-king tetap berlaku).
Secara hukum Adminsitrasi Negara dan Tata Usaha Negara, produk hukum atas kebijakan (dalam bentuk regelling atau beschikking) dapat diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan bahwa terdapat kesalahan atas kebijakan, tidak membawa konsekuensi hukuman penjara pidana bagi pejabat yang menerbitkannya. Dengan catatan bahwa diterbitkannya produk hukum tersebut tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Sebab, tidak tertutup kemungkinan diterbitkannya penetapan atau pengaturan yang menjadi wewenangnya, pejabat negara (dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya) telah melakukan juga tindak pidana penyalahgunaan jabatan sebagaimana dimaksud pasal 1 huruf b UU No.3/1971 atau pasal 3 UU No.31/1999 (yang mencabut UUNo.3/1971) sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengadili Kebijakan?
Sebagaimana tersebut di atas, Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, divonis bersalah karena menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian BLBI. Hakim menganggap bahwa kebijakan masih dalam batas kewenangan Paul. Namun, telah terjadi tindak pidana dalam menerbitkan kebijakannya selaku Direksi BI, yakni menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud UU PTPK.
Pertimbangan hakim yang mempersoalkan keabsahan kebijakan Paul Soetopo (direksi BI) telah bertentangan dengan perundangan-undangan, bukan pokok pemeriksaan perkara. Tapi sebagai petunjuk/indikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sebab, jika pokok perkaranya mengadili kebijakan an sich, maka tentunya lebih tepat melalui mekanisme judicial review atau gugatan PTUN. Ini bukan kewenangan kejaksaan untuk menuntutnya. Judicial review atau PTUN juga bagi hakim yang memeriksa perkara tidak bisa aktif mengadili tanpa ada pihak yang mengajukan gugatan.
Suatu kebijakan yang (kemudian) divonis sebagai penyalahgunaan wewenang (sebelum ada putusan pengadilan) adalah tetap sah dan berlaku. Sebab, diterbitkan oleh pejabat berwenang, dalam batas dan wewenangnya. Namun karena dianggap menyalahgunakan wewenang berarti yang dipersoalkan unsur penyalahgunaannya, bukan memeriksa kewenangan pejabat yang bersangkutan sah atau tidak menerbitkan kebijakan atau keabsahan kebijakannya itu sendiri. Apakah terdapat penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau tidak sebagaimana diatur UUPTPK.
Untuk kasus Paul Soetopo, yang diadili bukan kebijakan produk hukumnya (penetapan pemberian BLBI kepada lima bank). Sebab mekanisme pengadilan atas keabsahan kebijakan adalah judicial review atau gugatan melalui PTUN, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Paul dkk diadili atas penyalahgunaan wewenang (bukan salah menggunakan wewenang) yang terkait dengan motif diterbitkannya kebijakan tersebut. Jika kebijakannya yang diadili, maka bukan berkaitan dengan pidana (korupsi), tapi dari penilaian bahwa apakah kebijakan tersebut pantas diterbitkan, bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak, dan termasuk dalam kompetensi judicial review atau gugatan melalui PTUN.
Lantas, bagaimana konsekuensi hukum keberlakuan kebijakan Paul Soetopo dkk yang diputus hakim telah menyalahgunakan wewenang, apakah masih berlaku? Menurut penulis, bisa masih berlaku, bisa tidak. Untuk kasus Paul Soetopo, jaksa penuntut sebelumnya telah menuntut (selain pidana penjara dan denda) kepada terdakwa untuk mengembalikan uang kerugian negara. Artinya, ketika hakim memutus terdakwa bersalah, maka unsur bahwa terdakwa telah menyalahgunakan wewenang sekaligus merugikan keuangan negara. Kedua unsur telah terpenuhi bukan salah satu.
Dengan demikian, semestinya ketika memvonis Paul bersalah telah menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara, dan bertentangan dengan peraturan perundangan, maka keputusan tentang pemberian BLBI oleh Paul dkk dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Konsekuensinya, penerima BLBI harus mengembalikan BLBI yang telah diberikan. Sebab, putusannya batal demi hukum. Apabila tidak demikian, maka sepertinya hakim tidak konsisten, di satu sisi menganggap merugikan keuangan negara, tapi di lain sisi, pihak yang menerimanya tidak diminta mengembalikan.
Berarti hakim telah membiarkan kerugian negara tetap berlangsung, padahal majelis telah memvonis terdakwa justru karena kesalahan tersebut yang menjadi pokok pemeriksaan. Bukan karena salah menggunakan wewenang, yakni dalam pemeriksaan gugatan TUN dari para penerima bank penerima BLBI tersebut yang menolak bank mereka menerima BLBI.
Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Oleh Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta
Bank Indonesia (BI), selaku Bank Sentral yang dari dulu sampai kini masih mengemban tugas pengawasan bank komersial, telah mengalami pasang surut dan sejarah, baik yang muram maupun yang gemilang. Beberapa mantan Direksi BI telah divonis bersalah. Sebut saja Paul Soetopo Tjokronegoro, telah divonis hukuman penjara 2,5 tahun dan denda Rp20 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (4/4). Ia dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian fasilitas saldo debet atau dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada lima bank.
Hakim menilai, meski Paul sebagai salah satu anggota Direksi BI tidak secara langsung ikut mengambil keputusan memberi fasilitas saldo debet, tetapi membiarkan keputusan tersebut dilaksanakan. Seandainya terdakwa tidak berwenang menghentikan kliring, terdakwa bisa menolak pemberian fasilitas saldo debet. Sebab keputusan direksi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan hakim, Dewan Gubernur BI mempunyai pendapat lain. Mereka beranggapan bahwa BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multidimensi tahun 1997.
Untuk menilai apakah yang diadili kebijakan BI (sebagaimana pendapat Dewan Gubernur BI di atas) ataukah justru tindakan hukum lain yang dilakukan oleh Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, maka harus dipahami dahulu pengertian kebijakan dan produk hukum yang diterbitkan.
Produk Hukum Kebijakan
Kebijakan BI merupakan hak prerogatif Dewan Gubernur dan Pejabat BI yang bersifat discretionary (kebebasan untuk mengambil keputusan) untuk menjalankan amanat UU dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya. Bentuk produk hukumnya berupa pengaturan (regelling) atau penetapan (beschikking).
Pengaturan (regelling) adalah kebijakan yang bersifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal artinya sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu. Produk hukumnya berupa peraturan perundang-undangan. Misalnya Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Penetapan (beschikking) adalah keputusan pejabat negara (Pejabat Tata Usaha Ne-gara –TUN) yang bersifat konkret, individual dan final sebagaimana dimaksud oleh UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya Surat Keputusan tentang pemberian izin atau pencabutan izin usaha suatu bank.
Baik regelling (pengaturan) maupun bechikking (penetapan) dapat dilakukan koreksi secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, BI dapat melakukan sendiri perubahan, pencabutan atau pembatalan atas penetapan atau keputusan yang telah dikeluarkannya atas inisiatif pejabat atau atasan yang telah menerbitkannya. Bukan karena perintah pengadilan.
Secara eksternal, koreksi atas regelling dapat dilakukan di luar BI selaku badan yang me-nerbitkan produk hukum, misalkan PBI. Pihak yang menolak regelling (pengaturan), dapat mengajukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan uji materiel apakah produk hukum tersebut (PBI) bertentangan dengan UU atau tidak, sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945. Putusan MA berupa memperkuat PBI yang telah diterbitkan atau membatalkan PBI tersebut. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum penjara pidana atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai MA tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya.
Beschikking yang termasuk kategori Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN) dapat dikoreksi oleh pihak yang merasa dirugikan BI dengan mengajukan gugatan TUN berdasar-kan UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan hakim TUN dapat berupa mengabulkan gugatan dan membatalkan beschikking yang telah diterbitkan dan/atau memerintahkan BI untuk menerbitkan beschikking yang baru atau menolak gugatan (beschik-king tetap berlaku).
Secara hukum Adminsitrasi Negara dan Tata Usaha Negara, produk hukum atas kebijakan (dalam bentuk regelling atau beschikking) dapat diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan bahwa terdapat kesalahan atas kebijakan, tidak membawa konsekuensi hukuman penjara pidana bagi pejabat yang menerbitkannya. Dengan catatan bahwa diterbitkannya produk hukum tersebut tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Sebab, tidak tertutup kemungkinan diterbitkannya penetapan atau pengaturan yang menjadi wewenangnya, pejabat negara (dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya) telah melakukan juga tindak pidana penyalahgunaan jabatan sebagaimana dimaksud pasal 1 huruf b UU No.3/1971 atau pasal 3 UU No.31/1999 (yang mencabut UUNo.3/1971) sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengadili Kebijakan?
Sebagaimana tersebut di atas, Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, divonis bersalah karena menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian BLBI. Hakim menganggap bahwa kebijakan masih dalam batas kewenangan Paul. Namun, telah terjadi tindak pidana dalam menerbitkan kebijakannya selaku Direksi BI, yakni menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud UU PTPK.
Pertimbangan hakim yang mempersoalkan keabsahan kebijakan Paul Soetopo (direksi BI) telah bertentangan dengan perundangan-undangan, bukan pokok pemeriksaan perkara. Tapi sebagai petunjuk/indikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sebab, jika pokok perkaranya mengadili kebijakan an sich, maka tentunya lebih tepat melalui mekanisme judicial review atau gugatan PTUN. Ini bukan kewenangan kejaksaan untuk menuntutnya. Judicial review atau PTUN juga bagi hakim yang memeriksa perkara tidak bisa aktif mengadili tanpa ada pihak yang mengajukan gugatan.
Suatu kebijakan yang (kemudian) divonis sebagai penyalahgunaan wewenang (sebelum ada putusan pengadilan) adalah tetap sah dan berlaku. Sebab, diterbitkan oleh pejabat berwenang, dalam batas dan wewenangnya. Namun karena dianggap menyalahgunakan wewenang berarti yang dipersoalkan unsur penyalahgunaannya, bukan memeriksa kewenangan pejabat yang bersangkutan sah atau tidak menerbitkan kebijakan atau keabsahan kebijakannya itu sendiri. Apakah terdapat penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau tidak sebagaimana diatur UUPTPK.
Untuk kasus Paul Soetopo, yang diadili bukan kebijakan produk hukumnya (penetapan pemberian BLBI kepada lima bank). Sebab mekanisme pengadilan atas keabsahan kebijakan adalah judicial review atau gugatan melalui PTUN, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Paul dkk diadili atas penyalahgunaan wewenang (bukan salah menggunakan wewenang) yang terkait dengan motif diterbitkannya kebijakan tersebut. Jika kebijakannya yang diadili, maka bukan berkaitan dengan pidana (korupsi), tapi dari penilaian bahwa apakah kebijakan tersebut pantas diterbitkan, bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak, dan termasuk dalam kompetensi judicial review atau gugatan melalui PTUN.
Lantas, bagaimana konsekuensi hukum keberlakuan kebijakan Paul Soetopo dkk yang diputus hakim telah menyalahgunakan wewenang, apakah masih berlaku? Menurut penulis, bisa masih berlaku, bisa tidak. Untuk kasus Paul Soetopo, jaksa penuntut sebelumnya telah menuntut (selain pidana penjara dan denda) kepada terdakwa untuk mengembalikan uang kerugian negara. Artinya, ketika hakim memutus terdakwa bersalah, maka unsur bahwa terdakwa telah menyalahgunakan wewenang sekaligus merugikan keuangan negara. Kedua unsur telah terpenuhi bukan salah satu.
Dengan demikian, semestinya ketika memvonis Paul bersalah telah menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara, dan bertentangan dengan peraturan perundangan, maka keputusan tentang pemberian BLBI oleh Paul dkk dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Konsekuensinya, penerima BLBI harus mengembalikan BLBI yang telah diberikan. Sebab, putusannya batal demi hukum. Apabila tidak demikian, maka sepertinya hakim tidak konsisten, di satu sisi menganggap merugikan keuangan negara, tapi di lain sisi, pihak yang menerimanya tidak diminta mengembalikan.
Berarti hakim telah membiarkan kerugian negara tetap berlangsung, padahal majelis telah memvonis terdakwa justru karena kesalahan tersebut yang menjadi pokok pemeriksaan. Bukan karena salah menggunakan wewenang, yakni dalam pemeriksaan gugatan TUN dari para penerima bank penerima BLBI tersebut yang menolak bank mereka menerima BLBI.
Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Sabtu, Oktober 03, 2009
Administrasi Korupsi BLBI
Majalah InfoBank edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI.
Oleh; Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta
Pangadilan Tinggi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dalam persidangan yang terpisah pada tanggal 29 Desember 2003 telah melepaskan ketiga mantan Direktur Bank Indonesia (BI), yakni Hendrobudiyanto, Heru Supraptomo, dan Paul Sutopo dari tuntutan hukum. Artinya, meskipun perbuatan mereka terbukti, namun ketiganya tidak dapat dihukum karena bukan perbuatan pidana. Putusan tersebut dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Samang Hamidi, Hasan Basri, dan Hartati.
Vonis diputuskan dengan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa adalah kebijakan pemerintah. Penyaluran Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat itu adalah kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan dalam keadaan krisis moneter (krismon).
Karena itu, pengadilan tinggi tidak bisa menilai kebijakan pemerintah sebagai tindak pidana. Keputusan presiden saat itu tidak bisa dinilai salah atau benar. Demikianlah penjelasan Hasan Basri Pase selaku Hubungan Masyarakat (Humas) Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Benarkah demikian?
Benar, berdasarkan pasal 32 ayat (3) Undang-Undang (UU) No. 13/1968 tentang Bank Sentral, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (lender of the last resort). Bahkan BLBI diakui sebagai kebijakan pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Kesepakatan ini menyetujui pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah dengan cara pengalihan hak tagih (cessie). Bahkan secara politik, kesepakatan itu telah mendapat restu dari Komisi IX DPR di awal Juni 2003 lalu.
Jika dipandang dari sisi yang demikian, tak ada masalah. Sebab, pemerintah selaku pemegang amanat konstitusi mempunyai otoritas untuk mengambil suatu tindakan darurat guna menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional. Saat itu masyarakat nampak panik. Mereka was-was uangnya yang disimpan di bank tidak dapat ditarik kembali.
Hal ini dibuktikan dengan panjangnya antrian nasabah di berbagai ATM. Jika tidak diselamatkan melalui BLBI, maka mungkin akan terjadi chaos, selain kekacauan ekonomi.
Persoalannya, pandangan majelis hakim PT DKI Jakarta itu berkiblat dalam dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) atau Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang memang tidak berimplikasi pidana. Padahal, persidangan yang ditanganinya dalam lingkup hukum pidana, yaitu pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam perkembangan suatu negara demokrasi modern, kewenangan eksekutif (pemerintah) tidaklah absolut (tanpa dapat dibatalkan) melalui pengadilan sebagai sistem perimbangan check and balances. Prosedurnya, kelompok masyarakat dan/atau individu yang menilai kebijakan/keputusan eksekutif kurang tepat atau bahkan merugikannya secara pribadi, dapat mengajukan judicial review atau gugatan Tata Usaha Negara (TUN) dapat diajukan.
Sistem hukum Indonesia pun saat ini telah mengenalnya. Judicial review diakui eksitensinya oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 selaku konstutusi kita pasca perubahan. Baik kebijakan/keputusan yang dikeluarkan pemerintah semata (di bawah UU) yang kewenangan mengadilinya pada Mahkamah Agung (MA), maupun produk hukum pemerintah dengan persetujuan DPR (UU) yang ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, untuk gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN.
Namun demikian, dari kacamata HAN atau HTUN, kebijakan pemerintah yang dinilai pengadilan salah, tidak menuai konsekuensi pidana bagi penerbit kebijakan tersebut. Sebab, pemerintah dinilai “hanya” salah menggunakan wewenang yang bersifat adminsitratif atau ketatausahaan dan bukan menyalahgunakan wewenang yang termasuk dalam domain (wilayah) hukum pidana. (Pemerintah) dinilai salah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya (perbuatan melawan hukum perspektif HAN atau HTUN).
Ketika apararat kepolisian atau kejaksaan mulai melakukan penyidikan dan penuntutan, maka secara otomatis perspektif hukumnya adalah hukum pidana, bukan dalam konteks HAN atau HTUN. Tentu saja metode pemeriksaan dan pembuktiannya tidak sama jika dibandingkan dengan pemeriksaan dalam lingkup HAN atau HTUN.
Dalam perspektif hukum pidana, bukan kebijakan yang diadili. Namun, perbuatan melawan hukum atas kebijakan atau keputusan eksekutif tersebut apakah diikuti unsur-unsur lainnya atau tidak. Unsur melawan hukum yang dibuat eksekutif merupakan penyalahgunaan wewenang, bukan salah menggunakan wewenang.
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN atau HTUN) bisa berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya.
Unsur-unsur tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama atau berdiri sendiri. Adapun yang dimaksud unsur-unsur tersebut diantaranya adalah satu, memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Dua, dapat merugikan keuangan negara (delik formil). Artinya, tidak mesti sudah terjadi bahwa kerugian negara telah benar-benar terjadi. Tapi dengan kebjikan yang telah diterbitkan dan belum terealisasi secara nyata, hal itu dapat saja termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Tiga, penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi oleh pihak lain. Jika ketiga atau salah satu unsur tersebut dipenuhi, maka penerbit kebijakan dapat didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Diperlukan kejelian jaksa dalam proses pembuktian dan kecermatan hakim untuk mengambil putusan. Sebab, pembuktiannya berbeda dengan kesalahan penggunaan wewenang dalam lingkup HAN atau HTUN. Apalagi yang terkait dengan gratifikasi. Tentu tidak menggunakan transaksi yang konvensional.
Selain itu, diperlukan bantuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengusutnya. Sebab, hampir pasti, penerima dan pemberi gratifikasi tidak akan ceroboh. Bisa jadi mereka menyewa advokat untuk mengamankan agar gratifikasi yang diberikannya tidak mudah ditelisik secara hukum. Transaksinya akan dilakukan secara tidak langsung dan dikaburkan.
Dari paparan di atas, tentu saja fokus pembuktiannya tidak sekadar bahwa apakah proses penyaluran BLBI tersebut telah benar secara prosedur atau tidak.. Tapi diikuti juga pemeriksaan atas tiga unsur tersebut (secara bersama-sama atau terpisah) sebagaimana yang telah didakwakan kepada ketiga mantan Direksi BI tersebut.
Kabarnya, ketiga mantan Direksi BI (diadili secara terpisah) didakwa telah melanggar pasal yang sama. Yakni pasal 1 ayat 1 sub b jo. pasal 28 jo. pasal 34 sub c UU No.3/1971 jo. pasal 64 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) jo pasal 1 UU No.20/2001 tentang perubahan UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bisa jadi, BLBI sebagai kebijakan tidak melanggar hukum. Namun, mungkin saja penyaluran dana BLBI terhadap bank-bank tertentu oleh ketiga mantan Direksi BI tersebut melanggar (diantaranya) SK Direksi BI No.14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 dan atau SK Direksi BI No.26/162/KEP/DIR tanggal 22 Maret 1994 (SKBI).
Berdasarkan ketentuan tersebut, diduga ada beberapa bank penerima BLBI yang tidak berhak menerimanya (fasilitas saldo atau mengikuti kliring). Persoalannya, SKBI pasti tidak mengatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atasnya. Sebab, ada persoalan otoritas dan konflik kepentingan bagi BI jika mengatur sanksi pidana.
Namun, putusan MA Regno.275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang telah menyatakan bersalah Raden Sonson Natalegawa (RSN) telah melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya dapat dijadikan perbandingan.
RSN, selaku eks Direktur Bank Bumi Daya (BBD), telah melakukan tindakan melawan hukum. Diantaranya memberikan kredit kepada PT Jawa Building (debitur) yang tidak sesuai dengan kebijakan internal BBD, yakni Surat Edaran/Instruksi Direksi BBD No.6/61 Kredit tanggal 10 September 1974 (SE BBD) juncto Surat Edaran BI No.SE 6/22/UPK tanggal 30 Juli 1973 (SE BI) yang melarang BBD memberikan kredit untuk proyek Real Estate.
Tentu saja, jika hanya dilihat pelanggaran SEBI dan SE BBD tidak terdapat ancaman pidana. Artinya, pelanggarannya bersifat adminsitratif. Namun, ketika itu MA menilai terdapat kerugian keuangan negara. Sebab, PT Jawa Building tidak dapat mengembalikan kredit. Ditambah dengan bukti bahwa RSN telah menerima hadiah atau fasilitas (gratifikasi) dari pihak yang tekait dengan PT Jawa Building.
MA menafsitrkan unsur melawan hukum tidak hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi BBD yang menurut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak melanggar peraturan hukum yang berkonsekuensi sanksi pidana. Tapi, MA berpendapat lain.
Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya perbuatan melawan hukum diukur juga berdasarkan asas hukum tak tertulis maupun asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Sedangkan, menurut kepatutan masyarakat dalam perkara korupsi, seorang petinggi Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menerima gratifikasi berlebihan serta keuntungan lainnya dari debitur (penerima kredit) dengan maksud direksi Bank BUMN tersebut menggunakan kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara menyimpang adalah perbuatan melawan hukum.
Semoga saja, ditingkat Kasasi, MA akan memberikan putusan yang bijak dan cerdas demi kepastian hukum. Sebab, diperlukan alasan hukum yang logis untuk melepaskan atau menghukum ketiga mantan Direksi BI. Pejabat BI butuh kepastian hukum dengan kategori yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, kita juga berkepentingan untuk menjaga keuangan negara agar tidak disalahgunakan. Selamat mengadili MA.
Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Oleh; Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta
Pangadilan Tinggi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dalam persidangan yang terpisah pada tanggal 29 Desember 2003 telah melepaskan ketiga mantan Direktur Bank Indonesia (BI), yakni Hendrobudiyanto, Heru Supraptomo, dan Paul Sutopo dari tuntutan hukum. Artinya, meskipun perbuatan mereka terbukti, namun ketiganya tidak dapat dihukum karena bukan perbuatan pidana. Putusan tersebut dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Samang Hamidi, Hasan Basri, dan Hartati.
Vonis diputuskan dengan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa adalah kebijakan pemerintah. Penyaluran Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat itu adalah kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan dalam keadaan krisis moneter (krismon).
Karena itu, pengadilan tinggi tidak bisa menilai kebijakan pemerintah sebagai tindak pidana. Keputusan presiden saat itu tidak bisa dinilai salah atau benar. Demikianlah penjelasan Hasan Basri Pase selaku Hubungan Masyarakat (Humas) Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Benarkah demikian?
Benar, berdasarkan pasal 32 ayat (3) Undang-Undang (UU) No. 13/1968 tentang Bank Sentral, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (lender of the last resort). Bahkan BLBI diakui sebagai kebijakan pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Kesepakatan ini menyetujui pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah dengan cara pengalihan hak tagih (cessie). Bahkan secara politik, kesepakatan itu telah mendapat restu dari Komisi IX DPR di awal Juni 2003 lalu.
Jika dipandang dari sisi yang demikian, tak ada masalah. Sebab, pemerintah selaku pemegang amanat konstitusi mempunyai otoritas untuk mengambil suatu tindakan darurat guna menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional. Saat itu masyarakat nampak panik. Mereka was-was uangnya yang disimpan di bank tidak dapat ditarik kembali.
Hal ini dibuktikan dengan panjangnya antrian nasabah di berbagai ATM. Jika tidak diselamatkan melalui BLBI, maka mungkin akan terjadi chaos, selain kekacauan ekonomi.
Persoalannya, pandangan majelis hakim PT DKI Jakarta itu berkiblat dalam dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) atau Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang memang tidak berimplikasi pidana. Padahal, persidangan yang ditanganinya dalam lingkup hukum pidana, yaitu pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam perkembangan suatu negara demokrasi modern, kewenangan eksekutif (pemerintah) tidaklah absolut (tanpa dapat dibatalkan) melalui pengadilan sebagai sistem perimbangan check and balances. Prosedurnya, kelompok masyarakat dan/atau individu yang menilai kebijakan/keputusan eksekutif kurang tepat atau bahkan merugikannya secara pribadi, dapat mengajukan judicial review atau gugatan Tata Usaha Negara (TUN) dapat diajukan.
Sistem hukum Indonesia pun saat ini telah mengenalnya. Judicial review diakui eksitensinya oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 selaku konstutusi kita pasca perubahan. Baik kebijakan/keputusan yang dikeluarkan pemerintah semata (di bawah UU) yang kewenangan mengadilinya pada Mahkamah Agung (MA), maupun produk hukum pemerintah dengan persetujuan DPR (UU) yang ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, untuk gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN.
Namun demikian, dari kacamata HAN atau HTUN, kebijakan pemerintah yang dinilai pengadilan salah, tidak menuai konsekuensi pidana bagi penerbit kebijakan tersebut. Sebab, pemerintah dinilai “hanya” salah menggunakan wewenang yang bersifat adminsitratif atau ketatausahaan dan bukan menyalahgunakan wewenang yang termasuk dalam domain (wilayah) hukum pidana. (Pemerintah) dinilai salah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya (perbuatan melawan hukum perspektif HAN atau HTUN).
Ketika apararat kepolisian atau kejaksaan mulai melakukan penyidikan dan penuntutan, maka secara otomatis perspektif hukumnya adalah hukum pidana, bukan dalam konteks HAN atau HTUN. Tentu saja metode pemeriksaan dan pembuktiannya tidak sama jika dibandingkan dengan pemeriksaan dalam lingkup HAN atau HTUN.
Dalam perspektif hukum pidana, bukan kebijakan yang diadili. Namun, perbuatan melawan hukum atas kebijakan atau keputusan eksekutif tersebut apakah diikuti unsur-unsur lainnya atau tidak. Unsur melawan hukum yang dibuat eksekutif merupakan penyalahgunaan wewenang, bukan salah menggunakan wewenang.
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN atau HTUN) bisa berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya.
Unsur-unsur tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama atau berdiri sendiri. Adapun yang dimaksud unsur-unsur tersebut diantaranya adalah satu, memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Dua, dapat merugikan keuangan negara (delik formil). Artinya, tidak mesti sudah terjadi bahwa kerugian negara telah benar-benar terjadi. Tapi dengan kebjikan yang telah diterbitkan dan belum terealisasi secara nyata, hal itu dapat saja termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Tiga, penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi oleh pihak lain. Jika ketiga atau salah satu unsur tersebut dipenuhi, maka penerbit kebijakan dapat didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Diperlukan kejelian jaksa dalam proses pembuktian dan kecermatan hakim untuk mengambil putusan. Sebab, pembuktiannya berbeda dengan kesalahan penggunaan wewenang dalam lingkup HAN atau HTUN. Apalagi yang terkait dengan gratifikasi. Tentu tidak menggunakan transaksi yang konvensional.
Selain itu, diperlukan bantuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengusutnya. Sebab, hampir pasti, penerima dan pemberi gratifikasi tidak akan ceroboh. Bisa jadi mereka menyewa advokat untuk mengamankan agar gratifikasi yang diberikannya tidak mudah ditelisik secara hukum. Transaksinya akan dilakukan secara tidak langsung dan dikaburkan.
Dari paparan di atas, tentu saja fokus pembuktiannya tidak sekadar bahwa apakah proses penyaluran BLBI tersebut telah benar secara prosedur atau tidak.. Tapi diikuti juga pemeriksaan atas tiga unsur tersebut (secara bersama-sama atau terpisah) sebagaimana yang telah didakwakan kepada ketiga mantan Direksi BI tersebut.
Kabarnya, ketiga mantan Direksi BI (diadili secara terpisah) didakwa telah melanggar pasal yang sama. Yakni pasal 1 ayat 1 sub b jo. pasal 28 jo. pasal 34 sub c UU No.3/1971 jo. pasal 64 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) jo pasal 1 UU No.20/2001 tentang perubahan UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bisa jadi, BLBI sebagai kebijakan tidak melanggar hukum. Namun, mungkin saja penyaluran dana BLBI terhadap bank-bank tertentu oleh ketiga mantan Direksi BI tersebut melanggar (diantaranya) SK Direksi BI No.14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 dan atau SK Direksi BI No.26/162/KEP/DIR tanggal 22 Maret 1994 (SKBI).
Berdasarkan ketentuan tersebut, diduga ada beberapa bank penerima BLBI yang tidak berhak menerimanya (fasilitas saldo atau mengikuti kliring). Persoalannya, SKBI pasti tidak mengatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atasnya. Sebab, ada persoalan otoritas dan konflik kepentingan bagi BI jika mengatur sanksi pidana.
Namun, putusan MA Regno.275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang telah menyatakan bersalah Raden Sonson Natalegawa (RSN) telah melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya dapat dijadikan perbandingan.
RSN, selaku eks Direktur Bank Bumi Daya (BBD), telah melakukan tindakan melawan hukum. Diantaranya memberikan kredit kepada PT Jawa Building (debitur) yang tidak sesuai dengan kebijakan internal BBD, yakni Surat Edaran/Instruksi Direksi BBD No.6/61 Kredit tanggal 10 September 1974 (SE BBD) juncto Surat Edaran BI No.SE 6/22/UPK tanggal 30 Juli 1973 (SE BI) yang melarang BBD memberikan kredit untuk proyek Real Estate.
Tentu saja, jika hanya dilihat pelanggaran SEBI dan SE BBD tidak terdapat ancaman pidana. Artinya, pelanggarannya bersifat adminsitratif. Namun, ketika itu MA menilai terdapat kerugian keuangan negara. Sebab, PT Jawa Building tidak dapat mengembalikan kredit. Ditambah dengan bukti bahwa RSN telah menerima hadiah atau fasilitas (gratifikasi) dari pihak yang tekait dengan PT Jawa Building.
MA menafsitrkan unsur melawan hukum tidak hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi BBD yang menurut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak melanggar peraturan hukum yang berkonsekuensi sanksi pidana. Tapi, MA berpendapat lain.
Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya perbuatan melawan hukum diukur juga berdasarkan asas hukum tak tertulis maupun asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Sedangkan, menurut kepatutan masyarakat dalam perkara korupsi, seorang petinggi Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menerima gratifikasi berlebihan serta keuntungan lainnya dari debitur (penerima kredit) dengan maksud direksi Bank BUMN tersebut menggunakan kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara menyimpang adalah perbuatan melawan hukum.
Semoga saja, ditingkat Kasasi, MA akan memberikan putusan yang bijak dan cerdas demi kepastian hukum. Sebab, diperlukan alasan hukum yang logis untuk melepaskan atau menghukum ketiga mantan Direksi BI. Pejabat BI butuh kepastian hukum dengan kategori yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, kita juga berkepentingan untuk menjaga keuangan negara agar tidak disalahgunakan. Selamat mengadili MA.
Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Sabtu, Desember 27, 2008
Menggugat Skenario ”Pembubaran” BPPN
Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Sinar Harapan edisi Jum'at, 07 Januari 2005.
Oleh
Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pernah diperpanjang masa tugasnya. Kalimat tersebut mungkin berkesan provokatif. Padahal, demikianlah hukum memposisikannya. Ini berlawanan dengan kesan publik yang tersiar di media massa pada akhir Februari lalu yang ramai membicarakan ”pembubaran” BPPN.
Publik banyak terkecoh oleh penegasan Pasal 1 ayat 1 Keppres No.15/2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN yang menyatakan BPPN dinyatakan bubar terhitung sejak 27 Februari 2004. Padahal, kalau kita menyimak penegasan Pasal 1 ayat 3 dan 4 juncto Pasal 2 Kepres No. 15/2004, hakikatnya ia diperpanjang tugasnya hingga 30 April 2004. Tugas itu khususnya berkaitan dengan penyelesaian empat hal. Yakni likuidasi Bank Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha, kewajiban pemegang saham, audit dan transaksi yang telah terjadi sebelum 27 Februari 2004. Artinya, secara kelembagaan BPPN belum dibubarkan. Tapi hanya mengurangi dan menghilangkan tugas-tugas lain BPPN selain empat hal tersebut.
Sebelumnya, BPPN bertugas melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah pada bank umum sebagaimana termaksud dalam Keppres No26/1998 dan melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang oleh Bank Indonesia (BI) dinyatakan tidak sehat; serta tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank (Pasal 2 Keppres No. 27/1998 tentang Pembentukan BPPN).
Dalam melakukan program penyehatan perbankan, (sebelumnya) BPPN bertugas menyehatkan bank yang ditetapkan dan diserahkan BI, menyelesaikan aset bank, baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelolaan Aset (Asset Management Unit), dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset dalam Restrukturisasi (Pasal 3 ayat 1 PP No. 17/1998 tentang BPPN sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 47/2001 –PP BPPN).
Tim Pemberesan
Pasal 6 ayat 1 Keppres No. 15/2004 menegaskan dengan berakhirnya tugas BPPN dan/atau dibubarkannya BPPN, segala kekayaannya menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Jelas, konstruksi ini membingungkan. Sebab terdapat keragu-raguan mengenai kapan waktu yang pasti BPPN tidak mempunyai kekayaan lagi. Tampaknya, ini tidak dipahami oleh presiden.
Sebab, terdapat rentang waktu 63 hari atau sekitar dua bulan antara berakhirnya tugas BPPN pada bidang-bidang tertentu sebagaimana dimaksud Keppres 15/2004 (27 Februari 2004) dengan rentang waktu badan itu dinyatakan bubar (30 April 2004). Ini bukan waktu yang sebentar bagi BPPN yang banyak menghadapi persoalan pelik. Pada akhirnya, hal ini akan menimbulkan persoalan hukum yang serius.
Perpanjangan masa tugas BPPN membawa konsekuensi hukum atas keabsahan tindakan hukum Tim Pemberes yang telah dibentuk presiden dengan Keppres No.16/2004 tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN yang dipimpin oleh Menkeu. Khususnya berkaitan dengan kewenangan mewakili BPPN dalam urusan penyelesaian aset-aset (kekayaan BPPN). Tim Pemberesan bertugas untuk penanganan masalah kearsipan, kekayaan negara yang terkait dengan perkara di lembaga peradilan, masalah hukum, administrasi keuangan, dan pendampingan pelaksanaan audit dalam rangka pemberesan BPPN.
Untuk melaksanakan tugasnya, Tim Pemberesan dibantu oleh Kelompok Kerja (KK) yang dibentuk Menkeu selaku ketua Tim Pemberesan. Salah satu tugas dari KK tersebut adalah Kelompok Kerja Penanganan Masalah Hukum (KKPMH) yang bertindak selaku kuasa Menkeu (selaku ketua Tim Pemberesan) untuk beracara di lembaga peradilan.
Lebih Tepat Diatur PP
Padahal, semestinya dengan Keberadaan BPPN yang diperpanjang hingga 30 April 2004 (dengan mempersempit fungsinya), membawa konsekuensi pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama BPPN berkaitan dengan kekayaan BPPN adalah organ yang diatur dengan PP BPPN. Di sinilah pentingnya ketegasan Keppres No.15/2004 untuk memutuskan kapan kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menkeu.
Sebab, sepanjang BPPN masih berdiri, pada prinsipnya kewenangan untuk mewakili BPPN baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan (termasuk sengketa di pengadilan yang berkaitan dengan kekayaan BPPN) adalah organ yang diatur dalam PP BPPN yaitu ketua BPPN (Pasal 5 ayat 4 PP BPPN).
Karenanya, keabsahan KKPMH bertindak selaku kuasa Menkeu untuk beracara di lembaga peradilan dalam rangka pemberesan untuk kepentingan kekayaan BPPN berpotensi tidak memiliki dasar yang kuat sebagai pihak yang berwenang di pengadilan. Konsekuensinya, dengan mudah lawannya akan memenangkan sengketa hukum di pengadilan.
Sebab, dasar hukum Tim Pemberes melalui KKPMH untuk bertindak mengurusi sengketa kekayaan BPPN lemah. Bahkan, kedudukan, tugas, dan kewenangan Menkeu pada BPPN sebagaimana diatur PP BPPN sudah dialihkan kepada Menteri Negara BUMN (PP No. 63/2001).
Jika pemerintah berniat memangkas kewenangan organ BPPN yang ada (dalam hal-hal tertentu) karena dirasa tugas BPPN telah dikurangi, maka lebih tepat jika diatur dalam PP BPPN. Bukan dengan Keppres yang tingkatannya lebih rendah daripada PP dalam hierarki perundang-undangan.
Jelas, prinsip konstruksi hukum perpanjangan tugas BPPN dengan kamuflase ”Pembubaran” BPPN ini lebih memiliki tujuan politis dengan pijakan hukum yang lemah. Bersiaplah KKPMH menuai kekalahan di pengadilan sebagaimana yang telah dialami BPPN selama ini. Semoga pemerintah mau belajar dari pengalaman sebelumnya. Konstruksi hukum akan berdampak pada kemenangan berperkara.
Oleh
Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pernah diperpanjang masa tugasnya. Kalimat tersebut mungkin berkesan provokatif. Padahal, demikianlah hukum memposisikannya. Ini berlawanan dengan kesan publik yang tersiar di media massa pada akhir Februari lalu yang ramai membicarakan ”pembubaran” BPPN.
Publik banyak terkecoh oleh penegasan Pasal 1 ayat 1 Keppres No.15/2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN yang menyatakan BPPN dinyatakan bubar terhitung sejak 27 Februari 2004. Padahal, kalau kita menyimak penegasan Pasal 1 ayat 3 dan 4 juncto Pasal 2 Kepres No. 15/2004, hakikatnya ia diperpanjang tugasnya hingga 30 April 2004. Tugas itu khususnya berkaitan dengan penyelesaian empat hal. Yakni likuidasi Bank Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha, kewajiban pemegang saham, audit dan transaksi yang telah terjadi sebelum 27 Februari 2004. Artinya, secara kelembagaan BPPN belum dibubarkan. Tapi hanya mengurangi dan menghilangkan tugas-tugas lain BPPN selain empat hal tersebut.
Sebelumnya, BPPN bertugas melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah pada bank umum sebagaimana termaksud dalam Keppres No26/1998 dan melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang oleh Bank Indonesia (BI) dinyatakan tidak sehat; serta tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank (Pasal 2 Keppres No. 27/1998 tentang Pembentukan BPPN).
Dalam melakukan program penyehatan perbankan, (sebelumnya) BPPN bertugas menyehatkan bank yang ditetapkan dan diserahkan BI, menyelesaikan aset bank, baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelolaan Aset (Asset Management Unit), dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset dalam Restrukturisasi (Pasal 3 ayat 1 PP No. 17/1998 tentang BPPN sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 47/2001 –PP BPPN).
Tim Pemberesan
Pasal 6 ayat 1 Keppres No. 15/2004 menegaskan dengan berakhirnya tugas BPPN dan/atau dibubarkannya BPPN, segala kekayaannya menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Jelas, konstruksi ini membingungkan. Sebab terdapat keragu-raguan mengenai kapan waktu yang pasti BPPN tidak mempunyai kekayaan lagi. Tampaknya, ini tidak dipahami oleh presiden.
Sebab, terdapat rentang waktu 63 hari atau sekitar dua bulan antara berakhirnya tugas BPPN pada bidang-bidang tertentu sebagaimana dimaksud Keppres 15/2004 (27 Februari 2004) dengan rentang waktu badan itu dinyatakan bubar (30 April 2004). Ini bukan waktu yang sebentar bagi BPPN yang banyak menghadapi persoalan pelik. Pada akhirnya, hal ini akan menimbulkan persoalan hukum yang serius.
Perpanjangan masa tugas BPPN membawa konsekuensi hukum atas keabsahan tindakan hukum Tim Pemberes yang telah dibentuk presiden dengan Keppres No.16/2004 tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN yang dipimpin oleh Menkeu. Khususnya berkaitan dengan kewenangan mewakili BPPN dalam urusan penyelesaian aset-aset (kekayaan BPPN). Tim Pemberesan bertugas untuk penanganan masalah kearsipan, kekayaan negara yang terkait dengan perkara di lembaga peradilan, masalah hukum, administrasi keuangan, dan pendampingan pelaksanaan audit dalam rangka pemberesan BPPN.
Untuk melaksanakan tugasnya, Tim Pemberesan dibantu oleh Kelompok Kerja (KK) yang dibentuk Menkeu selaku ketua Tim Pemberesan. Salah satu tugas dari KK tersebut adalah Kelompok Kerja Penanganan Masalah Hukum (KKPMH) yang bertindak selaku kuasa Menkeu (selaku ketua Tim Pemberesan) untuk beracara di lembaga peradilan.
Lebih Tepat Diatur PP
Padahal, semestinya dengan Keberadaan BPPN yang diperpanjang hingga 30 April 2004 (dengan mempersempit fungsinya), membawa konsekuensi pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama BPPN berkaitan dengan kekayaan BPPN adalah organ yang diatur dengan PP BPPN. Di sinilah pentingnya ketegasan Keppres No.15/2004 untuk memutuskan kapan kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menkeu.
Sebab, sepanjang BPPN masih berdiri, pada prinsipnya kewenangan untuk mewakili BPPN baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan (termasuk sengketa di pengadilan yang berkaitan dengan kekayaan BPPN) adalah organ yang diatur dalam PP BPPN yaitu ketua BPPN (Pasal 5 ayat 4 PP BPPN).
Karenanya, keabsahan KKPMH bertindak selaku kuasa Menkeu untuk beracara di lembaga peradilan dalam rangka pemberesan untuk kepentingan kekayaan BPPN berpotensi tidak memiliki dasar yang kuat sebagai pihak yang berwenang di pengadilan. Konsekuensinya, dengan mudah lawannya akan memenangkan sengketa hukum di pengadilan.
Sebab, dasar hukum Tim Pemberes melalui KKPMH untuk bertindak mengurusi sengketa kekayaan BPPN lemah. Bahkan, kedudukan, tugas, dan kewenangan Menkeu pada BPPN sebagaimana diatur PP BPPN sudah dialihkan kepada Menteri Negara BUMN (PP No. 63/2001).
Jika pemerintah berniat memangkas kewenangan organ BPPN yang ada (dalam hal-hal tertentu) karena dirasa tugas BPPN telah dikurangi, maka lebih tepat jika diatur dalam PP BPPN. Bukan dengan Keppres yang tingkatannya lebih rendah daripada PP dalam hierarki perundang-undangan.
Jelas, prinsip konstruksi hukum perpanjangan tugas BPPN dengan kamuflase ”Pembubaran” BPPN ini lebih memiliki tujuan politis dengan pijakan hukum yang lemah. Bersiaplah KKPMH menuai kekalahan di pengadilan sebagaimana yang telah dialami BPPN selama ini. Semoga pemerintah mau belajar dari pengalaman sebelumnya. Konstruksi hukum akan berdampak pada kemenangan berperkara.
Jumat, Juli 18, 2008
Perlu Dekriminalisasi di Perbankan
Tulisan ini dipublikasikan harian SInar Harapan edisi 21 Maret 2007
Oleh Sulistiono Kertawacana
Advokat
Perang melawan korupsi yang dicanangkan pemerintah harus didukung semua pihak. Namun, tampaknya imbas pemberantasan korupsi di sektor perbankan bak buah simalakama. Tidak diberantas akan menyebabkan perbankan kotor yang dapat mengganggu ekonomi nasional. Namun, dengan model pemberantasan yang disriminatif menyebabkan bank BUMN/BUMD ketakutan dalam menyalurkan kredit karena ancaman dijadikan tersangka jika kreditnya kelak macet.
Kita bergembira jika akibat perang melawan korupsi membuat ciut nyali para direksi yang berniat melakukan tindak pidana perbankan. Namun, jika yang timbul ketakutan direksi bank BUMN/BUMD yang berniat menyalurkan kredit, tentu tidak dikehendaki. Sebab, sektor perbankan merupakan urat nadi perekonomian. Jika tugas perbankan sebagai mediasi antara dana nasabah yang disimpan dan debitor yang berniat menjalankan usaha/membiayai proyek tersendat-sendat, maka perkembangan sektor riil juga akan terganggu. Tentu ini bukan niat pemberantasan korupsi.
Delik yang Diskriminatif
Kekhawatiran yang hanya dialami direksi BUMN/BUMD dalam menyalurkan kedit, nampaknya tidak dialami direksi bank swasta. Sebabnya, hanya kredit macet di bank BUMN/BUMD yang dapat menyeret direksi/komisarisnya menjadi tersangka korupsi. Sedangkan tidak demikian untuk direksi/komisaris bank swasta. Padahal, bisa jadi kesulitan pembayaran kredit bank BUMN/BUMD terjadi karena resiko bisnis yang ditanggung debiturnya. Untuk ini, bisanya ada jaminan yang bisa disita oleh bank.
Diksriminasi ini bersumber dari penjelasan umum paragraf ke-4 huruf b UU No.31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang mendefinsikan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (diantaranya-pen) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD.
Selain itu, pasal 2 huruf (g) UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara memngkategorikan keuangan negara termasuk juga (diantaranya -pen) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oileh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahan negara/perusahaan daerah.
Dengan definisi keuangan negara yang meliputi pengelolaan BUMN/BUMD, maka hanya direksi/komisaris/pemegang saham bank BUMN/BUMD yang diancam tindak pidana korupsi. Semestinya dengan ketegori tindak pidana korupsi (yang ancaman maksimalnya adalah hukuman mati) bagi penyimpangan penglolaan bank BUMN/BUMD, akan menyebabkan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank BUMN akan lebih kecil daripada bank swasta. Sayangnya, tidak demikian.
Berdasarkan data laporan keuangan publikasi Bank Indonesia, komposisi NPL per September 2005, persentase NPL terbesar di bank BUMN yakni senilai Rp 39,1 triliun. Sedangkan bank non-BUMN menyumbang NPL sebesar 26,9 persen atau senilai Rp 15,2 triliun. Dari 73,1 persen NPL yang terjadi di bank BUMN, tercatat Bank Mandiri memberi kontribusi 64,2 persen, Bank Negara Indonesia sebesar 23,67 persen, Bank Rakyat Indonesia 9,7 persen dan Bank Tabungan Negara 2,03 persen.
Bisa jadi ada kalangan yang berpendapat, dengan ancaman pidana yang berat saja, pengelola bank BUMN masih buruk, apalagi jika dihilangkan. Logika demikian memang benar, namun hakikatnya tidaklah demikian. Pemerintah menghendaki semua bank (swasta dan BUMN/BUMD) sehat. Pengalaman krisis perbankan tahun 1997 membuktikan, krisis yang dialami bank swasta pun akan melibatkan pemerintah.
Sebab, pertimbangannya bukan sekedar hukum yakni tiadanya kewajiban pemerintah untuk menalangi nasabah penyimpan dana. Namun, termasuk juga pertimbangan kepercayaan terhadap lembaga perbankan umumnya yang akan berimbas terhadap ekonomi makro, politik, dan sosial. Jika tidak cepat tanggap pemerintah menalanginya, sangat mungkin keresahan nasabah bank akan menimbulkan kerusuhan massal. Dengan pertimbangan demikian, sungguh tidak relvan jika perumusan deliknya diskriminatif.
Terseretnya direksi/komisaris/pemegang saham bank swasta dalam tindak pidana korupsi dalam krisis perbankan 1997 bukan merupakan bukti tidak diskriminatifnya ancaman tindak pidana korupsi. Mereka dijadikan tersangka korupsi karena dugaan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan/atau obligasi negara sebagai talangan pemerintah untuk mengatasi krisis perbankan.
Dekriminalisasi
Penulis yakin, jika krisis perbankan terjadi lagi (semoga tidak), meski hanya nasabah dengan kriteria tertentu yang dijamin, namun jika melihat keresahan masyarakat yang dapat menimbulkan guncangan ekonomi, sosial, dan politik, maka pemerintah akan turun tangan untuk menjamin tidak hanya yang dijamin sebagaimana yang diatur peraturan saat ini. Artinya, pemerintah dan masyarakat sangat berkepentingan menjaga agar sektor perbankan (BUMN/BUMD dan swasta) dapat tumbuh sehat. Karenanya, ancaman pidana bagi yang merusak sektor perbankan harus sama beratnya.
Untuk itu, sebaiknya dihapuskannya ancaman tindak pidana korupsi bagi bank BUMN/BUMD disertai juga revisi UU Perbankan. Ancaman pidana bagi pelanggar UU Perbankan harus lebih berat dan kriterianya tindak pidana perbankan lebih detil dan jelas. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi diskrimiansi Bank BUMN/BUMD dan Swasta dalam hal pelanggaran sanksi atas pelanggaran hukum. Diharapkan akan lebih menciptakan kepastian hukum yang apda gilirannya akan membuat Direksi BUMN/BUMD pun akan merasa sama tenangnya dengan direksi bank swasta dalam menjalankan usahanya.
Demi menghilangkan ketakutan yang tidak apda tempatnya para direksi bnak BUMN/BUMD terhadap ancaman pidana korupsi, maka perlunya dilakukan dekriminalisasi (penghapusan tindak pidana) tindak pidana korupsi di bank BUMN/BUMD. Logikanya ketika institusi negara menjalankan usaha yang masuk dalam wilayak korporasi, maka hukum yang berlaku pun sama
Namun, demikian kita pun tidak menghendaki pesta pora penyalahgunaan dana perbankan BUMN/BUMD. Karenanya, untuk melindungi dana masyarakat dan kepercayaan publik, diperlukan perubahan UU No.7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (UU Perbankan).
Saat ini ada beberapa pasal dalam UU Perbankan yang perlu diperjelas jenis tindak pidananya agar terciptanya kepastian hukum. Selain itu juga, dengan mengingat pertimbangan betapa vitalnya sektor perbankan bagi ekonomi nasional, maka ancaman hukuman bagi pelanggarnya pun mesti diperberat.
Adapun pasal-pasal yang perlu diperjelas adalah pasal 49, 50, dan 50A UU Perbankan. Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan mengancam anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan per-UU-an lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 ttahun dan paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya 5 miliar Rupiah dan paling banyak 100 miliar Rupiah.
Pasal 50 mengancam pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya 5 miliar Rupiah dan paling banyak 100 miliar Rupiah.
Pasal 50A mengancam pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnnya 7 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya 10 miliar Rupiah dan paling bannyak 200 miliar Rupiah.
Dari ketiga pasal tersebut perlu diatur secara jelas dan detil, yakni apa yang dimaksud langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. Diharapkan diperjelaskannya pengertian diatas dan diperberatnya ancaman pidana dalam UU Perbankan, maka dekriminalisasi tindak pidana korupsi di perbankan akan menciptakan kepastian hukum bagi bank BUMN/BUMD tanpa mengurangi ancaman pidana bagi yang melanggar prinsip kehati-hatian pengelolaan bank. Semoga perbankan di Indonesia lebih sehat, tanpa kecuali!!!
Selengkapnya...
Oleh Sulistiono Kertawacana
Advokat
Perang melawan korupsi yang dicanangkan pemerintah harus didukung semua pihak. Namun, tampaknya imbas pemberantasan korupsi di sektor perbankan bak buah simalakama. Tidak diberantas akan menyebabkan perbankan kotor yang dapat mengganggu ekonomi nasional. Namun, dengan model pemberantasan yang disriminatif menyebabkan bank BUMN/BUMD ketakutan dalam menyalurkan kredit karena ancaman dijadikan tersangka jika kreditnya kelak macet.
Kita bergembira jika akibat perang melawan korupsi membuat ciut nyali para direksi yang berniat melakukan tindak pidana perbankan. Namun, jika yang timbul ketakutan direksi bank BUMN/BUMD yang berniat menyalurkan kredit, tentu tidak dikehendaki. Sebab, sektor perbankan merupakan urat nadi perekonomian. Jika tugas perbankan sebagai mediasi antara dana nasabah yang disimpan dan debitor yang berniat menjalankan usaha/membiayai proyek tersendat-sendat, maka perkembangan sektor riil juga akan terganggu. Tentu ini bukan niat pemberantasan korupsi.
Delik yang Diskriminatif
Kekhawatiran yang hanya dialami direksi BUMN/BUMD dalam menyalurkan kedit, nampaknya tidak dialami direksi bank swasta. Sebabnya, hanya kredit macet di bank BUMN/BUMD yang dapat menyeret direksi/komisarisnya menjadi tersangka korupsi. Sedangkan tidak demikian untuk direksi/komisaris bank swasta. Padahal, bisa jadi kesulitan pembayaran kredit bank BUMN/BUMD terjadi karena resiko bisnis yang ditanggung debiturnya. Untuk ini, bisanya ada jaminan yang bisa disita oleh bank.
Diksriminasi ini bersumber dari penjelasan umum paragraf ke-4 huruf b UU No.31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang mendefinsikan keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (diantaranya-pen) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD.
Selain itu, pasal 2 huruf (g) UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara memngkategorikan keuangan negara termasuk juga (diantaranya -pen) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oileh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahan negara/perusahaan daerah.
Dengan definisi keuangan negara yang meliputi pengelolaan BUMN/BUMD, maka hanya direksi/komisaris/pemegang saham bank BUMN/BUMD yang diancam tindak pidana korupsi. Semestinya dengan ketegori tindak pidana korupsi (yang ancaman maksimalnya adalah hukuman mati) bagi penyimpangan penglolaan bank BUMN/BUMD, akan menyebabkan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) bank BUMN akan lebih kecil daripada bank swasta. Sayangnya, tidak demikian.
Berdasarkan data laporan keuangan publikasi Bank Indonesia, komposisi NPL per September 2005, persentase NPL terbesar di bank BUMN yakni senilai Rp 39,1 triliun. Sedangkan bank non-BUMN menyumbang NPL sebesar 26,9 persen atau senilai Rp 15,2 triliun. Dari 73,1 persen NPL yang terjadi di bank BUMN, tercatat Bank Mandiri memberi kontribusi 64,2 persen, Bank Negara Indonesia sebesar 23,67 persen, Bank Rakyat Indonesia 9,7 persen dan Bank Tabungan Negara 2,03 persen.
Bisa jadi ada kalangan yang berpendapat, dengan ancaman pidana yang berat saja, pengelola bank BUMN masih buruk, apalagi jika dihilangkan. Logika demikian memang benar, namun hakikatnya tidaklah demikian. Pemerintah menghendaki semua bank (swasta dan BUMN/BUMD) sehat. Pengalaman krisis perbankan tahun 1997 membuktikan, krisis yang dialami bank swasta pun akan melibatkan pemerintah.
Sebab, pertimbangannya bukan sekedar hukum yakni tiadanya kewajiban pemerintah untuk menalangi nasabah penyimpan dana. Namun, termasuk juga pertimbangan kepercayaan terhadap lembaga perbankan umumnya yang akan berimbas terhadap ekonomi makro, politik, dan sosial. Jika tidak cepat tanggap pemerintah menalanginya, sangat mungkin keresahan nasabah bank akan menimbulkan kerusuhan massal. Dengan pertimbangan demikian, sungguh tidak relvan jika perumusan deliknya diskriminatif.
Terseretnya direksi/komisaris/pemegang saham bank swasta dalam tindak pidana korupsi dalam krisis perbankan 1997 bukan merupakan bukti tidak diskriminatifnya ancaman tindak pidana korupsi. Mereka dijadikan tersangka korupsi karena dugaan penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan/atau obligasi negara sebagai talangan pemerintah untuk mengatasi krisis perbankan.
Dekriminalisasi
Penulis yakin, jika krisis perbankan terjadi lagi (semoga tidak), meski hanya nasabah dengan kriteria tertentu yang dijamin, namun jika melihat keresahan masyarakat yang dapat menimbulkan guncangan ekonomi, sosial, dan politik, maka pemerintah akan turun tangan untuk menjamin tidak hanya yang dijamin sebagaimana yang diatur peraturan saat ini. Artinya, pemerintah dan masyarakat sangat berkepentingan menjaga agar sektor perbankan (BUMN/BUMD dan swasta) dapat tumbuh sehat. Karenanya, ancaman pidana bagi yang merusak sektor perbankan harus sama beratnya.
Untuk itu, sebaiknya dihapuskannya ancaman tindak pidana korupsi bagi bank BUMN/BUMD disertai juga revisi UU Perbankan. Ancaman pidana bagi pelanggar UU Perbankan harus lebih berat dan kriterianya tindak pidana perbankan lebih detil dan jelas. Dengan demikian tidak akan terjadi lagi diskrimiansi Bank BUMN/BUMD dan Swasta dalam hal pelanggaran sanksi atas pelanggaran hukum. Diharapkan akan lebih menciptakan kepastian hukum yang apda gilirannya akan membuat Direksi BUMN/BUMD pun akan merasa sama tenangnya dengan direksi bank swasta dalam menjalankan usahanya.
Demi menghilangkan ketakutan yang tidak apda tempatnya para direksi bnak BUMN/BUMD terhadap ancaman pidana korupsi, maka perlunya dilakukan dekriminalisasi (penghapusan tindak pidana) tindak pidana korupsi di bank BUMN/BUMD. Logikanya ketika institusi negara menjalankan usaha yang masuk dalam wilayak korporasi, maka hukum yang berlaku pun sama
Namun, demikian kita pun tidak menghendaki pesta pora penyalahgunaan dana perbankan BUMN/BUMD. Karenanya, untuk melindungi dana masyarakat dan kepercayaan publik, diperlukan perubahan UU No.7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (UU Perbankan).
Saat ini ada beberapa pasal dalam UU Perbankan yang perlu diperjelas jenis tindak pidananya agar terciptanya kepastian hukum. Selain itu juga, dengan mengingat pertimbangan betapa vitalnya sektor perbankan bagi ekonomi nasional, maka ancaman hukuman bagi pelanggarnya pun mesti diperberat.
Adapun pasal-pasal yang perlu diperjelas adalah pasal 49, 50, dan 50A UU Perbankan. Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan mengancam anggota Dewan Komisaris, Direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan per-UU-an lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 ttahun dan paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya 5 miliar Rupiah dan paling banyak 100 miliar Rupiah.
Pasal 50 mengancam pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 tahun dan paling lama 8 tahun serta denda sekurang-kurangnya 5 miliar Rupiah dan paling banyak 100 miliar Rupiah.
Pasal 50A mengancam pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnnya 7 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda sekurang-kurangnya 10 miliar Rupiah dan paling bannyak 200 miliar Rupiah.
Dari ketiga pasal tersebut perlu diatur secara jelas dan detil, yakni apa yang dimaksud langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank. Diharapkan diperjelaskannya pengertian diatas dan diperberatnya ancaman pidana dalam UU Perbankan, maka dekriminalisasi tindak pidana korupsi di perbankan akan menciptakan kepastian hukum bagi bank BUMN/BUMD tanpa mengurangi ancaman pidana bagi yang melanggar prinsip kehati-hatian pengelolaan bank. Semoga perbankan di Indonesia lebih sehat, tanpa kecuali!!!
Selengkapnya...
Kamis, Juli 03, 2008
Menanti KPK mengusut Inpres R&D
Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 4 Februari 2004.
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Akhirnya, setelah melalui penantian yang mendebarkan, anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan medio Desember tahun lalu. KPK mengemban tugas berat.
Langkah-langkah besar untuk memberantas korupsi, harus berani diambilnya. Termasuk segala kebijakan Presiden yang diduga dapat merugikan keuangan negara.
Tak terkecuali Instruksi Presiden No.8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelsaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (Inpres R&D).
Tap MPR No.X/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR 2001, pada lampirannya, Sub Bidang Kepercayaan Dunia Usaha menugaskan presiden untuk konsisten melaksanakan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU No.25/ 2000 tentang Propenas BAB IV butir C No.2,3,4, perlu diambil tindakan tegas.
Sebabnya, pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menandatangani Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan beberapa debitor selaku pemegang saham bank yang telah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dalam 3 macam, yakni MSAA, MRNIA, dan Akta Pengakuan Utang.
PKPS memuat klausul release and discharge (R&D) yang menetapkan pemerintah akan memberikan pelepasan dan pembebasan dari tuntutan perdata dan pidana kepada debitur yang telah melunasi kewajibannya. Karenanya, presiden pada 30 Desember 2002 menerbitkan Inpres R&D. Artinya dari kacamata ini, Inpres R&D merupakan kebijakan yang diambil presiden dalam menafsirkan amanat TAP MPR.
Dapat Dipidana?
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang kepresidenan yang diamanatkan Konstitusi atau Tap MPR, presiden dapat menerbitkan keputusan atau kebijakan. Dari segi hukum, bentuk produk hukumnya (atas keputusan atau kebijakan) tersebut terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking).
Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan presiden, tata cara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut adalah tidak sama.
Regelling adalah peraturan yang ditetapkan presiden yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal (sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu).
Contohnya, PP, Keppres, dan Inpres (yang berimplikasi berlaku umum).
Beschikking adalah keputusan atau kebijakan presiden (Pejabat Tata Usaha Negara -TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final sebagaimana dimaksud UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya memberikan grasi, amnesti, atau mengangkat menteri.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, mungkin saja presiden menerbitkan suatu kebijakan yang salah (salah menggunakan wewenang, bukan menyalahgunakan wewenang).
Karenanya, baik regelling maupun bechikking yang telah diterbitkannya dapat dilakukan koreksi yang berupa pembatalan/pencabutan oleh presiden atau bahkan dibatalkan oleh/atas perintah pengadilan.
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU (pasal 24A Perubahan Ketiga UUD 1945).
UU tentang MA menjelaskan lebih lanjut bahwa MA berwenang menguji secara materil hanya terhadap UU dan menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Produk hukum regelling (dalam hal ini Inpres R&D), jika masyarakat (termasuk KPK) menilainya tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka upaya hukum dapat dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA) berupa judicial review.
Putusan MA dapat berupa memperkuat Inpres R&D atau membatalkannya. Presiden tidak bisa dihukum baik secara pidana maupun perdata atas tindakannya menerbitkan Inpres R&D yang dinilai oleh MA tidak tepat karena bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Sebab, wahana untuk mengadili kebijakannya adalah judicial review melalui MA.
Koreksi atas Inpres R&D dalam perspektif Hukum Adminsitrasi Negara (HAN) dapat dilakukan untuk diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan terdapat kesalahan atas Inpres R&D, tidak membawa konsekuensi hukuman pidana penjara bagi presiden.
Artinya, koreksi atas kesalahan presiden dalam menggunakan wewenangnya (bukan menyalahgunakan wewenang) tidak dikenakan ancaman pidana.
Karenanya, meski Inpres R&D dinyatakan salah dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, dalam perspektif HAN presiden tidak bisa dihukum pidana penjara. Ini berbeda jika KPK yang mengajukannnya dalam perkara dugaan korupsi/pencucian uang.
Unsur Korupsi
Jerat HAN tidak cukup untuk dapat menghukum pidana penjara atas Inpres R&D. Dengan catatan, diterbitkannya Inpres R&D tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 (UUPTK) dan/ atau UU No.12/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU).
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN) berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya. Yakni, salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain.
Tidak tertutup kemungkinan sebelum, saat dan/atau sesudah diterbitkannya Inpres R&D telah terjadi 'tawar-menawar' antara penerbit dengan para konglemerat (debitur) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam proses penyidikan, seyogyanya KPK mendayagunakan UUTPPU yang dapat melacak berbagai transaksi yang mencurigakan di balik keluarnya Inpres R&D, saat dan/atau setelah pemberian R&D kelak.
Sebut saja, pasal 12 huruf a juncto huruf b UUPTK mengancam pidana bagi penyelenggara negara (termasuk presiden) yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan kepada untuk menggerakkan dan/atau sebagai akibat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Untuk membuktikannya, tidak semudah pada penyidikan tindak pidana konvensional. KPK harus memeriksa aliran dana dari para debitur dan kelompok usahanya (termasuk orang-orang yang terkait dengannya baik langsung atau pun tidak langusung) terhadap presiden, keluarga presiden, partai yang dipimpin presiden, dan pihak-pihak yang masih ada kaitan baik secara langsung atau pun tidak langsung. Tentu saja harus menggunakan juga dasar hukum UUTPPU.
Mungkin terdapat transaksi yang mencurigakan dan/atau terjadi aliran dana dari pihak yang diuntungkan karena Inpres R&D tersebut. Baik sebelum, ketika, dan/atau setelah Inpres R&D diterbitkan dan/atau setelah R&D diberikan oleh pihak yang menerima Inpres tersebut.
Jika demikian, dapatlah dijadikan indikasi awal. Bentuknya bisa saja tidak konvensional yang berupa aliran dana pada penerbit Inpres R&D dan pelaksananya (di antaranya Ketua BPPN) atau pemberi R&D. Bisa jadi sumbangan pada partai atau transaksi fiktif dan/atau tidak laziman. Juga mungkin pembelian atau penjualan yang jauh di bawah/di atas harga wajar. Tidak mudah mencari fakta hukum yang demikian. Pengusutan ini sangat bergantung sekali dari partisipasi laporan masyarakat dan institusi yang terkait lainnya. Namun, jika KPK mempunyai integritas yang memadai, tentu berbagai kelompok masyarakat sudi memberikan dukungan baik berupa data maupun dukungan moral.
Kita menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Diperlukan shock therapy atau deterrent effect yang berimplikasi hukum bagi pembuat kebijakan yang dianggap tak wajar.
Yang jelas, jangan sampai menghalangi terciptanya clean government. Terkadang, hukuman bukan tujuan dari hukum itu sendiri. Tapi preseden akan substansi yang disangkakan/didakwakan akan membuat policy maker berhati-hati dalam mengambil keputusan di masa mendatang. Ketika itu sudah tercapai, sebagian besar tujuan (subtantif) hukum telah terpenuhi. Selamat bekerja KPK!
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Akhirnya, setelah melalui penantian yang mendebarkan, anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan medio Desember tahun lalu. KPK mengemban tugas berat.
Langkah-langkah besar untuk memberantas korupsi, harus berani diambilnya. Termasuk segala kebijakan Presiden yang diduga dapat merugikan keuangan negara.
Tak terkecuali Instruksi Presiden No.8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelsaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (Inpres R&D).
Tap MPR No.X/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR 2001, pada lampirannya, Sub Bidang Kepercayaan Dunia Usaha menugaskan presiden untuk konsisten melaksanakan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU No.25/ 2000 tentang Propenas BAB IV butir C No.2,3,4, perlu diambil tindakan tegas.
Sebabnya, pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menandatangani Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan beberapa debitor selaku pemegang saham bank yang telah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dalam 3 macam, yakni MSAA, MRNIA, dan Akta Pengakuan Utang.
PKPS memuat klausul release and discharge (R&D) yang menetapkan pemerintah akan memberikan pelepasan dan pembebasan dari tuntutan perdata dan pidana kepada debitur yang telah melunasi kewajibannya. Karenanya, presiden pada 30 Desember 2002 menerbitkan Inpres R&D. Artinya dari kacamata ini, Inpres R&D merupakan kebijakan yang diambil presiden dalam menafsirkan amanat TAP MPR.
Dapat Dipidana?
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang kepresidenan yang diamanatkan Konstitusi atau Tap MPR, presiden dapat menerbitkan keputusan atau kebijakan. Dari segi hukum, bentuk produk hukumnya (atas keputusan atau kebijakan) tersebut terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking).
Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan presiden, tata cara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut adalah tidak sama.
Regelling adalah peraturan yang ditetapkan presiden yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal (sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu).
Contohnya, PP, Keppres, dan Inpres (yang berimplikasi berlaku umum).
Beschikking adalah keputusan atau kebijakan presiden (Pejabat Tata Usaha Negara -TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final sebagaimana dimaksud UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya memberikan grasi, amnesti, atau mengangkat menteri.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, mungkin saja presiden menerbitkan suatu kebijakan yang salah (salah menggunakan wewenang, bukan menyalahgunakan wewenang).
Karenanya, baik regelling maupun bechikking yang telah diterbitkannya dapat dilakukan koreksi yang berupa pembatalan/pencabutan oleh presiden atau bahkan dibatalkan oleh/atas perintah pengadilan.
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU (pasal 24A Perubahan Ketiga UUD 1945).
UU tentang MA menjelaskan lebih lanjut bahwa MA berwenang menguji secara materil hanya terhadap UU dan menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Produk hukum regelling (dalam hal ini Inpres R&D), jika masyarakat (termasuk KPK) menilainya tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka upaya hukum dapat dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA) berupa judicial review.
Putusan MA dapat berupa memperkuat Inpres R&D atau membatalkannya. Presiden tidak bisa dihukum baik secara pidana maupun perdata atas tindakannya menerbitkan Inpres R&D yang dinilai oleh MA tidak tepat karena bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Sebab, wahana untuk mengadili kebijakannya adalah judicial review melalui MA.
Koreksi atas Inpres R&D dalam perspektif Hukum Adminsitrasi Negara (HAN) dapat dilakukan untuk diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan terdapat kesalahan atas Inpres R&D, tidak membawa konsekuensi hukuman pidana penjara bagi presiden.
Artinya, koreksi atas kesalahan presiden dalam menggunakan wewenangnya (bukan menyalahgunakan wewenang) tidak dikenakan ancaman pidana.
Karenanya, meski Inpres R&D dinyatakan salah dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, dalam perspektif HAN presiden tidak bisa dihukum pidana penjara. Ini berbeda jika KPK yang mengajukannnya dalam perkara dugaan korupsi/pencucian uang.
Unsur Korupsi
Jerat HAN tidak cukup untuk dapat menghukum pidana penjara atas Inpres R&D. Dengan catatan, diterbitkannya Inpres R&D tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 (UUPTK) dan/ atau UU No.12/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU).
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN) berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya. Yakni, salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain.
Tidak tertutup kemungkinan sebelum, saat dan/atau sesudah diterbitkannya Inpres R&D telah terjadi 'tawar-menawar' antara penerbit dengan para konglemerat (debitur) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam proses penyidikan, seyogyanya KPK mendayagunakan UUTPPU yang dapat melacak berbagai transaksi yang mencurigakan di balik keluarnya Inpres R&D, saat dan/atau setelah pemberian R&D kelak.
Sebut saja, pasal 12 huruf a juncto huruf b UUPTK mengancam pidana bagi penyelenggara negara (termasuk presiden) yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan kepada untuk menggerakkan dan/atau sebagai akibat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Untuk membuktikannya, tidak semudah pada penyidikan tindak pidana konvensional. KPK harus memeriksa aliran dana dari para debitur dan kelompok usahanya (termasuk orang-orang yang terkait dengannya baik langsung atau pun tidak langusung) terhadap presiden, keluarga presiden, partai yang dipimpin presiden, dan pihak-pihak yang masih ada kaitan baik secara langsung atau pun tidak langsung. Tentu saja harus menggunakan juga dasar hukum UUTPPU.
Mungkin terdapat transaksi yang mencurigakan dan/atau terjadi aliran dana dari pihak yang diuntungkan karena Inpres R&D tersebut. Baik sebelum, ketika, dan/atau setelah Inpres R&D diterbitkan dan/atau setelah R&D diberikan oleh pihak yang menerima Inpres tersebut.
Jika demikian, dapatlah dijadikan indikasi awal. Bentuknya bisa saja tidak konvensional yang berupa aliran dana pada penerbit Inpres R&D dan pelaksananya (di antaranya Ketua BPPN) atau pemberi R&D. Bisa jadi sumbangan pada partai atau transaksi fiktif dan/atau tidak laziman. Juga mungkin pembelian atau penjualan yang jauh di bawah/di atas harga wajar. Tidak mudah mencari fakta hukum yang demikian. Pengusutan ini sangat bergantung sekali dari partisipasi laporan masyarakat dan institusi yang terkait lainnya. Namun, jika KPK mempunyai integritas yang memadai, tentu berbagai kelompok masyarakat sudi memberikan dukungan baik berupa data maupun dukungan moral.
Kita menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Diperlukan shock therapy atau deterrent effect yang berimplikasi hukum bagi pembuat kebijakan yang dianggap tak wajar.
Yang jelas, jangan sampai menghalangi terciptanya clean government. Terkadang, hukuman bukan tujuan dari hukum itu sendiri. Tapi preseden akan substansi yang disangkakan/didakwakan akan membuat policy maker berhati-hati dalam mengambil keputusan di masa mendatang. Ketika itu sudah tercapai, sebagian besar tujuan (subtantif) hukum telah terpenuhi. Selamat bekerja KPK!
Rabu, Juni 04, 2008
MENIMBANG “HAK IMUNITAS” DEWAN GUBERNUR DAN PEJABAT BI
Tulisan ini pernah dipublikasikan majalah InfoBank edisi No.309/Desember 2004/Vo.XXVI.
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta
Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral, dengan undang-undang (UU) baru serta semangat dan sikap baru akan diarahkan pada tugas pokoknya. Yakni menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar Rupiah. BI akan menjaga independensi yang tidak bisa ditawar sehingga tidak satu pun pihak yang dapat mengintervensi kebijakan BI. Demikian pernyataan yang mencerminkan semangat reformasi telah disampaikan Gubernur BI Burhanudin Abdullah dalam suatu kesempatan.
Kini, laksana dilengkapi rompi anti peluru, Gubernur BI, Deputi Senior BI, Deputi Gubernur (Dewan Gubernur) dan pejabat BI memiliki “Hak Imunitas” (kebal dari tuntutan hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya) sebagaimana diatur pasal 45 UU No.23/1999 yang diubah dengan UU No.3/2004 tentang BI (UUBI).
Pasca diundangkannya UUBI No. 23/1999, BI nampak lebih berwibawa dan percaya diri dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Sebabnya, pertama, posisinya yang independen dan mendapat jaminan UUBI atas ketiadaan campur tangan pihak lain untuk mengobok-obok BI dengan ancaman pidana bagi yang menabraknya.
Kedua, perlindungan dari ancaman pidana (hak imunitas) atas keputusan atau kebijakan Dewan Gubernur dan/atau pejabat BI yang dilakukan dengan itikad baik.
Pengalaman UUBI Lama
Nampaknya, konstruksi hukum pasal 45 UUBI tersebut merupakan jawaban atas ketidaknyamanan Dewan Gubernur BI saat mengambil keputusan dalam posisi sulit. Syahril Sabirin, Gubernur BI dulu, pernah tersandung kasus cessie Bank Bali. Ia sempat menjadi terpidana, meski akhirnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dinyatakan tidak bersalah.
Beberapa mantan Direktur BI, yakni Heru Supraptomo, Paul Soetopo, dan Hendrobudiyanto pernah divonis bersalah pada awal Mei 2003 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN) atas penyalahgunaan wewenang dengan menyetujui pemberian fasilitas saldo debet (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia -BLBI).
Ketiganya dinilai terbukti menyalahgunakan wewenang karena tidak melaksanakan stop kliring yang berakibat merugikan keuangan negara (pada 29 Desember 2003 dalam persidangan terspisah ketiganya dilepaskan dari tuntutan hukum oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Kasusnya sekarang masih dalam tingkat Kasasi)
Nampak kekecewaan BI sebagaimana tersirat dalam pernyataan persnya ketika itu (Mei 2003) bahwa Dewan Gubernur dan segenap pegawai BI menyatakan keprihatinannya, sebagai tanggapan atas putusan PN yang memvonis bersalah ketiga mantan Direktur BI tersebut.
Padahal Dewan Gubernur BI (ketika itu) menganggap BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multi dimensi (untuk lebih jelas bahwa dapatkah kebijakan dipidana, baca: Sulistiono Kertawacana: Administrasi Korupsi BLBI: InfoBank Edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI : 58-59).
Perlu diketahui, vonis PN pada awal Mei 2003 tersebut ditetapkan berdasarkan UUBI yang lama (UU No.13/1968) yang belum memuat substansi ketentuan pasal 45 UUBI. Hal ini terjadi karena tempus delicti (waktu kejadian perkara) terjadi sebelum UUBI No.23/1999 berlaku dan diundangkan (17 Mei 1999).
Menimbang “Hak Imunitas”
Pasal 45 UUBI menyatakan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik.
“Hak imunitas” diberikan berkaitan dengan pelaksaanaan tugas dan wewenang mereka. BI mempunyai tiga tugas yang diemban Dewan Gubernur selaku pelaksananya yang ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.
Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara yang termasuk tapi tidak terbatas pada (i) operasi pasar terbuka; (ii) penetapan tingkat diskonto; (iii) penetapan cadangan wajib minimum; dan (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.
Beberapa pelaksanaan dari kewenangan tersebut, BI diberi wewenang mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Kedua, mengatur dan menjaga sistem pembayaran. BI berwenang melaksanakan dan memberikan persetujuan izin penyelenggaraan jasa sistem perbankan, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran menyampaikan laporan kegiatannya, menetapkan penggunaan alat pembayaran. Pelaksanaan atas kewenangan dimaksud ditetapkan dengan PBI.
Ketiga, mengatur dan mengawasi bank. BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin usaha bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan (LPSJK) yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Karenanya -untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya- BI akan menerbitkan keputusan atau kebijakan. Bentuk produk hukumnya terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking). Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan BI, tatacara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut tidak sama.
Regelling adalah keputusan BI yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal.. Contohnya, BI menerbitkan PBI atau BI menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Apabila masyarakat (tidak hanya terbatas pada kalangan perbankan) menilai tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka dapat melakukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945.
Putusan MA berupa memperkuat peraturan BI atau membatalkannya. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai oleh MA tidak tepat.
Beschikking adalah keputusan BI yang bersifat konkret, individual dan final. Contohnya memberikan sanksi terhadap bank, atau memberikan izin atau mencabut izin usaha suatu bank. Beschikking adalah Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN).
Upaya hukumnya bagi yang dirugikan dengan mengajukan gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN. Keputusan hakim dapat berupa mengabulkan gugatan (membatalkan penetapan BI yang telah) atau menolak gugatan (penetapan BI tetap berlaku).
Tidak Berimplikasi Secara Hukum Pidana
Pelaku tindak pidana dapat terhindar dari (ancaman) pidana jika terdapat alasan yang mengecualikannya (strafuitsluitingsgronden). Yakni alasan pemaaf, alasan pembenar, atau dekriminalisasi.
Alasan pemaaf, jika tindakannya masih termasuk kategori tindak pidana, tapi karena melakukannya dalam kondisi tertentu (schulduitsluitingsgronden), maka dimaafkan dan dilepaskan dari ancaman hukuman pidana (pasal 48 s/d 49 KUHP). Contonya membunuh perampok dalam rangka pembelaan diri.
Alasan pembenar, jika dilakukan atas perintah UU (rechtvaardingsgronden), tindakannya sendiri masih dianggap tindak pidana oleh UU (lihat pasal 50 KUHP). Contohnya, Polisi yang mengeksekusi terpidana mati.
Dekriminalisasi adalah suatu tindakan semula termasuk kriteria tindak pidana diubah oleh UU menjadi tindakan yang tidak diancam pidana. Misalkan pada saat dilakukan tindakan tersebut masih dalam kategori tindakan pidana, namun kemudian diubah menjadi bukan termasuk tindak pidana.
Pasal 1 ayat 2 KUHP, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Penjelasan pasal 45 UUBI menyatakan pengambilan keputusan dianggap telah memenuhi beritikad baik apabila dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan lain yang berindikasikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Jelas ini bukan alasan pembenar atau pun alasan pemaaf. Apalagi dekriminalisasi tindak pidana dalam KUHP atau UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kriteria itikad baik tidak cukup mengesampingkan perumusan pasal UU PTPK yang dirumuskan secara materiil. Sekedar contoh berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU PTPK dinyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara ….
“Perbuatan melawan hukum” dalam pasal tersebut adalah dalam arti formil maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peratuaran perundang-undangan , namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat , maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan demikian, seseorang dianggap telah melakukan korupsi karena telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Mekipun tentu saja pasti pelaku akan berkilah bukan bertujuan (secara sengaja) merugikan keuangan negara. Tapi, cukup mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi (lihat penjelasan pasal 2 , pasal 3 dan pasal 14 UU PTPK).
“Perlindungan hukum” dengan itikad baik dalam penjelasan 45 UUBI hanya berguna bagi jenis tindak pidana yang dirumuskan secara formil (unsur pidana terbit, jika tindak pidana tersebut sebagai tujuan/dengan niat/maksud atau yang dilakukan secara sengaja).
Namun, menjadi tidak berarti bagi tindak pidana yang dirumuskan secara materil (unsur pidana terbit, jika mengakibatkan sesuatu) sebagaimana perumusan dalam UU PTPK tersebut.
Selain itu juga secara pengkategorian ilmu hukum, BI dalam menjalankan tugas dan wewenangya termasuk dalam lingkup hukum tata usaha negara dan administrasi negara.
Forum pengadilan untuk mengkoreksi atas pengaturan adalah judicial review. Sedangkan koreksi atas Penetapan adalah PTUN bagi pihak yang merasa dirugikan atas penetapan atau keputusan BI. Bisa juga pejabat yang menerbitkannya sendiri yang merubah atau merevisinya secara sukarela.
Koreksi atas kesalahan produk keputusan atau kebijakan BI tidak ada peluang untuk dihukum secara pidana. Kecuali dibarengi tindakan lain yang masuk dalam lingkup pidana korupsi.
Yakni, mengandung salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain. Karenanya, kebijakan Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI yang terdapat unsur pidana (korupsi), tidak dapat dikesampingkan oleh pasal 45 UUBI.
Dengan demikian, pasal 45 UUBI yang memuat “hak imunitas” bagi Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang telah dilakukan dengan itikad baik, dari kacamata ilmu hukum, tidak berdampak secara hukum.
Sebab, bukan dekrimilasisasi, alasan pembenar, atau pun alasan pemaaf. Klausul pasal 45 UUBI hanya memberikan dampak psikologis bagi penerima ‘hak imunitas’. Apakah itu memang tujuannya? Di tangan hakimlah UU berbicara
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta
Bank Indonesia (BI) sebagai Bank Sentral, dengan undang-undang (UU) baru serta semangat dan sikap baru akan diarahkan pada tugas pokoknya. Yakni menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar Rupiah. BI akan menjaga independensi yang tidak bisa ditawar sehingga tidak satu pun pihak yang dapat mengintervensi kebijakan BI. Demikian pernyataan yang mencerminkan semangat reformasi telah disampaikan Gubernur BI Burhanudin Abdullah dalam suatu kesempatan.
Kini, laksana dilengkapi rompi anti peluru, Gubernur BI, Deputi Senior BI, Deputi Gubernur (Dewan Gubernur) dan pejabat BI memiliki “Hak Imunitas” (kebal dari tuntutan hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya) sebagaimana diatur pasal 45 UU No.23/1999 yang diubah dengan UU No.3/2004 tentang BI (UUBI).
Pasca diundangkannya UUBI No. 23/1999, BI nampak lebih berwibawa dan percaya diri dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Sebabnya, pertama, posisinya yang independen dan mendapat jaminan UUBI atas ketiadaan campur tangan pihak lain untuk mengobok-obok BI dengan ancaman pidana bagi yang menabraknya.
Kedua, perlindungan dari ancaman pidana (hak imunitas) atas keputusan atau kebijakan Dewan Gubernur dan/atau pejabat BI yang dilakukan dengan itikad baik.
Pengalaman UUBI Lama
Nampaknya, konstruksi hukum pasal 45 UUBI tersebut merupakan jawaban atas ketidaknyamanan Dewan Gubernur BI saat mengambil keputusan dalam posisi sulit. Syahril Sabirin, Gubernur BI dulu, pernah tersandung kasus cessie Bank Bali. Ia sempat menjadi terpidana, meski akhirnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dinyatakan tidak bersalah.
Beberapa mantan Direktur BI, yakni Heru Supraptomo, Paul Soetopo, dan Hendrobudiyanto pernah divonis bersalah pada awal Mei 2003 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN) atas penyalahgunaan wewenang dengan menyetujui pemberian fasilitas saldo debet (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia -BLBI).
Ketiganya dinilai terbukti menyalahgunakan wewenang karena tidak melaksanakan stop kliring yang berakibat merugikan keuangan negara (pada 29 Desember 2003 dalam persidangan terspisah ketiganya dilepaskan dari tuntutan hukum oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Kasusnya sekarang masih dalam tingkat Kasasi)
Nampak kekecewaan BI sebagaimana tersirat dalam pernyataan persnya ketika itu (Mei 2003) bahwa Dewan Gubernur dan segenap pegawai BI menyatakan keprihatinannya, sebagai tanggapan atas putusan PN yang memvonis bersalah ketiga mantan Direktur BI tersebut.
Padahal Dewan Gubernur BI (ketika itu) menganggap BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multi dimensi (untuk lebih jelas bahwa dapatkah kebijakan dipidana, baca: Sulistiono Kertawacana: Administrasi Korupsi BLBI: InfoBank Edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI : 58-59).
Perlu diketahui, vonis PN pada awal Mei 2003 tersebut ditetapkan berdasarkan UUBI yang lama (UU No.13/1968) yang belum memuat substansi ketentuan pasal 45 UUBI. Hal ini terjadi karena tempus delicti (waktu kejadian perkara) terjadi sebelum UUBI No.23/1999 berlaku dan diundangkan (17 Mei 1999).
Menimbang “Hak Imunitas”
Pasal 45 UUBI menyatakan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat BI tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik.
“Hak imunitas” diberikan berkaitan dengan pelaksaanaan tugas dan wewenang mereka. BI mempunyai tiga tugas yang diemban Dewan Gubernur selaku pelaksananya yang ditetapkan dalam pasal 8 UUBI.
Pertama, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter. BI berwenang menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara yang termasuk tapi tidak terbatas pada (i) operasi pasar terbuka; (ii) penetapan tingkat diskonto; (iii) penetapan cadangan wajib minimum; dan (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.
Beberapa pelaksanaan dari kewenangan tersebut, BI diberi wewenang mengaturnya dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Kedua, mengatur dan menjaga sistem pembayaran. BI berwenang melaksanakan dan memberikan persetujuan izin penyelenggaraan jasa sistem perbankan, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran menyampaikan laporan kegiatannya, menetapkan penggunaan alat pembayaran. Pelaksanaan atas kewenangan dimaksud ditetapkan dengan PBI.
Ketiga, mengatur dan mengawasi bank. BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin usaha bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh Lembaga Pengawasan Sektor Jasa Keuangan (LPSJK) yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Karenanya -untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya- BI akan menerbitkan keputusan atau kebijakan. Bentuk produk hukumnya terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking). Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan BI, tatacara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut tidak sama.
Regelling adalah keputusan BI yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal.. Contohnya, BI menerbitkan PBI atau BI menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Apabila masyarakat (tidak hanya terbatas pada kalangan perbankan) menilai tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka dapat melakukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945.
Putusan MA berupa memperkuat peraturan BI atau membatalkannya. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai oleh MA tidak tepat.
Beschikking adalah keputusan BI yang bersifat konkret, individual dan final. Contohnya memberikan sanksi terhadap bank, atau memberikan izin atau mencabut izin usaha suatu bank. Beschikking adalah Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN).
Upaya hukumnya bagi yang dirugikan dengan mengajukan gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN. Keputusan hakim dapat berupa mengabulkan gugatan (membatalkan penetapan BI yang telah) atau menolak gugatan (penetapan BI tetap berlaku).
Tidak Berimplikasi Secara Hukum Pidana
Pelaku tindak pidana dapat terhindar dari (ancaman) pidana jika terdapat alasan yang mengecualikannya (strafuitsluitingsgronden). Yakni alasan pemaaf, alasan pembenar, atau dekriminalisasi.
Alasan pemaaf, jika tindakannya masih termasuk kategori tindak pidana, tapi karena melakukannya dalam kondisi tertentu (schulduitsluitingsgronden), maka dimaafkan dan dilepaskan dari ancaman hukuman pidana (pasal 48 s/d 49 KUHP). Contonya membunuh perampok dalam rangka pembelaan diri.
Alasan pembenar, jika dilakukan atas perintah UU (rechtvaardingsgronden), tindakannya sendiri masih dianggap tindak pidana oleh UU (lihat pasal 50 KUHP). Contohnya, Polisi yang mengeksekusi terpidana mati.
Dekriminalisasi adalah suatu tindakan semula termasuk kriteria tindak pidana diubah oleh UU menjadi tindakan yang tidak diancam pidana. Misalkan pada saat dilakukan tindakan tersebut masih dalam kategori tindakan pidana, namun kemudian diubah menjadi bukan termasuk tindak pidana.
Pasal 1 ayat 2 KUHP, jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Penjelasan pasal 45 UUBI menyatakan pengambilan keputusan dianggap telah memenuhi beritikad baik apabila dilakukan dengan maksud tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompoknya sendiri, dan/atau tindakan lain yang berindikasikan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Jelas ini bukan alasan pembenar atau pun alasan pemaaf. Apalagi dekriminalisasi tindak pidana dalam KUHP atau UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kriteria itikad baik tidak cukup mengesampingkan perumusan pasal UU PTPK yang dirumuskan secara materiil. Sekedar contoh berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU PTPK dinyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara ….
“Perbuatan melawan hukum” dalam pasal tersebut adalah dalam arti formil maupun materil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peratuaran perundang-undangan , namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat , maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dengan demikian, seseorang dianggap telah melakukan korupsi karena telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Mekipun tentu saja pasti pelaku akan berkilah bukan bertujuan (secara sengaja) merugikan keuangan negara. Tapi, cukup mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi (lihat penjelasan pasal 2 , pasal 3 dan pasal 14 UU PTPK).
“Perlindungan hukum” dengan itikad baik dalam penjelasan 45 UUBI hanya berguna bagi jenis tindak pidana yang dirumuskan secara formil (unsur pidana terbit, jika tindak pidana tersebut sebagai tujuan/dengan niat/maksud atau yang dilakukan secara sengaja).
Namun, menjadi tidak berarti bagi tindak pidana yang dirumuskan secara materil (unsur pidana terbit, jika mengakibatkan sesuatu) sebagaimana perumusan dalam UU PTPK tersebut.
Selain itu juga secara pengkategorian ilmu hukum, BI dalam menjalankan tugas dan wewenangya termasuk dalam lingkup hukum tata usaha negara dan administrasi negara.
Forum pengadilan untuk mengkoreksi atas pengaturan adalah judicial review. Sedangkan koreksi atas Penetapan adalah PTUN bagi pihak yang merasa dirugikan atas penetapan atau keputusan BI. Bisa juga pejabat yang menerbitkannya sendiri yang merubah atau merevisinya secara sukarela.
Koreksi atas kesalahan produk keputusan atau kebijakan BI tidak ada peluang untuk dihukum secara pidana. Kecuali dibarengi tindakan lain yang masuk dalam lingkup pidana korupsi.
Yakni, mengandung salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain. Karenanya, kebijakan Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI yang terdapat unsur pidana (korupsi), tidak dapat dikesampingkan oleh pasal 45 UUBI.
Dengan demikian, pasal 45 UUBI yang memuat “hak imunitas” bagi Dewan Gubernur dan/atau Pejabat BI dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang telah dilakukan dengan itikad baik, dari kacamata ilmu hukum, tidak berdampak secara hukum.
Sebab, bukan dekrimilasisasi, alasan pembenar, atau pun alasan pemaaf. Klausul pasal 45 UUBI hanya memberikan dampak psikologis bagi penerima ‘hak imunitas’. Apakah itu memang tujuannya? Di tangan hakimlah UU berbicara
Senin, Juni 02, 2008
Kesepakatan BLBI, Demi Tak Hilang Muka
Tulisan ini telah dipublikasikan majalah InfoBank edisi No.296 Desember 2003 Vol.XXV.
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah telah mencapai kesepakatan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp144,5 truliun, di awal Agustus 2003 setelah menjadi "perselisihan" selama bertahun-tahun diantara keduanya.
Sebagai penyelesaiannya, pemerintah menerbitkan obligasi negara berseri SRBI-01/MK/2003 pada tanggal 7 Agustus 2003 sebagai pengganti surat utang No.SU-001/MK/1998 (senilai Rp80 trliun) dan SU-003/MK/1999 (senilai Rp64,5 triliun) yang dulu pernah disetujui sebagai penyelesaian BLBI. Dengan diterbitkannya obligasi negara tersebut, maka kedua surat utang terdahulu dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Beberapa Kesepakatan Penting
Ada tiga hal menarik dalam kesepakatan tersebut untuk dibedah dalam perspektif hukum.
Satu, kebijakan BLBI adalah kebijakan pemerintah yang dirumuskan pemerintah dan BI dalam masa krisis, kemudian dilaksanakan BI dalam upaya menyelamatkan sistem moneter dan perbankan serta perekonomian secara keseluruhan.
Artinya, dari perspektif hukum pihak yang menerbitkan kebijakanlah yang menanggung beban BLBI, sebab BI diakui pemerintah sebagai pihak yang "hanya" ikut merumuskan kebijakan (bersama pemerintah) dan pelaksana (penerima kuasa) BLBI, bukan pihak yang menanggung/memerintahkan BLBI.
Sebagai konsekuensi dari pemerintah telah sepakat/mengakui BLBI sebagai kebijakannya, maka pemerintah juga yang menanggungnya. Meski ditilik dari namanya sendiri telah melibatkan BI, yaitu BLBI yang lebih cenderung sebagai kebijakan BI.
Ketentuan peralihan pasal 73 UU No.23/1999 tentang BI (UUBI) ditetapkan bahwa segala aktiva dan pasiva BI menurut UU No.13/1968 tentang Bank Sentral (UUBS) beralih menjadi aktiva dan pasiva BI menurut UUBI.
Menurut pasal 32 UUBS, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (dikenal dengan lender of the last resort) untuk membantu bank yang sedang mengalami likuiditas keuangan dalam keadaan darurat.
Namun, harap diperhatikan bahwa posisi BI berdasarkan UUBS ini tidak independen. Ketika itu, BI adalah Lembaga Negara yang bertugas membantu presiden dalam melaksanakan kebijakan moneter, karenanya BI menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dua, rentang rasio modal BI (terhadap kewajiban moneternya) yang disepakati dalam penyelesaian BLBI melalui penerbitan obligasi negara seri SRBI-MK01/MK/2003 adalah 3% sampai 10%. Artinya, jika rasio modal BI kurang dari 3%, pemerintah wajib menyetor charge (suntikan dana) kepada BI sampai rasio modal BI mencapai 3%. Sebaliknya, jika rasio modal BI melampaui 10% dari kewajiban moneternya, BI akan menyetorkan kelebihan modalnya kepada pemerintah untuk mengurangi outstanding (nilai) obligasi negara seri SRBI-001/MK/2003 tersebut.
Kesepakatan item dua tersebut tidak konsisten dengan kesepakatan BLBI dalam item satu. Sebab, BI masih dibebani kewajiban untuk menyetorkan kelebihan modalnya berdasarkan kesepakatan tersebut. Padahal, dalam item satu kesepakatan BLBI sudah ditetapkan bahwa BI hanya sebagai pihak yang ikut merumuskan (bersama pemerintah) dan pelaksana, bukan pihak yang menerbitkan kebijakan BLBI itu sendiri. Pemerintah sebagai pihak yang telah menerbitkan kebijakan BLBI adalah pihak nyang bertanggung jawab 100% atasnya.
Hal ini berbeda jika BI juga telah disepakati sebagai pihak (bersama-sama pemerintah) yang turut serta sebagai penerbit kebijakan, misalkan sebagai keputusan bersama antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan RI.
Sebab, kabarnya keputusan BLBI ini ditetapkan melalui mekanisme rapat Dewan Moneter (ketika posisi BI belum independen). Anggota Dewan Moneter terdiri dari 3 orang yaitu menteri-menteri yang membidangi keuangan dan perekonomian (Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri - Menko Ekuin) dan Gubernur BI. Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan ini bertugas memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan pemerintah.
Berhubung BI hanya dianggap sebagai pihak yang ikut merumuskan saja, maka tidak sebagai pihak yang layak ditarik bertanggung jawab atas kebijakannya itu sendiri. Hal ini berbeda jika kebijakan BLBI adalah merupakan kebijakan dari Dewan Moneter yang melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk misalnya Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai dasar diterbitkannya kebijakan BLBI.
Itu pun seandainya dimungkinkan oleh UUBS bahwa BI dalam hubungannya dengan pemerintah berwenang untuk mengeluarkan SKB yang akibatnya membebankan BI secara finansial. Padahal UUBS mengatur hubungan keuangan BI dengan pemerintah adalah sebagai pemegang kas pemerintah, menyelenggarakan pemindahan uang untuk pemerintah, dan membantu pemerintah dalam penempatan surat utang negara.
Sesungguhnya, penataan modal BI telah diatur UUBI. Pemerintah atau Dewan Gubernur tidak boleh menyimpangi UUBI tersebut berdasarkan perjanjian/kesepakatan. Benar bahwa. BI dalam kapasitasnya sebagai badan hukum berwenang membuat perjanjian dengan pihak lain, baik dalam lingkup hukum internasional/publik yakni perjanjian BI dengan dengan bank sentral negara lain, organisasi, dan lembaga internasional maupun dalam hubungan hukum privat.
Sampai di sini, terkesan bahwa kesepakatan BLBI tersebut tidak bermasalah. Tapi, tunggu dulu. UUBI tidak memberikan kewenangan Gubernur BI (mewakili BI) melakukan kesepakatan yang bersifat sementara (karena hanya mengenai penyelesaian BLBI) dalam hal mengatur mekanisme penataan modal BI.
Sebab, UUBI mendelegasikan kepada BI untuk mengatur tata cara penambahan modal dari cadangan umum atau sumber lainnya ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI), yang bersifat independen (tidak tergantung pada kesepakatan pihak lain). Produk hukumnya berupa PBI, bukan perjanjian/kesepakatan dengan pemerintah, yang bersifat sementara yakni 30 tahun (jangka waktu obligasi negara SRBI No.01/MK/2003).
Boleh saja BI mengadakan kesepakatan dengan pihak lain. Tapi bukan dalam hubungan hukum yang dibatasi UUBI khususnya ketentuan yang bersifat memaksa (mandatoir) dan tidak boleh disimpangi.
Modal BI adalah termasuk dalam kategori ketentuan UUBI yang mandatoir, yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 62. Modal BI ditetapkan minimal Rp2 triliun yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan merupakan penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut UUBS sebelum UUBI diberlakukan. Modal tersebut harus ditambah hingga mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter yang dananya berasal dari cadangan umum dan sumber lain.
Cadangan umum adalah dana yang berasal dari sebagian surplus BI yang dapat digunakan untuk menghadapi resiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan tugas dan wewenang BI. Sedangkan sumber lain dapat berupa hasil revaluasi aset dan/atau setoran modal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kewajiban moneter adalah kewajiban BI kepada masyarakat, bank, dan pemerintah yang terdiri atas uang kartal yang diedarkan; saldo kredit rekjening milik bank, milik pemerintah, dan milik pihak lain seperti simpanan pegawai yang tercatat di BI; serta surat utang yang diterbitkan oleh BI.
Pasal 62 UUBI mengatur bahwa surplus hasil kegiatan BI akan dibagi (i) 30% untuk cadangan tujuan (digunakan untuk penggantian dan/atau pembaruan harta tetap dan perlengkapan yang diperlukan, pengembangan sumber daya manusia dan organisasi dalam melaksanakan tugas dan wewenang BI serta untuk penyertaan modal pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas BI dan dengan persetujuan DPR) dan (ii) sisa dipupuk sebagai cadangan umum sehingga jumlah modal dan cadangan umum mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter.
Selanjutnya, sisa surplus setelah dikurangi pembagian tersebut, diserahkan kepada pemerintah (berdasarkan perintah UUBI, bukan karena kesepakatan BI dengan pemerintah). Berkaitan dengan hal tersebut, kesepakatan BLBI yang mewajibkan BI untuk melakukan hal ini adalah sia-sia. Sebab, tanpa kesepakatan dengan pemerintah pun BI wajib menjalankannya atas perintah UUBI.
Sebaliknya, apabila modal BI menjadi kurang dari Rp2 triliun, pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang pelaksanaanya dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR. Ini berbeda dengan ketentuan yang disepakati antara pemerintah dengan BI mengenai penyel;esaian BLBI, yakni kewajiban pemerintah untuk menambah modal (menyetor charge- suntikan dana) BI ketika rasio modal BI mencapai 3%.
Kewajiban pemerintah itu tidak digantungkan pada jumlah modal BI yang kurang dari Rp2 triliun. Tapi, pada rasio modal BI yang minimal harus mencapai 3%. Padahal, bisa jadi modal BI lebih dari Rp2 triliun, tapi kurang dari rasio modal BI terhadap kewajiban moneternya sebesar 3%.
Kewajiban pemerintah dalam penyelesaian BLBI dalam kesepakatannya dengan BI adalah kewajiban yang berdasarkan perjanjian. Tapi kewajiban yang timbul karena perjanjian, tidak boleh bertentangan dengan UU, khususnya UUBI.
UUBI mengatur hubungan BI dengan pemerintah khususnya dalam kaitan jika pemerintah akan menerbitkan surat utang negara (SUN), yakni mewajibkan pemerintah terlebih dahulu berkonsultasi dengan BI. BI dapat membantu penerbitan SUN oleh pemerintah dengan bertindak seabagai agen untuk melaksanakan lelang SUN di pasar perdana (pasal 13 UU No.24/2002 tentang Surat Utang Negara).
Catatan penting lainnya, berdasarkan pasal 62 ayat (3) UUBI, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk menggunakan dana setoran BI yang berasal dari sisa surplus setelah dikurangi cadangan tujuan dan cadangan umum, akan digunakan untuk tujuan mengurangi outstanding obligasi negara sebagaimana tertuang dalam kesepakatan pemerintah dan BI.
Tiga, charge yang dibayar pemerintah akan dibukukan BI sebagai penerimaan, bukan sebagai sumber lain untuk menambah modal. Padahal kewajiban pemerintah yang diwajibkan UUBI adalah justru untuk menambah modal BI.
Meski demikian, apakah BI bisa bebas membelanjakan penerimaan tersebut? Tentu saja tidak.. Sebab, meski bukan dibukukan sebagai modal, namun penggunaan dana yang ada dalam BI diatur secara ketat oleh UUBI, yakni apabila surplus, maka harus dialokasikan untuk cadangan tujuan dan cadangan umum sebagaimana dijelaskan dimuka tulisan ini. Jadi, BI tetap saja tidak bebas menggunakan penerimaan tersebut.
Pertimbangkan Dua UU
Keputusan BLBI diterbitkan sebagai jawaban untuk mengatasi krisis perbankan yang melanda Indonesia. Ketika itu, BI menjalankan tugasnya berdasarkan UUBS. Kemudian terjadi perselisihan antara pemerintah dan BI mengenai BLBI yang berlarut-larut, yaitu siapa yang bertanggung jawab atas pengucuran dana BLBI tersebut.
Akhirnya (beberapa kali?) kesepakatan tercapai (terakhir) pada tanggal 1 Agustus 2003 ketika BI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan UUBI.
Menurut penulis, dengan adanya dua UU yang berbeda dalam rentang waktu tersebut, maka untuk menyelesaikan kemelut antara pemerintah dengan BI harus mempertimbangkan dua UU yang berlaku saat itu.
Satu, berkaitan dengan pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan BLBI, apakah pemerintah atau BI. Untuk hal ini harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat kebijakan BLBI diputuskan. Untuk BI, tentunya berdasarkan UUBS.
Dua, isi kesepakatan BLBI antara pemerintah dengan BI yang telah diputuskan pada Agustus lalu, harus berdasarkan UUBI yang menjadi landasan pemerintah dan BI dalam melakukan hubungan hukum paska BI menjadi lembaga independen. Sebab, kesepakatan tersebut terjadi ketika UUBI telah berlaku yakni sejak tanggal 17 Mei 1999.
Nampaknya, beberapa kesepakatan yang telah dicapai antara pemerintah dan BI, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah lebih kepada pertimbangan untuk menyelamatkan muka kedua pihak. Tujuannya, agar dalam pandangan masyarakat tidak ada pihak yang kehilangan muka.
Mengapa demikian? Sebab, kesepakatannya menampakkan sesuatu yang tidak konsisten dari kacamata hukum. Bagaimana tidak, pihak yang telah menyepakati sebagai kebijakannya (pemerintah), masih melibatkan pihak lain (BI) untuk turut menanggungnya secara semu. Dinilai semu, sebab seolah-olah mewajibkan BI untuk menyerahkan sisa surplus setelah dikurangi untuk alokasi dana cadangan dan dana tujuan serta rasio modal BI telah mencapai 10% dari kewajiban moneter tersebut berdasarkan kesepakatan.
Padahal, sebenarnya, kewajiban tersebut timbul karena UUBI, bukan disebabkan kesepakatannya dengan pemerintah.
Sesungguhnya, beberapa item kesepakatan BLBI yang telah dicapai antara pemerintah dan BI merupakan preseden buruk bagi penyelesaian sengketa antar lembaga negara. Maklum Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum yang berwenang mengadilinya belum disahkan UU-nya (UU Mahkamah Konstitusi disahkan beberapa hari sebelum tanggal 17 Agustus 2003, kesepakatan BLBI dicapai pada tanggal 1 Agustus 2003).
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah telah mencapai kesepakatan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp144,5 truliun, di awal Agustus 2003 setelah menjadi "perselisihan" selama bertahun-tahun diantara keduanya.
Sebagai penyelesaiannya, pemerintah menerbitkan obligasi negara berseri SRBI-01/MK/2003 pada tanggal 7 Agustus 2003 sebagai pengganti surat utang No.SU-001/MK/1998 (senilai Rp80 trliun) dan SU-003/MK/1999 (senilai Rp64,5 triliun) yang dulu pernah disetujui sebagai penyelesaian BLBI. Dengan diterbitkannya obligasi negara tersebut, maka kedua surat utang terdahulu dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Beberapa Kesepakatan Penting
Ada tiga hal menarik dalam kesepakatan tersebut untuk dibedah dalam perspektif hukum.
Satu, kebijakan BLBI adalah kebijakan pemerintah yang dirumuskan pemerintah dan BI dalam masa krisis, kemudian dilaksanakan BI dalam upaya menyelamatkan sistem moneter dan perbankan serta perekonomian secara keseluruhan.
Artinya, dari perspektif hukum pihak yang menerbitkan kebijakanlah yang menanggung beban BLBI, sebab BI diakui pemerintah sebagai pihak yang "hanya" ikut merumuskan kebijakan (bersama pemerintah) dan pelaksana (penerima kuasa) BLBI, bukan pihak yang menanggung/memerintahkan BLBI.
Sebagai konsekuensi dari pemerintah telah sepakat/mengakui BLBI sebagai kebijakannya, maka pemerintah juga yang menanggungnya. Meski ditilik dari namanya sendiri telah melibatkan BI, yaitu BLBI yang lebih cenderung sebagai kebijakan BI.
Ketentuan peralihan pasal 73 UU No.23/1999 tentang BI (UUBI) ditetapkan bahwa segala aktiva dan pasiva BI menurut UU No.13/1968 tentang Bank Sentral (UUBS) beralih menjadi aktiva dan pasiva BI menurut UUBI.
Menurut pasal 32 UUBS, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (dikenal dengan lender of the last resort) untuk membantu bank yang sedang mengalami likuiditas keuangan dalam keadaan darurat.
Namun, harap diperhatikan bahwa posisi BI berdasarkan UUBS ini tidak independen. Ketika itu, BI adalah Lembaga Negara yang bertugas membantu presiden dalam melaksanakan kebijakan moneter, karenanya BI menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dua, rentang rasio modal BI (terhadap kewajiban moneternya) yang disepakati dalam penyelesaian BLBI melalui penerbitan obligasi negara seri SRBI-MK01/MK/2003 adalah 3% sampai 10%. Artinya, jika rasio modal BI kurang dari 3%, pemerintah wajib menyetor charge (suntikan dana) kepada BI sampai rasio modal BI mencapai 3%. Sebaliknya, jika rasio modal BI melampaui 10% dari kewajiban moneternya, BI akan menyetorkan kelebihan modalnya kepada pemerintah untuk mengurangi outstanding (nilai) obligasi negara seri SRBI-001/MK/2003 tersebut.
Kesepakatan item dua tersebut tidak konsisten dengan kesepakatan BLBI dalam item satu. Sebab, BI masih dibebani kewajiban untuk menyetorkan kelebihan modalnya berdasarkan kesepakatan tersebut. Padahal, dalam item satu kesepakatan BLBI sudah ditetapkan bahwa BI hanya sebagai pihak yang ikut merumuskan (bersama pemerintah) dan pelaksana, bukan pihak yang menerbitkan kebijakan BLBI itu sendiri. Pemerintah sebagai pihak yang telah menerbitkan kebijakan BLBI adalah pihak nyang bertanggung jawab 100% atasnya.
Hal ini berbeda jika BI juga telah disepakati sebagai pihak (bersama-sama pemerintah) yang turut serta sebagai penerbit kebijakan, misalkan sebagai keputusan bersama antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan RI.
Sebab, kabarnya keputusan BLBI ini ditetapkan melalui mekanisme rapat Dewan Moneter (ketika posisi BI belum independen). Anggota Dewan Moneter terdiri dari 3 orang yaitu menteri-menteri yang membidangi keuangan dan perekonomian (Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri - Menko Ekuin) dan Gubernur BI. Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan ini bertugas memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan pemerintah.
Berhubung BI hanya dianggap sebagai pihak yang ikut merumuskan saja, maka tidak sebagai pihak yang layak ditarik bertanggung jawab atas kebijakannya itu sendiri. Hal ini berbeda jika kebijakan BLBI adalah merupakan kebijakan dari Dewan Moneter yang melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk misalnya Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai dasar diterbitkannya kebijakan BLBI.
Itu pun seandainya dimungkinkan oleh UUBS bahwa BI dalam hubungannya dengan pemerintah berwenang untuk mengeluarkan SKB yang akibatnya membebankan BI secara finansial. Padahal UUBS mengatur hubungan keuangan BI dengan pemerintah adalah sebagai pemegang kas pemerintah, menyelenggarakan pemindahan uang untuk pemerintah, dan membantu pemerintah dalam penempatan surat utang negara.
Sesungguhnya, penataan modal BI telah diatur UUBI. Pemerintah atau Dewan Gubernur tidak boleh menyimpangi UUBI tersebut berdasarkan perjanjian/kesepakatan. Benar bahwa. BI dalam kapasitasnya sebagai badan hukum berwenang membuat perjanjian dengan pihak lain, baik dalam lingkup hukum internasional/publik yakni perjanjian BI dengan dengan bank sentral negara lain, organisasi, dan lembaga internasional maupun dalam hubungan hukum privat.
Sampai di sini, terkesan bahwa kesepakatan BLBI tersebut tidak bermasalah. Tapi, tunggu dulu. UUBI tidak memberikan kewenangan Gubernur BI (mewakili BI) melakukan kesepakatan yang bersifat sementara (karena hanya mengenai penyelesaian BLBI) dalam hal mengatur mekanisme penataan modal BI.
Sebab, UUBI mendelegasikan kepada BI untuk mengatur tata cara penambahan modal dari cadangan umum atau sumber lainnya ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI), yang bersifat independen (tidak tergantung pada kesepakatan pihak lain). Produk hukumnya berupa PBI, bukan perjanjian/kesepakatan dengan pemerintah, yang bersifat sementara yakni 30 tahun (jangka waktu obligasi negara SRBI No.01/MK/2003).
Boleh saja BI mengadakan kesepakatan dengan pihak lain. Tapi bukan dalam hubungan hukum yang dibatasi UUBI khususnya ketentuan yang bersifat memaksa (mandatoir) dan tidak boleh disimpangi.
Modal BI adalah termasuk dalam kategori ketentuan UUBI yang mandatoir, yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 62. Modal BI ditetapkan minimal Rp2 triliun yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan merupakan penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut UUBS sebelum UUBI diberlakukan. Modal tersebut harus ditambah hingga mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter yang dananya berasal dari cadangan umum dan sumber lain.
Cadangan umum adalah dana yang berasal dari sebagian surplus BI yang dapat digunakan untuk menghadapi resiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan tugas dan wewenang BI. Sedangkan sumber lain dapat berupa hasil revaluasi aset dan/atau setoran modal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kewajiban moneter adalah kewajiban BI kepada masyarakat, bank, dan pemerintah yang terdiri atas uang kartal yang diedarkan; saldo kredit rekjening milik bank, milik pemerintah, dan milik pihak lain seperti simpanan pegawai yang tercatat di BI; serta surat utang yang diterbitkan oleh BI.
Pasal 62 UUBI mengatur bahwa surplus hasil kegiatan BI akan dibagi (i) 30% untuk cadangan tujuan (digunakan untuk penggantian dan/atau pembaruan harta tetap dan perlengkapan yang diperlukan, pengembangan sumber daya manusia dan organisasi dalam melaksanakan tugas dan wewenang BI serta untuk penyertaan modal pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas BI dan dengan persetujuan DPR) dan (ii) sisa dipupuk sebagai cadangan umum sehingga jumlah modal dan cadangan umum mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter.
Selanjutnya, sisa surplus setelah dikurangi pembagian tersebut, diserahkan kepada pemerintah (berdasarkan perintah UUBI, bukan karena kesepakatan BI dengan pemerintah). Berkaitan dengan hal tersebut, kesepakatan BLBI yang mewajibkan BI untuk melakukan hal ini adalah sia-sia. Sebab, tanpa kesepakatan dengan pemerintah pun BI wajib menjalankannya atas perintah UUBI.
Sebaliknya, apabila modal BI menjadi kurang dari Rp2 triliun, pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang pelaksanaanya dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR. Ini berbeda dengan ketentuan yang disepakati antara pemerintah dengan BI mengenai penyel;esaian BLBI, yakni kewajiban pemerintah untuk menambah modal (menyetor charge- suntikan dana) BI ketika rasio modal BI mencapai 3%.
Kewajiban pemerintah itu tidak digantungkan pada jumlah modal BI yang kurang dari Rp2 triliun. Tapi, pada rasio modal BI yang minimal harus mencapai 3%. Padahal, bisa jadi modal BI lebih dari Rp2 triliun, tapi kurang dari rasio modal BI terhadap kewajiban moneternya sebesar 3%.
Kewajiban pemerintah dalam penyelesaian BLBI dalam kesepakatannya dengan BI adalah kewajiban yang berdasarkan perjanjian. Tapi kewajiban yang timbul karena perjanjian, tidak boleh bertentangan dengan UU, khususnya UUBI.
UUBI mengatur hubungan BI dengan pemerintah khususnya dalam kaitan jika pemerintah akan menerbitkan surat utang negara (SUN), yakni mewajibkan pemerintah terlebih dahulu berkonsultasi dengan BI. BI dapat membantu penerbitan SUN oleh pemerintah dengan bertindak seabagai agen untuk melaksanakan lelang SUN di pasar perdana (pasal 13 UU No.24/2002 tentang Surat Utang Negara).
Catatan penting lainnya, berdasarkan pasal 62 ayat (3) UUBI, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk menggunakan dana setoran BI yang berasal dari sisa surplus setelah dikurangi cadangan tujuan dan cadangan umum, akan digunakan untuk tujuan mengurangi outstanding obligasi negara sebagaimana tertuang dalam kesepakatan pemerintah dan BI.
Tiga, charge yang dibayar pemerintah akan dibukukan BI sebagai penerimaan, bukan sebagai sumber lain untuk menambah modal. Padahal kewajiban pemerintah yang diwajibkan UUBI adalah justru untuk menambah modal BI.
Meski demikian, apakah BI bisa bebas membelanjakan penerimaan tersebut? Tentu saja tidak.. Sebab, meski bukan dibukukan sebagai modal, namun penggunaan dana yang ada dalam BI diatur secara ketat oleh UUBI, yakni apabila surplus, maka harus dialokasikan untuk cadangan tujuan dan cadangan umum sebagaimana dijelaskan dimuka tulisan ini. Jadi, BI tetap saja tidak bebas menggunakan penerimaan tersebut.
Pertimbangkan Dua UU
Keputusan BLBI diterbitkan sebagai jawaban untuk mengatasi krisis perbankan yang melanda Indonesia. Ketika itu, BI menjalankan tugasnya berdasarkan UUBS. Kemudian terjadi perselisihan antara pemerintah dan BI mengenai BLBI yang berlarut-larut, yaitu siapa yang bertanggung jawab atas pengucuran dana BLBI tersebut.
Akhirnya (beberapa kali?) kesepakatan tercapai (terakhir) pada tanggal 1 Agustus 2003 ketika BI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan UUBI.
Menurut penulis, dengan adanya dua UU yang berbeda dalam rentang waktu tersebut, maka untuk menyelesaikan kemelut antara pemerintah dengan BI harus mempertimbangkan dua UU yang berlaku saat itu.
Satu, berkaitan dengan pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan BLBI, apakah pemerintah atau BI. Untuk hal ini harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat kebijakan BLBI diputuskan. Untuk BI, tentunya berdasarkan UUBS.
Dua, isi kesepakatan BLBI antara pemerintah dengan BI yang telah diputuskan pada Agustus lalu, harus berdasarkan UUBI yang menjadi landasan pemerintah dan BI dalam melakukan hubungan hukum paska BI menjadi lembaga independen. Sebab, kesepakatan tersebut terjadi ketika UUBI telah berlaku yakni sejak tanggal 17 Mei 1999.
Nampaknya, beberapa kesepakatan yang telah dicapai antara pemerintah dan BI, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah lebih kepada pertimbangan untuk menyelamatkan muka kedua pihak. Tujuannya, agar dalam pandangan masyarakat tidak ada pihak yang kehilangan muka.
Mengapa demikian? Sebab, kesepakatannya menampakkan sesuatu yang tidak konsisten dari kacamata hukum. Bagaimana tidak, pihak yang telah menyepakati sebagai kebijakannya (pemerintah), masih melibatkan pihak lain (BI) untuk turut menanggungnya secara semu. Dinilai semu, sebab seolah-olah mewajibkan BI untuk menyerahkan sisa surplus setelah dikurangi untuk alokasi dana cadangan dan dana tujuan serta rasio modal BI telah mencapai 10% dari kewajiban moneter tersebut berdasarkan kesepakatan.
Padahal, sebenarnya, kewajiban tersebut timbul karena UUBI, bukan disebabkan kesepakatannya dengan pemerintah.
Sesungguhnya, beberapa item kesepakatan BLBI yang telah dicapai antara pemerintah dan BI merupakan preseden buruk bagi penyelesaian sengketa antar lembaga negara. Maklum Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum yang berwenang mengadilinya belum disahkan UU-nya (UU Mahkamah Konstitusi disahkan beberapa hari sebelum tanggal 17 Agustus 2003, kesepakatan BLBI dicapai pada tanggal 1 Agustus 2003).
Senin, Maret 26, 2007
Surat Keterangan Lunas Bukan Jaminan Bebas Tuntutan Pidana
Jakarta - Kedatangan 3 pengemplang BLBI ke Istana Presiden kembali mengungkit sebuah isu basi yang penuh kontroversi, yakni soal pemberian release and discharge (R&D). Sedianya R&D diberikan setelah para pengemplang BLBI mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL). Selengkapnya...
Pengampunan Tak Ada Ujung
Harus diakui, BPPN sejak awal sering membuat terobosan. Di satu sisi, hal ini dimaksudkan untuk â€menyelesaikan pekerjaannya.†Di lain sisi, hal itu mengundang kontroversi, misalnya tak kembalinya uang triliunan rupiah yang disebut oleh Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai â€biaya krisisâ€. Orang bertanya-tanya: sebegitu besarkah biaya krisis itu hingga mencapai ratusan triliun rupiah? Adakah hal tersebut bukan pertanda kegagalan badan yang dibentuk untuk menyelamatkan uang negara itu sendiri? Selengkapnya...
Langganan:
Postingan (Atom)