Tampilkan postingan dengan label Corporate. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Corporate. Tampilkan semua postingan

Senin, Juni 02, 2008

Kontroversi Emiten Rugi Bagi Dividen

Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 16 Maret 2004.

Oleh: Sulistiono Kertawacana & Saleh Basir
Advokat di Jakarta
Beberapa waktu lalu, sempat menjadi berita hangat dimedia massa berkaitan dengan pembagian dividen bagi emiten yang memiliki Saldo Laba Negatif. Pada saat yang berdekatan, terdapat dua peraturan yang terkait dengan hal tersebut yang diterbitkan dua otoritas pasar modal kita.
Satu, Surat Edaran PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), sebagai penyelenggara perdagangan efek utama di Indonesia. Dua, Surat Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) selaku badan yang berwenang melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan sehari-hari di pasar modal.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan penerapan prinsip-prinsip Tata Kelola Yang Baik (Good Corporate Governance), khususnya mengenai perlakuan yang adil terhadap semua pihak yang berkepentingan terhadap kinerja Emiten (perusahaan tercatat), pada tanggal 11 Agustus 2003 BEJ melalui Surat Edaran No. SE-007/BEJ08-2003 tentang Pembagian Dividen Perusahan Tercatat (SE BEJ) menetapkan bahwa Emiten dapat membagi dividen final jika berdasarkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menyetujui pembagian dividen dengan syarat (i) memperoleh laba bersih dalam tahun buku berjalan dan (ii) memiliki saldo laba positif.
Selang 10 hari kemudian (21 Agustus 2003), Bapepam melakukan “koreksi” atas SE BEJ melalui suratnya kepada Direksi emiten dan perusahan publik No. S-2076/PM/2003 tentang Pembagian Dividen (SE Bapepam) yang menyatakan bahwa bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang memilik Saldo Laba (Retainied Earnings) negatif dapat membagi dividen dengan syarat (i) laba bersih tahun berjalan positif, (ii) jumlah Tambahan Modal Disetor (additional paid in capital) lebih besar dari pada saldo laba (retained earnings) negatif tersebut, (iii) total ekuitas positif, (iv) jumlah dividen yang akan dibagikan lebih kecil dari laba bersih tahun berjalan , dan (v) jumlah dividen yang akan dibagikan tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Akhirnya, sebagai bentuk “kepatuhannya” kepada Bapepam selaku otoritas pembina, pengatur, dan pengawas kegiatan sehari-hari di pasar modal, BEJ telah mencabut SE BEJ tersebut (tentang Pembagian Dividen Perusahan Tercatat) dengan Surat Edaran No.SE-013/BEJ/10-20003. Sengketa diantara keduanya pun usai sudah. Namun, dari kacamata hukum dan akuntansi, pembagian deviden bagi perusahaan yang bersaldo laba negatif masih mennyisakan beberapa persoalan.
Dividen Vs Saldo Laba Negatif
Berkaitan dengan diperbolehkannya emiten bersaldo laba negatif untuk membagi dividen, seorang praktisi dan pakar hukum terkemuka pernah menyampaikan pendapatnya kepada sebuah media online di bidang hukum beberapa waktu lalu yang isinya menentang kebijakan tersebut (SE Bapepam-pen). “Ketentuan pasal 61 dan pasal 62 UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sudah secara jelas mengatur hal tersebut, “ jelasnya.
Menurutnya, selama PT masih mengalami kerugian (carried forward loss) yang belum ditutup melalui cadangan lain –antara lain retained earnings dan agio saham—maka dividen tidak bisa dibagikan. “Jadi, kalau ada menteri (Kementerian BUMN) memutuskan sebuah BUMN –yang berbentuk PT—memberikan dividen, sementara PT tersebut masih merugi, maka surat keputusan menteri itu batal demi hukum,’” tegasnya seolah mengomentari kemungkinan PT Bank Mandiri (Persero) dan PT Bank BNI (Persero) yang akan memberikan dividen ketika itu.
Padahal, secara kumulatif, dua BUMN tersebut kemungkinan bersaldo laba negatif. Benarkah demikian alpa-nya Bapepam sehingga berani menerbitkan surat yang jelas-jelas melanggar UU PT?
Jika dilihat secara sepintas, memang terlihat kedua aturan tersebut berbeda. Namun, mari kita lihat lebih mendalam, apakah memang benar kedua aturan tersebut saling bertentangan?
Menurut penulis, SE BEJ yang telah dicabut tersebut merupakan aturan yang ideal karena mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, logika bisnis dan akuntansi. Secara common sense, emiten dapat membagi laba (dividen) jika emiten membukukan laba bersih dan memiliki saldo laba positif. Hal ini sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) No.21 tentang Akuntansi Ekuitas paragraf 22 yang menyatakan bahwa kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen. Dengan demikian, pada saat itulah saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Jelas, menurut PSAK, dividen akan dibebankan (didebet) kepada saldo laba. Jika emiten memiliki saldo laba negatif, bagaimana mungkin akan membagi dividen? Karena jika membagi dividen, maka saldo laba akan semakin negatif.
Kedua, SE BEJ yang telah dicabut tersebut merujuk pada UUPT khususnya pasal 58 juncto pasal 61 dan 62. Menurut UUPT tersebut, sebelum dibagikan sebagai dividen, laba bersih harus disisihkan (dalam jumlah tertentu) terlebih dahulu untuk membentuk cadangan wajib sekurang-kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan. Artinya, apabila cadangan bersaldo negatif, berarti laba tidak boleh dibagikan sebagai dividen. Prinsip itulah yang wajar dilakukan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
Dalam dunia akuntansi, istilah cadangan memang kurang lazim digunakan. Namun, jika dilihat dari fungsinya, cadangan dapat dipadankan dengan bagian laba yang tidak dibagi dalam bentuk dividen atau biasa disebut sebagai saldo laba (PSAK No.1 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan).
Jadi, pada hakekatnya jika suatu perusahaan memiliki Saldo Laba bersaldo positif, berarti perusahaan memiliki akumulasi keuntungan dari periode-periode sebelumnya sampai dengan tanggal neraca yang belum dibagikan dalam bentuk dividen. Sebaliknya, jika perusahaan memiliki saldo laba negatif berarti perusahaan tersebut membukukan akumulasi kerugian. Dalam hal ini, saldo laba (cadangan) digunakan diantaranya untuk menutup kerugian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Disisi lain, Surat Bapepam tentang Pembagian Dividen menurut penulis lebih realistis karena mempertimbangkan faktor-faktor penyebab adanya saldo laba negatif.
Pertama, seperti kita ketahui, akibat krisis hutang sejak tahun 1998 khususnya hutang luar negeri yang melilit sebagian besar korporasi di Indonesia. Banyak emiten yang mengalami kerugian disebabkan selisih kurs yang dahsyat. Bukan karena kinerjanya yang buruk. Kerugian selisih kurs tersebut sangat membebani laporan keuangan emiten sampai dengan saat ini. Dari data emiten di BEJ, per Neraca 31 Desember 2002 sekitar 100 emiten mengalami posisi keuangan bersaldo laba negatif, sebagai akibat kerugian kurs tersebut.
Kedua, keinginan investor untuk mendapatkan dividen. Walaupun masih bersaldo laba negatif, banyak emiten sudah menunjukkan perbaikan kinerjanya. Hal ini dapat dilihat dari mulai dapat diperolehnya kembali laba bersih untuk tahun 2002.
Tentunya, setelah sekian tahun investor tidak memperoleh dividen, sekaranglah saatnya, investor dapat menerima kembali hak-haknya. Banyaknya emiten yang dapat membagi dividen tentunya akan dapat menarik kembali investor-investor jangka panjang untuk masuk kembali kepada Pasar Modal di Indonesia.
Ketiga, adanya 5 syarat tersebut diatas, yakni laba bersih tahun berjalan, saldo additional paid capital yang lebih besar dari saldo laba negatif, total ekuitas positif, jumlah dividen yang akan dibagikan lebih kecil dari laba bersih tahun berjalan , dan jumlah dividen yang akan dibagikan tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Sebagaimana lazimnya, perusahaan yang memperoleh laba dapat mengalokasikannya untuk (i) dana cadangan yang diwajibkan UUPT yakni hinga minimal mencapai 20% dari modal ditempatkan, (ii) pembagian tansiem (tantieme) untuk anggota direksi, anggota komisaris, bonus untuk karyawan, atau (iii) cadangan lain untuk ekspansi perusahaan.
Dengan demikian, menurut penulis, kelima syarat Surat Bapepam tersebut sebenarnya cukup efektif untuk menghindari adanya penurunan modal emiten akibat pembagian dividen. Hal ini karena dividen yang dibagikan tidak boleh lebih besar dari pada laba bersih tahun berjalan dan jumlah dividen tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Artinya, setelah emiten yang bersaldo laba negatif membagi dividen, tidak mengakibatkan ekuitas menjadi lebih kecil dari pada modal disetor plus cadangan yang diwajibkan. Apalagi ditambah syarat bahwa emiten tersebut juga harus memiliki saldo additional paid capital yang dapat menutup saldo laba negatif.
Namun, disisi lain menurut penulis SE Bapepam punya potensi untuk bertentangan dengan pasal 61 dan 62 UU PT. UUPT jelas menngatur bahwa sebelum dibagikan dalam bentuk dividen, suatu PT harus menyisihkan sebagian labanya sebagai cadangan hingga sekurang-kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan.
Selain itu juga, berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi manusia No.M-01.HT.01.01 tahun 2001 tentang Tatacara Pengajuan Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT yang memberikan standar model Anggaran Dasar PT pada bagian lampirannnya khususnya mengenai Kerugian Yang Tidak Tertutup diatur bahwa apabila perhitungan laba rugi pada suatu tahun buku menunjukkan kerugian yang tidak dapat ditutup dengan dana cadangan, maka kerugian itu akan tetap dicatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi dan dalam tahun buku selanjutnya PT dianggap tidak mendapat laba selama kerugian yang tercatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi itu belum sama sekali tertutup.
Persoalannya, apa yang dimaksud dengan cadangan menurut UUPT ini? Apakah cadangan menurut UUPT sama dengan Saldo Laba menurut akuntansi atau akun lain selain komponen modal disetor? Jika yang dimaksud dengan cadangan adalah Saldo Laba (akuntansi), jelas SE Bapepam kurang sesuai dengan UUPT, karena bagaimana mungkin bagi dividen, padahal cadangan (Saldo Laba) masih negatif?
Bagaimana halnya jika emiten bersaldo negatif hendak membagi dividen tapi tidak memenuhi kelima syarat tersebut? Dari sisi akuntansi, ada satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menjembatani masalah tersebut, yakni emiten melakukan quasi reorganisasi.
Quasi Reorganisasi dilakukan dengan salah satu cara atau gabungan dari penilaian kembali aset-asetnya dan penurunan nilai nominal saham. Keuntungan dari penilaian kembali aset-aset tersebut dan agio dari selisih nilai nominal dengan nilai pasar atas saham digunakan untuk menghilangkan saldo laba negatif tersebut.
Jika dengan cara tersebut, emiten tetap belum dapat menghilangkan saldo laba negatif atau total ekuitas negatif, maka perlu melakukan restrukturisasi modal, yakni penambahan modal disetor dengan injeksi dana segar dari investor.
Dengan demikian, SE BEJ yang telah dicabut sejatinya lebih konservatif dan berhati-hati karena memperhatikan kaidah-kaidah yang ditetapkan PSAK dari pada SE Bapepam. Meski berdasarkan pasal 11 UU No.5/1995 tentang Pasar Modal (UUPM) diatur bahwa peraturan yang wajib dibuat oleh Bursa Efek, termasuk perubahannya, mulai berlaku setelah mendapat persetujuan Bapepam.
Namun, berdasarkan pasal 58 UUPT, perhitungan tahunan (yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun buku tahun berjalan) dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (prinsip akuntansi yang yang telah diakui dan disetujui oleh kalangan akuntan Indonesia bersama instansi pemerintah yang berwenang - SAK).
Jika SAK tidak dapat dilaksanakan, maka harus diberikan penjelasan serta alasannya. Persoalannya, apakah SE Bapepam tersebut sudah cukup sebagai alasan untuk mengesampingkan PSAK yang telah disepakati oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai lembaga penerbit Standar Auntansi Keuangan (dalam bentuk PSAK) yang eksistensinya telah diakui pemerintah?
Dengan demikian, dilihat dari yuridis formal bahwa Bapepam selaku badan yang berhak menerbitkan peraturan bagi emiten di pasar modal memiliki otoritas untuk itu sebagaimana dijamin oleh pasal 11 UUPM sebagaimana disebutkan di atas
Namun, secara substansi, Surat Bapepam ini memiliki potensi untuk melanggar ketentuan UUPT, sebab tidak mengacu pada PSAK yang dirujuk oleh UUPT. Tantangannya, beranikah IAI mengajukan uji materil terhadap SE Bapepam tersebut yang dianggap menyalahi kaedah kebiasan (yang bisa dijadikan sumber hukum) PSAK.
Sebab, tentunya PSAK diterbitkan oleh IAI tentunya memiliki logika akuntansi dan ekonomi yang teruji. Sehingga, jika disimpangi akan mengandung resiko keuangan yang tidak diinginkan. IAI sebagai organisasi profesi akuntan yang independen, sudah selayaknya memberikan pendapatnya, ketika ada otoritas pemerintah yang “menganggu” tatanan akuntansi di Indonesia.
Semoga saja SE Bapepam tersebut bukan sebagai aturan yang dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan emiten tertentu saja, namun lebih sebagai kebijakan & tafsir akuntansi untuk mengatur dan melindungi kepentingan stakeholders pasar modal Indonesia.

Jumat, Maret 23, 2007

Keputusan RUPS Persero:Keputusan TUN atau Pemegang Saham?

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

[9/2/03]
Meskipun telah go public, komposisi pemegang saham PT Telkom Tbk. (Telkom) mayoritas dimiliki oleh negara Indonesia. Yakni, negara Republik Indonesia (51,19 %), pemodal nasional (5%), dan pemodal asing (43,81%) (sumber: website telkom.co.id per 30 November 2002). Ini berarti bahwa Telkom termasuk dalam kategori persero. Selengkapnya...

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang

Hukumonline.com 5 Juli 2003

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang
[5/7/03]

Reformasi memberi banyak perubahan tingkah-polah masyarakat Indonesia. Dari semula pendiam menjadi begitu agresif. Tak terkecuali, sikap direksi yang berani menunjukkan perlawanannya terhadap pemegang saham. Kini, refomasi kembali melahirkan perseteruan, yakni antara Direksi PT Semen Padang (PTSP) dengan PT Semen Gresik (PTSG) selaku pemegang saham PTSP. Pokok sengketanya masalah kekuasaan tampuk kepemimpinan dalam pengelolaan PTSP.

Perseteruan ini menarik dikaji dari perspektif hukum perseroan guna menambah khasanah perkembangan hukum di Indonesia. Sejauh mana kewenangan pemegang saham mengganti direksi/komisaris atas dasar alasan subyektif. Indonesia yang menganut civil law system, miskin akan referensi putusan pengadilan yang terdokumentasi dan tersosialisasi secara memadai yang berupa ulasan para pakar dan praktisi hukum. Hal ini (mungkin) terkait dengan mainstream yang berkembang bahwa bagi negara penganut civil law system, peranan pengadilan dalam perkembangan hukum sangat tidak menonjol, berbeda dengan common law system.



Sepanjang pengamatan penulis, sengketa direksi dan pemegang saham yang terekspose cukup besar di media massa, inilah yang kedua kali. Pertama, Direksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ketika itu terkesan tak sejalan dengan pemerintah (pemegang saham) untuk 'konsisten' melanjutkan kontrak kerjasama dengan investor asing yang ditandatangani di era Orde Baru. Konon, kontrak tersebut beraroma KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam hitungan bisnis, tidak menguntungkan PLN. Padahal, dari pemberitaan di media massa, terkesan Direksi PLN berniat untuk membatalkannya.



Sayang, Direksi PLN memilih mengundurkan diri ketimbang menunggu 'dipecat' dan melakukan perlawanan di pengadilan akibat perbedaan pandangan dengan pemegang saham (pemerintah) demi kepentingan PLN. Langkah hukum ini penting bagi dunia hukum guna menguji absoluditas kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap bertentangan dengan maksud dan tujuan perseroan.



Lakon perlawanan Direksi PTSP



Perseteruan bermula di awal tahun 2002, Menteri BUMN selaku wakil pemerintah (pemegang saham) di PTSG -- PTSG pemegang saham PTSP -- berniat mengganti anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Konon, alasannya kinerja keuangan PTSP yang kurang baik. Namun, alasan tersebut dibantah Direksi PTSP.



Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) adalah forum yang akan digelar untuk mengganti Direksi dan Komisaris PTSP oleh PTSG selaku pemegang saham, sebagaimana dimungkinkan oleh UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Direksi berwenang menyelenggarakan RUPS(LB) (pasal 66 UUPT). Namun, UUPT juga memberi pemegang saham hak inisiatif dengan mengajukan permintaan disertai alasan (agenda acara) kepada direksi atau komisaris untuk menyelenggarakan RUPS(LB).



Apabila lebih dari 30 hari terhitung sejak permintaan penyelenggaraan RUPS(LB), direksi atau komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS(LB), maka ketua Pengadilan Negeri tempat kedudukan Perseroan dapat memberikan ijin pemegang saham selaku pemohon melakukan sendiri pemangggilan RUPS(LB).



Berbekal hak yang diberikan UUPT, PTSG (pemegang saham) berniat mengganti Direksi dan Komisaris PTSP melalui RUPSLB dengan alasan kinierja keuangan PTSP memburuk. Karuan saja, keinginan ini ditentang Direksi dan Komisari PTSP. Alasannya, rencana RUPSLB tidak diberitahukan kepada Direksi PTSP sebagaimana yang diatur UUPT. Akibatnya, tak terhindarkan sengketa antara keduanya terjadi melalui pengadilan.



Pengadilan Negeri (PN) Padang melalui Penetapan Ketua PN telah menolak dua kali keinginan PTSG menyelenggarakan RUPSLB, sebagaimana dalam penetapannya tanggal 12 Juni 2002 dan 7 September 2002. Konon, alasan penolakannya adalah karena tidak sesuai prosedur UUPT, bukan substansi penggantian direksi dan Komisaris PTSP. PTSG seharusnya menyampaikan permintaan kepada Direksi atau Komisaris PTSP terlebih dahulu, sebelum mengajukan permohonan kepada ketua PN untuk menyelenggarakan RUPSLB.



Sangat mungkin, PTSG memiliki praduga bahwa Direksi dan Komisaris PTSP tidak akan rela menyelenggarakan RUPSLB dengan agenda untuk memberhentikan jabatan mereka. Terdapat conflict of interest, sebagaimana dimaksud pasal 84 ayat (1) huruf b UUPT. Sehingga, PTSG langsung mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan RUPSLB pada ketua PN setempat.



Meski pernah ditolak dua kali oleh ketua PN Padang, akhirnya pada 29 April 2003, MA mengeluarkan putusan kasasi yang mengijinkan PTSG menyelenggarakan RUPSLB untuk mengganti direksi dan komisaris PTSP. Pada 12 Mei, PTSG akhirnya menyelenggarakan RUPSLB dan berhasil mengganti Direksi dan Komisaris Semen Padang yang lama.



Masih ada kesempatan untuk melawan



Umumnya, Anggaran Dasar PT mengatur jabatan Direksi dan/atau Komisaris berakhir apabila (i) dinyatakan pailit atau ditaruh di bawah pengampuan berdasarkan suatu keputusan pengadilan, (ii) mengundurkan diri, (iii) tidak lagi memenuhi persyaratan peraturan perundangan yang berlaku, (iv) meninggal dunia; atau (v) diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS(LB).



Anggota direksi dan/atau komisaris dapat sewaktu-waktu diberhentikan RUPS(LB) dengan menyebutkan alasannya. Keputusan mengganti diambil setelah anggota direksi dan/atau komisaris tersebut diberi kesempatan membela diri dalam RUPS(LB). Apabila yang bersangkutan tidak hadir, maka RUPS(LB) dapat memberhentikannya (pasal 91 juncto pasal 101 UUPT).



UUPT mengatur sedemikian rupa kemungkinan pemberhentian anggota direksi dan/atau komisaris hanya melalui RUPS(LB). Sebab, terkait dengan nama baik dan reputasi anggota direksi dan/atau komisaris yang diberhentikan secara mendadak (di tengah masa jabatannya). Pemberhentian di tengah masa jabatan, identik dengan pemecatan. Oleh karena itu, pengambilan keputusannya dikecualikan dari keputusan RUPS(LB) yang dapat dilakukan melalui Circular Resolution.



Padahal, umumnya pasal 22 ayat 9 Anggaran Dasar Perseroan diatur bahwa keputusan yang dibuat melalui Circular Resolution yang telah disetujui dengan suara penuh oleh semua pemegang saham, akan memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai keputusan RUPS(LB) perseroan.



Circular ini dimungkinkan dalam rangka untuk mengakomodasi kepraktisan praktek dunia bisnis. Pasalnya, begitu sulit mempertemukan pemegang saham dalam waktu dan tempat secara bersamaan. Namun, penggantian anggota anggota direksi dan/atau komisaris, UUPT tidak mengakomodasinya. Begitu besar UUPT melindungi nama baik direksi dan komisaris perseroan, hingga pemberhentiannya harus melalui RUPS(LB) yang memebrikan kesempatan untuk membela diri.



Kembali ke perseteruan antara Direksi PTSP dan PTSG (pemegang saham PTSP). Semestinya, perlawanan Direksi PTSP tidak berhenti setelah keputusan RUPSLB digelar dan berhasil memutuskan penggantian anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Sejatinya, direksi dan komisaris lama PTSP mempunyai dua kesempatan untuk mempertahankan argumennya menolak alasan penggantian mereka oleh PTSG selaku pemegang saham yakni karena kinerja keuangan yang menurun.



Pertama, Direksi PTSP dapat melakukan pembelaan diri pada RUPSLB. Tentunya, disertai bukti dan alasan yang valid. UUPT memang memberikan wewenang kepada pemegang saham mengganti direksi dan komisaris yang ditunjuknya secara subjektif. Namun alasan kali ini, sesuatu yang dapat diukur secara akuntasi/ekonomi, yakni kinerja keuangan PTSP yang memburuk.



Mungkin, di RUPSLB ini Direksi dan Komisaris PTSP mengalami kesulitan untuk menolak alasan pemegang saham mayoritas (PTSG). Sebab, PTSG bertindak dalam dua kapasitas pada saat bersamaan yakni 'penggugat' dan sekaligus hakim. Selaku 'penggugat', menilai kinerja keuangan PTSP memburuk. Selaku hakim, PTSG berhak memutuskan apakah dapat menerima alasan/pembelaan Direksi dan Komisaris PTSP atau tidak. Padahal, PTSG sudah berpraduga yang kurang baik atas kinerja mereka, sehingga penilaiannya relatif tidak objektif.



Kedua, melalui pengadilan. Sejatinya, Direksi dan Komisaris lama PTSG lebih efektif melakukan perlawanan secara optimal atas keputusan RUPSLB justru lewat pengadilan. Di sinilah Direksi dan Komisaris PTSG lebih mendapatkan hakim yang relatif independen dan bebas dari subjektivitas, karena di luar pihak yang bersengketa.



Direksi dan Komisaris PTSP dapat memberikan bukti dan alasan bahwa tuduhan pemegang saham (PTSG) kepada pihaknya adalah tidak benar. Atau bisa juga beralasan bahwa kinerja keuangan PTSP menurun bukan akibat kesalahan Direksi dan Komisaris PTSP, tapi karena kebijakan pemerintah di sektor semen yang merugikan PTSP. Misalnya, PTSP dijadikan anak perusahaan PTSG. Akibatnya, mau tidak mau PTSP kurang bebas mengambil keputusan bisnis yang mungkin berseberangan atau bahkan merugikan PTSG selaku induk perusahaan.



Selanjutnya, pengadilan akan menilai keputusan PTSG mengganti Direksi dan Komisaris PTSP didasarkan alasan yang benar atau tidak. Tentu, putusan hakim ini akan bersejarah bagi dunia hukum perseroan di Indonesia dan bisa dijadikan landmark verdict atau preseden. Yakni, putusan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi putusan hakim di masa yang akan datang.



Hal ini penting untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat di Indonesia. Bisa saja, setelah putusan pengadilan yang menolak alasan penggantian anggota Direksi dan Komisaris PTSP, mereka mengundurkan diri. Yang jelas mereka keluar bukan karena 'dipecat', tapi lebih dengan cara yang terhormat, yakni dengan mengundurkan diri. Bukan karena kinerjanya tidak becus.



Kita dapat memetik pelajaran dari yurisprudensi di Belanda yang dikenal dengan Forum Bank Arrest, Arrest H.R. 21 Januari 1955 (N.J 1959 N.43). Adapun duduk perkaranya menyakut NV (semacam PT) Forum Bank dengan dua kelompok pemegang saham yang perbandingan kepemilikan sahamnya 4:1.



Dalam RUPS, kelompok mayoritas berhasil memaksakan untuk memerintahkan 300 saham yang mereka miliki dalam NV harus dibeli kembali oleh NV dengan harga @ pari. Dengan maksud agar dengan uang hasil penjualan tersebut, pemegang saham ini dapat bukan saja mengadakan perhitungan pelunasan atas hutangnya yang ada kepada NV. Namun, lebih daripada itu masih dapat menarik sejumlah uang dari NV yang bersangkutan.



Keputusan ini ditentang, utamanya kelompok pemegang saham minoritas, direksi dan komisaris NV, yang tidak bersedia mengadakan jual-beli sebagaimana dimaksud pemegang saham mayoritas. Adapun pertimbangan direksi, penjualan dengan harga @ pari tersebut tidak wajar jika dinilai dari harta NV tersebut. Jika dilaksanakan, akan membahayakan posisi NV tersebut (Forum Bank).



Akhirnya, diajukan gugatan ke Pengadilan untuk membatalkan keputusan RUPS tersebut dengan dua alasan. Pertama, pemegang saham mayoritas telah bertindak bertentangan dengan UU dan Anggaran Dasar NV serta kesusilaan, keadilan, kepantasan, dan/atau itikad baik. Kedua, sesuai degan hukum Belanda bahwa pengurusan NV dan pengurusan harta kekayaan NV adalah mutlak wewenang direksi.



Selanjutnya, pemegang saham mayoritas beralasan bahwa RUPS mempunyai kekuasaan tertinggi yang tidak dapat ditentang oleh direksi, meski direksi berpandangan lain. Pengadilan memutuskan menerima gugatan tersebut dan membatalkan keputusan RUPS atas dasar bahwa keputusan RUPS bertentangan dengan kepantasan dan itikad baik.



Semoga saja Direksi PTSP berkehendak mempersoalkan pemecatannya di pengadilan. Ini penting untuk iklim manajemen di BUMN dan anak perusahaannya. Selayaknya pemerintah harus menunjuk direksi dan komisaris pada BUMN atau anak perusahaannya (PTSP masuk dalam kategori ini) berdasarkan pertimbangan yang terukur. Asas profesionalitas harus lebih ditekankan, bukan perkoncoan atau karena kepatuhannya pada 'titah' pemerintah selaku pemegang saham, yang pada gilirannya akan membuat BUMN atau anak perusahaan tidak sehat.



Sudah waktunya kita berani menata ulang iklim profesionalitas di dunia BUMN dan anak perusahaannya. Dengan begitu, Indonesia yang banyak memiliki BUMN dan anak perusahaannya adalah benar-benar menjadi contoh baik bagi pilar bisnis di tanah air, menjadi pioner bagi penerapan good corporate governance.



Paradigma hukum selama ini (mungkin) menganggap pemegang saham memiliki hak secara absolut sekehendak hati atas perusahaannya adalah harus ditelaah secara kritis. Hukum punya kepentingan menciptakan sistem pengelolaan perusahaan yang profesional dan mandiri sesuai dengan kepentingan perusahaan, bukan kepentingan pemegang saham.



Ini penting untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan berdaya saing tinggi. Utamanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang usaha atas barang atau jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sebab, kehancuran dunia usaha tersebut sangat mungkin akan membawa gejolak sosial yang tidak bisa diremehkan. Hakim sebagai penjaga garda hukum, bisa melakukan insiatif penafsiran, sepanjang hukum yang tersedia belum melingkupinya. Kita tunggu saja keberanian hakim dalam memandang perkembangan di masyarakat yang (akan) tercermin dari putusannya. Tentu saja, ini harus dimulai dengan adanya kasus yang diajukan.