Sinar Harapan Edisi Jum'at, 25 Juli 2003.
Oleh Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta
Bank Indonesia (BI), selaku Bank Sentral yang dari dulu sampai kini masih mengemban tugas pengawasan bank komersial, telah mengalami pasang surut dan sejarah, baik yang muram maupun yang gemilang. Beberapa mantan Direksi BI telah divonis bersalah. Sebut saja Paul Soetopo Tjokronegoro, telah divonis hukuman penjara 2,5 tahun dan denda Rp20 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (4/4). Ia dinyatakan terbukti menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian fasilitas saldo debet atau dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada lima bank.
Hakim menilai, meski Paul sebagai salah satu anggota Direksi BI tidak secara langsung ikut mengambil keputusan memberi fasilitas saldo debet, tetapi membiarkan keputusan tersebut dilaksanakan. Seandainya terdakwa tidak berwenang menghentikan kliring, terdakwa bisa menolak pemberian fasilitas saldo debet. Sebab keputusan direksi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan hakim, Dewan Gubernur BI mempunyai pendapat lain. Mereka beranggapan bahwa BLBI merupakan kebijakan pemerintah guna menyelamatkan dana masyarakat dan menjaga kelangsungan sistem perbankan dari hantaman krisis multidimensi tahun 1997.
Untuk menilai apakah yang diadili kebijakan BI (sebagaimana pendapat Dewan Gubernur BI di atas) ataukah justru tindakan hukum lain yang dilakukan oleh Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, maka harus dipahami dahulu pengertian kebijakan dan produk hukum yang diterbitkan.
Produk Hukum Kebijakan
Kebijakan BI merupakan hak prerogatif Dewan Gubernur dan Pejabat BI yang bersifat discretionary (kebebasan untuk mengambil keputusan) untuk menjalankan amanat UU dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya. Bentuk produk hukumnya berupa pengaturan (regelling) atau penetapan (beschikking).
Pengaturan (regelling) adalah kebijakan yang bersifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal artinya sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu. Produk hukumnya berupa peraturan perundang-undangan. Misalnya Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Penetapan (beschikking) adalah keputusan pejabat negara (Pejabat Tata Usaha Ne-gara –TUN) yang bersifat konkret, individual dan final sebagaimana dimaksud oleh UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya Surat Keputusan tentang pemberian izin atau pencabutan izin usaha suatu bank.
Baik regelling (pengaturan) maupun bechikking (penetapan) dapat dilakukan koreksi secara internal maupun secara eksternal. Secara internal, BI dapat melakukan sendiri perubahan, pencabutan atau pembatalan atas penetapan atau keputusan yang telah dikeluarkannya atas inisiatif pejabat atau atasan yang telah menerbitkannya. Bukan karena perintah pengadilan.
Secara eksternal, koreksi atas regelling dapat dilakukan di luar BI selaku badan yang me-nerbitkan produk hukum, misalkan PBI. Pihak yang menolak regelling (pengaturan), dapat mengajukan judicial review melalui Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan uji materiel apakah produk hukum tersebut (PBI) bertentangan dengan UU atau tidak, sebagaimana diatur pasal 24A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945. Putusan MA berupa memperkuat PBI yang telah diterbitkan atau membatalkan PBI tersebut. Dewan Gubernur atau Pejabat BI tidak bisa dihukum penjara pidana atas tindakannya menerbitkan peraturan yang dinilai MA tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya.
Beschikking yang termasuk kategori Putusan Tata Usaha Negara (Putusan TUN) dapat dikoreksi oleh pihak yang merasa dirugikan BI dengan mengajukan gugatan TUN berdasar-kan UU No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan hakim TUN dapat berupa mengabulkan gugatan dan membatalkan beschikking yang telah diterbitkan dan/atau memerintahkan BI untuk menerbitkan beschikking yang baru atau menolak gugatan (beschik-king tetap berlaku).
Secara hukum Adminsitrasi Negara dan Tata Usaha Negara, produk hukum atas kebijakan (dalam bentuk regelling atau beschikking) dapat diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan bahwa terdapat kesalahan atas kebijakan, tidak membawa konsekuensi hukuman penjara pidana bagi pejabat yang menerbitkannya. Dengan catatan bahwa diterbitkannya produk hukum tersebut tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Sebab, tidak tertutup kemungkinan diterbitkannya penetapan atau pengaturan yang menjadi wewenangnya, pejabat negara (dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya) telah melakukan juga tindak pidana penyalahgunaan jabatan sebagaimana dimaksud pasal 1 huruf b UU No.3/1971 atau pasal 3 UU No.31/1999 (yang mencabut UUNo.3/1971) sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengadili Kebijakan?
Sebagaimana tersebut di atas, Paul Soetopo selaku Direksi BI ketika itu, divonis bersalah karena menyalahgunakan wewenang dengan ikut menyetujui pemberian BLBI. Hakim menganggap bahwa kebijakan masih dalam batas kewenangan Paul. Namun, telah terjadi tindak pidana dalam menerbitkan kebijakannya selaku Direksi BI, yakni menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud UU PTPK.
Pertimbangan hakim yang mempersoalkan keabsahan kebijakan Paul Soetopo (direksi BI) telah bertentangan dengan perundangan-undangan, bukan pokok pemeriksaan perkara. Tapi sebagai petunjuk/indikasi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sebab, jika pokok perkaranya mengadili kebijakan an sich, maka tentunya lebih tepat melalui mekanisme judicial review atau gugatan PTUN. Ini bukan kewenangan kejaksaan untuk menuntutnya. Judicial review atau PTUN juga bagi hakim yang memeriksa perkara tidak bisa aktif mengadili tanpa ada pihak yang mengajukan gugatan.
Suatu kebijakan yang (kemudian) divonis sebagai penyalahgunaan wewenang (sebelum ada putusan pengadilan) adalah tetap sah dan berlaku. Sebab, diterbitkan oleh pejabat berwenang, dalam batas dan wewenangnya. Namun karena dianggap menyalahgunakan wewenang berarti yang dipersoalkan unsur penyalahgunaannya, bukan memeriksa kewenangan pejabat yang bersangkutan sah atau tidak menerbitkan kebijakan atau keabsahan kebijakannya itu sendiri. Apakah terdapat penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau tidak sebagaimana diatur UUPTPK.
Untuk kasus Paul Soetopo, yang diadili bukan kebijakan produk hukumnya (penetapan pemberian BLBI kepada lima bank). Sebab mekanisme pengadilan atas keabsahan kebijakan adalah judicial review atau gugatan melalui PTUN, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Paul dkk diadili atas penyalahgunaan wewenang (bukan salah menggunakan wewenang) yang terkait dengan motif diterbitkannya kebijakan tersebut. Jika kebijakannya yang diadili, maka bukan berkaitan dengan pidana (korupsi), tapi dari penilaian bahwa apakah kebijakan tersebut pantas diterbitkan, bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak, dan termasuk dalam kompetensi judicial review atau gugatan melalui PTUN.
Lantas, bagaimana konsekuensi hukum keberlakuan kebijakan Paul Soetopo dkk yang diputus hakim telah menyalahgunakan wewenang, apakah masih berlaku? Menurut penulis, bisa masih berlaku, bisa tidak. Untuk kasus Paul Soetopo, jaksa penuntut sebelumnya telah menuntut (selain pidana penjara dan denda) kepada terdakwa untuk mengembalikan uang kerugian negara. Artinya, ketika hakim memutus terdakwa bersalah, maka unsur bahwa terdakwa telah menyalahgunakan wewenang sekaligus merugikan keuangan negara. Kedua unsur telah terpenuhi bukan salah satu.
Dengan demikian, semestinya ketika memvonis Paul bersalah telah menyalahgunakan wewenang, merugikan keuangan negara, dan bertentangan dengan peraturan perundangan, maka keputusan tentang pemberian BLBI oleh Paul dkk dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Konsekuensinya, penerima BLBI harus mengembalikan BLBI yang telah diberikan. Sebab, putusannya batal demi hukum. Apabila tidak demikian, maka sepertinya hakim tidak konsisten, di satu sisi menganggap merugikan keuangan negara, tapi di lain sisi, pihak yang menerimanya tidak diminta mengembalikan.
Berarti hakim telah membiarkan kerugian negara tetap berlangsung, padahal majelis telah memvonis terdakwa justru karena kesalahan tersebut yang menjadi pokok pemeriksaan. Bukan karena salah menggunakan wewenang, yakni dalam pemeriksaan gugatan TUN dari para penerima bank penerima BLBI tersebut yang menolak bank mereka menerima BLBI.
Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Tampilkan postingan dengan label Corruption. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Corruption. Tampilkan semua postingan
Selasa, Desember 22, 2009
Sabtu, Oktober 03, 2009
Administrasi Korupsi BLBI
Majalah InfoBank edisi No.301/April 2004/Vol.XXVI.
Oleh; Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta
Pangadilan Tinggi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dalam persidangan yang terpisah pada tanggal 29 Desember 2003 telah melepaskan ketiga mantan Direktur Bank Indonesia (BI), yakni Hendrobudiyanto, Heru Supraptomo, dan Paul Sutopo dari tuntutan hukum. Artinya, meskipun perbuatan mereka terbukti, namun ketiganya tidak dapat dihukum karena bukan perbuatan pidana. Putusan tersebut dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Samang Hamidi, Hasan Basri, dan Hartati.
Vonis diputuskan dengan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa adalah kebijakan pemerintah. Penyaluran Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat itu adalah kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan dalam keadaan krisis moneter (krismon).
Karena itu, pengadilan tinggi tidak bisa menilai kebijakan pemerintah sebagai tindak pidana. Keputusan presiden saat itu tidak bisa dinilai salah atau benar. Demikianlah penjelasan Hasan Basri Pase selaku Hubungan Masyarakat (Humas) Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Benarkah demikian?
Benar, berdasarkan pasal 32 ayat (3) Undang-Undang (UU) No. 13/1968 tentang Bank Sentral, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (lender of the last resort). Bahkan BLBI diakui sebagai kebijakan pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Kesepakatan ini menyetujui pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah dengan cara pengalihan hak tagih (cessie). Bahkan secara politik, kesepakatan itu telah mendapat restu dari Komisi IX DPR di awal Juni 2003 lalu.
Jika dipandang dari sisi yang demikian, tak ada masalah. Sebab, pemerintah selaku pemegang amanat konstitusi mempunyai otoritas untuk mengambil suatu tindakan darurat guna menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional. Saat itu masyarakat nampak panik. Mereka was-was uangnya yang disimpan di bank tidak dapat ditarik kembali.
Hal ini dibuktikan dengan panjangnya antrian nasabah di berbagai ATM. Jika tidak diselamatkan melalui BLBI, maka mungkin akan terjadi chaos, selain kekacauan ekonomi.
Persoalannya, pandangan majelis hakim PT DKI Jakarta itu berkiblat dalam dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) atau Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang memang tidak berimplikasi pidana. Padahal, persidangan yang ditanganinya dalam lingkup hukum pidana, yaitu pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam perkembangan suatu negara demokrasi modern, kewenangan eksekutif (pemerintah) tidaklah absolut (tanpa dapat dibatalkan) melalui pengadilan sebagai sistem perimbangan check and balances. Prosedurnya, kelompok masyarakat dan/atau individu yang menilai kebijakan/keputusan eksekutif kurang tepat atau bahkan merugikannya secara pribadi, dapat mengajukan judicial review atau gugatan Tata Usaha Negara (TUN) dapat diajukan.
Sistem hukum Indonesia pun saat ini telah mengenalnya. Judicial review diakui eksitensinya oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 selaku konstutusi kita pasca perubahan. Baik kebijakan/keputusan yang dikeluarkan pemerintah semata (di bawah UU) yang kewenangan mengadilinya pada Mahkamah Agung (MA), maupun produk hukum pemerintah dengan persetujuan DPR (UU) yang ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, untuk gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN.
Namun demikian, dari kacamata HAN atau HTUN, kebijakan pemerintah yang dinilai pengadilan salah, tidak menuai konsekuensi pidana bagi penerbit kebijakan tersebut. Sebab, pemerintah dinilai “hanya” salah menggunakan wewenang yang bersifat adminsitratif atau ketatausahaan dan bukan menyalahgunakan wewenang yang termasuk dalam domain (wilayah) hukum pidana. (Pemerintah) dinilai salah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya (perbuatan melawan hukum perspektif HAN atau HTUN).
Ketika apararat kepolisian atau kejaksaan mulai melakukan penyidikan dan penuntutan, maka secara otomatis perspektif hukumnya adalah hukum pidana, bukan dalam konteks HAN atau HTUN. Tentu saja metode pemeriksaan dan pembuktiannya tidak sama jika dibandingkan dengan pemeriksaan dalam lingkup HAN atau HTUN.
Dalam perspektif hukum pidana, bukan kebijakan yang diadili. Namun, perbuatan melawan hukum atas kebijakan atau keputusan eksekutif tersebut apakah diikuti unsur-unsur lainnya atau tidak. Unsur melawan hukum yang dibuat eksekutif merupakan penyalahgunaan wewenang, bukan salah menggunakan wewenang.
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN atau HTUN) bisa berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya.
Unsur-unsur tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama atau berdiri sendiri. Adapun yang dimaksud unsur-unsur tersebut diantaranya adalah satu, memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Dua, dapat merugikan keuangan negara (delik formil). Artinya, tidak mesti sudah terjadi bahwa kerugian negara telah benar-benar terjadi. Tapi dengan kebjikan yang telah diterbitkan dan belum terealisasi secara nyata, hal itu dapat saja termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Tiga, penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi oleh pihak lain. Jika ketiga atau salah satu unsur tersebut dipenuhi, maka penerbit kebijakan dapat didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Diperlukan kejelian jaksa dalam proses pembuktian dan kecermatan hakim untuk mengambil putusan. Sebab, pembuktiannya berbeda dengan kesalahan penggunaan wewenang dalam lingkup HAN atau HTUN. Apalagi yang terkait dengan gratifikasi. Tentu tidak menggunakan transaksi yang konvensional.
Selain itu, diperlukan bantuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengusutnya. Sebab, hampir pasti, penerima dan pemberi gratifikasi tidak akan ceroboh. Bisa jadi mereka menyewa advokat untuk mengamankan agar gratifikasi yang diberikannya tidak mudah ditelisik secara hukum. Transaksinya akan dilakukan secara tidak langsung dan dikaburkan.
Dari paparan di atas, tentu saja fokus pembuktiannya tidak sekadar bahwa apakah proses penyaluran BLBI tersebut telah benar secara prosedur atau tidak.. Tapi diikuti juga pemeriksaan atas tiga unsur tersebut (secara bersama-sama atau terpisah) sebagaimana yang telah didakwakan kepada ketiga mantan Direksi BI tersebut.
Kabarnya, ketiga mantan Direksi BI (diadili secara terpisah) didakwa telah melanggar pasal yang sama. Yakni pasal 1 ayat 1 sub b jo. pasal 28 jo. pasal 34 sub c UU No.3/1971 jo. pasal 64 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) jo pasal 1 UU No.20/2001 tentang perubahan UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bisa jadi, BLBI sebagai kebijakan tidak melanggar hukum. Namun, mungkin saja penyaluran dana BLBI terhadap bank-bank tertentu oleh ketiga mantan Direksi BI tersebut melanggar (diantaranya) SK Direksi BI No.14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 dan atau SK Direksi BI No.26/162/KEP/DIR tanggal 22 Maret 1994 (SKBI).
Berdasarkan ketentuan tersebut, diduga ada beberapa bank penerima BLBI yang tidak berhak menerimanya (fasilitas saldo atau mengikuti kliring). Persoalannya, SKBI pasti tidak mengatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atasnya. Sebab, ada persoalan otoritas dan konflik kepentingan bagi BI jika mengatur sanksi pidana.
Namun, putusan MA Regno.275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang telah menyatakan bersalah Raden Sonson Natalegawa (RSN) telah melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya dapat dijadikan perbandingan.
RSN, selaku eks Direktur Bank Bumi Daya (BBD), telah melakukan tindakan melawan hukum. Diantaranya memberikan kredit kepada PT Jawa Building (debitur) yang tidak sesuai dengan kebijakan internal BBD, yakni Surat Edaran/Instruksi Direksi BBD No.6/61 Kredit tanggal 10 September 1974 (SE BBD) juncto Surat Edaran BI No.SE 6/22/UPK tanggal 30 Juli 1973 (SE BI) yang melarang BBD memberikan kredit untuk proyek Real Estate.
Tentu saja, jika hanya dilihat pelanggaran SEBI dan SE BBD tidak terdapat ancaman pidana. Artinya, pelanggarannya bersifat adminsitratif. Namun, ketika itu MA menilai terdapat kerugian keuangan negara. Sebab, PT Jawa Building tidak dapat mengembalikan kredit. Ditambah dengan bukti bahwa RSN telah menerima hadiah atau fasilitas (gratifikasi) dari pihak yang tekait dengan PT Jawa Building.
MA menafsitrkan unsur melawan hukum tidak hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi BBD yang menurut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak melanggar peraturan hukum yang berkonsekuensi sanksi pidana. Tapi, MA berpendapat lain.
Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya perbuatan melawan hukum diukur juga berdasarkan asas hukum tak tertulis maupun asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Sedangkan, menurut kepatutan masyarakat dalam perkara korupsi, seorang petinggi Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menerima gratifikasi berlebihan serta keuntungan lainnya dari debitur (penerima kredit) dengan maksud direksi Bank BUMN tersebut menggunakan kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara menyimpang adalah perbuatan melawan hukum.
Semoga saja, ditingkat Kasasi, MA akan memberikan putusan yang bijak dan cerdas demi kepastian hukum. Sebab, diperlukan alasan hukum yang logis untuk melepaskan atau menghukum ketiga mantan Direksi BI. Pejabat BI butuh kepastian hukum dengan kategori yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, kita juga berkepentingan untuk menjaga keuangan negara agar tidak disalahgunakan. Selamat mengadili MA.
Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Oleh; Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta
Pangadilan Tinggi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dalam persidangan yang terpisah pada tanggal 29 Desember 2003 telah melepaskan ketiga mantan Direktur Bank Indonesia (BI), yakni Hendrobudiyanto, Heru Supraptomo, dan Paul Sutopo dari tuntutan hukum. Artinya, meskipun perbuatan mereka terbukti, namun ketiganya tidak dapat dihukum karena bukan perbuatan pidana. Putusan tersebut dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Samang Hamidi, Hasan Basri, dan Hartati.
Vonis diputuskan dengan pertimbangan bahwa perbuatan yang dilakukan para terdakwa adalah kebijakan pemerintah. Penyaluran Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat itu adalah kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan dalam keadaan krisis moneter (krismon).
Karena itu, pengadilan tinggi tidak bisa menilai kebijakan pemerintah sebagai tindak pidana. Keputusan presiden saat itu tidak bisa dinilai salah atau benar. Demikianlah penjelasan Hasan Basri Pase selaku Hubungan Masyarakat (Humas) Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Benarkah demikian?
Benar, berdasarkan pasal 32 ayat (3) Undang-Undang (UU) No. 13/1968 tentang Bank Sentral, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (lender of the last resort). Bahkan BLBI diakui sebagai kebijakan pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
Kesepakatan ini menyetujui pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah dengan cara pengalihan hak tagih (cessie). Bahkan secara politik, kesepakatan itu telah mendapat restu dari Komisi IX DPR di awal Juni 2003 lalu.
Jika dipandang dari sisi yang demikian, tak ada masalah. Sebab, pemerintah selaku pemegang amanat konstitusi mempunyai otoritas untuk mengambil suatu tindakan darurat guna menyelamatkan sistem perbankan dan perekonomian nasional. Saat itu masyarakat nampak panik. Mereka was-was uangnya yang disimpan di bank tidak dapat ditarik kembali.
Hal ini dibuktikan dengan panjangnya antrian nasabah di berbagai ATM. Jika tidak diselamatkan melalui BLBI, maka mungkin akan terjadi chaos, selain kekacauan ekonomi.
Persoalannya, pandangan majelis hakim PT DKI Jakarta itu berkiblat dalam dalam perspektif Hukum Administrasi Negara (HAN) atau Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang memang tidak berimplikasi pidana. Padahal, persidangan yang ditanganinya dalam lingkup hukum pidana, yaitu pemeriksaan kasus tindak pidana korupsi.
Dalam perkembangan suatu negara demokrasi modern, kewenangan eksekutif (pemerintah) tidaklah absolut (tanpa dapat dibatalkan) melalui pengadilan sebagai sistem perimbangan check and balances. Prosedurnya, kelompok masyarakat dan/atau individu yang menilai kebijakan/keputusan eksekutif kurang tepat atau bahkan merugikannya secara pribadi, dapat mengajukan judicial review atau gugatan Tata Usaha Negara (TUN) dapat diajukan.
Sistem hukum Indonesia pun saat ini telah mengenalnya. Judicial review diakui eksitensinya oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 selaku konstutusi kita pasca perubahan. Baik kebijakan/keputusan yang dikeluarkan pemerintah semata (di bawah UU) yang kewenangan mengadilinya pada Mahkamah Agung (MA), maupun produk hukum pemerintah dengan persetujuan DPR (UU) yang ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, untuk gugatan TUN melalui Pengadilan TUN sebagaimana diatur UU No.5/1986 tentang Peradilan TUN.
Namun demikian, dari kacamata HAN atau HTUN, kebijakan pemerintah yang dinilai pengadilan salah, tidak menuai konsekuensi pidana bagi penerbit kebijakan tersebut. Sebab, pemerintah dinilai “hanya” salah menggunakan wewenang yang bersifat adminsitratif atau ketatausahaan dan bukan menyalahgunakan wewenang yang termasuk dalam domain (wilayah) hukum pidana. (Pemerintah) dinilai salah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya (perbuatan melawan hukum perspektif HAN atau HTUN).
Ketika apararat kepolisian atau kejaksaan mulai melakukan penyidikan dan penuntutan, maka secara otomatis perspektif hukumnya adalah hukum pidana, bukan dalam konteks HAN atau HTUN. Tentu saja metode pemeriksaan dan pembuktiannya tidak sama jika dibandingkan dengan pemeriksaan dalam lingkup HAN atau HTUN.
Dalam perspektif hukum pidana, bukan kebijakan yang diadili. Namun, perbuatan melawan hukum atas kebijakan atau keputusan eksekutif tersebut apakah diikuti unsur-unsur lainnya atau tidak. Unsur melawan hukum yang dibuat eksekutif merupakan penyalahgunaan wewenang, bukan salah menggunakan wewenang.
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN atau HTUN) bisa berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya.
Unsur-unsur tersebut dapat dilakukan secara bersama-sama atau berdiri sendiri. Adapun yang dimaksud unsur-unsur tersebut diantaranya adalah satu, memperkaya diri sendiri atau pihak lain. Dua, dapat merugikan keuangan negara (delik formil). Artinya, tidak mesti sudah terjadi bahwa kerugian negara telah benar-benar terjadi. Tapi dengan kebjikan yang telah diterbitkan dan belum terealisasi secara nyata, hal itu dapat saja termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Tiga, penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi oleh pihak lain. Jika ketiga atau salah satu unsur tersebut dipenuhi, maka penerbit kebijakan dapat didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Diperlukan kejelian jaksa dalam proses pembuktian dan kecermatan hakim untuk mengambil putusan. Sebab, pembuktiannya berbeda dengan kesalahan penggunaan wewenang dalam lingkup HAN atau HTUN. Apalagi yang terkait dengan gratifikasi. Tentu tidak menggunakan transaksi yang konvensional.
Selain itu, diperlukan bantuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang untuk mengusutnya. Sebab, hampir pasti, penerima dan pemberi gratifikasi tidak akan ceroboh. Bisa jadi mereka menyewa advokat untuk mengamankan agar gratifikasi yang diberikannya tidak mudah ditelisik secara hukum. Transaksinya akan dilakukan secara tidak langsung dan dikaburkan.
Dari paparan di atas, tentu saja fokus pembuktiannya tidak sekadar bahwa apakah proses penyaluran BLBI tersebut telah benar secara prosedur atau tidak.. Tapi diikuti juga pemeriksaan atas tiga unsur tersebut (secara bersama-sama atau terpisah) sebagaimana yang telah didakwakan kepada ketiga mantan Direksi BI tersebut.
Kabarnya, ketiga mantan Direksi BI (diadili secara terpisah) didakwa telah melanggar pasal yang sama. Yakni pasal 1 ayat 1 sub b jo. pasal 28 jo. pasal 34 sub c UU No.3/1971 jo. pasal 64 ayat 1 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) jo pasal 1 UU No.20/2001 tentang perubahan UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bisa jadi, BLBI sebagai kebijakan tidak melanggar hukum. Namun, mungkin saja penyaluran dana BLBI terhadap bank-bank tertentu oleh ketiga mantan Direksi BI tersebut melanggar (diantaranya) SK Direksi BI No.14/35/Kep/Dir/UPPB tanggal 10 September 1981 dan atau SK Direksi BI No.26/162/KEP/DIR tanggal 22 Maret 1994 (SKBI).
Berdasarkan ketentuan tersebut, diduga ada beberapa bank penerima BLBI yang tidak berhak menerimanya (fasilitas saldo atau mengikuti kliring). Persoalannya, SKBI pasti tidak mengatur sanksi pidana jika terjadi pelanggaran atasnya. Sebab, ada persoalan otoritas dan konflik kepentingan bagi BI jika mengatur sanksi pidana.
Namun, putusan MA Regno.275K/Pid/1983 tanggal 15 Desember 1983 yang telah menyatakan bersalah Raden Sonson Natalegawa (RSN) telah melakukan tindak pidana korupsi atas perbuatannya dapat dijadikan perbandingan.
RSN, selaku eks Direktur Bank Bumi Daya (BBD), telah melakukan tindakan melawan hukum. Diantaranya memberikan kredit kepada PT Jawa Building (debitur) yang tidak sesuai dengan kebijakan internal BBD, yakni Surat Edaran/Instruksi Direksi BBD No.6/61 Kredit tanggal 10 September 1974 (SE BBD) juncto Surat Edaran BI No.SE 6/22/UPK tanggal 30 Juli 1973 (SE BI) yang melarang BBD memberikan kredit untuk proyek Real Estate.
Tentu saja, jika hanya dilihat pelanggaran SEBI dan SE BBD tidak terdapat ancaman pidana. Artinya, pelanggarannya bersifat adminsitratif. Namun, ketika itu MA menilai terdapat kerugian keuangan negara. Sebab, PT Jawa Building tidak dapat mengembalikan kredit. Ditambah dengan bukti bahwa RSN telah menerima hadiah atau fasilitas (gratifikasi) dari pihak yang tekait dengan PT Jawa Building.
MA menafsitrkan unsur melawan hukum tidak hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi BBD yang menurut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak melanggar peraturan hukum yang berkonsekuensi sanksi pidana. Tapi, MA berpendapat lain.
Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya perbuatan melawan hukum diukur juga berdasarkan asas hukum tak tertulis maupun asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Sedangkan, menurut kepatutan masyarakat dalam perkara korupsi, seorang petinggi Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menerima gratifikasi berlebihan serta keuntungan lainnya dari debitur (penerima kredit) dengan maksud direksi Bank BUMN tersebut menggunakan kekuasaannya atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara menyimpang adalah perbuatan melawan hukum.
Semoga saja, ditingkat Kasasi, MA akan memberikan putusan yang bijak dan cerdas demi kepastian hukum. Sebab, diperlukan alasan hukum yang logis untuk melepaskan atau menghukum ketiga mantan Direksi BI. Pejabat BI butuh kepastian hukum dengan kategori yang jelas dalam melaksanakan tugasnya. Di sisi lain, kita juga berkepentingan untuk menjaga keuangan negara agar tidak disalahgunakan. Selamat mengadili MA.
Keterangan:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara
Kamis, Juli 03, 2008
Menanti KPK mengusut Inpres R&D
Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 4 Februari 2004.
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Akhirnya, setelah melalui penantian yang mendebarkan, anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan medio Desember tahun lalu. KPK mengemban tugas berat.
Langkah-langkah besar untuk memberantas korupsi, harus berani diambilnya. Termasuk segala kebijakan Presiden yang diduga dapat merugikan keuangan negara.
Tak terkecuali Instruksi Presiden No.8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelsaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (Inpres R&D).
Tap MPR No.X/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR 2001, pada lampirannya, Sub Bidang Kepercayaan Dunia Usaha menugaskan presiden untuk konsisten melaksanakan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU No.25/ 2000 tentang Propenas BAB IV butir C No.2,3,4, perlu diambil tindakan tegas.
Sebabnya, pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menandatangani Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan beberapa debitor selaku pemegang saham bank yang telah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dalam 3 macam, yakni MSAA, MRNIA, dan Akta Pengakuan Utang.
PKPS memuat klausul release and discharge (R&D) yang menetapkan pemerintah akan memberikan pelepasan dan pembebasan dari tuntutan perdata dan pidana kepada debitur yang telah melunasi kewajibannya. Karenanya, presiden pada 30 Desember 2002 menerbitkan Inpres R&D. Artinya dari kacamata ini, Inpres R&D merupakan kebijakan yang diambil presiden dalam menafsirkan amanat TAP MPR.
Dapat Dipidana?
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang kepresidenan yang diamanatkan Konstitusi atau Tap MPR, presiden dapat menerbitkan keputusan atau kebijakan. Dari segi hukum, bentuk produk hukumnya (atas keputusan atau kebijakan) tersebut terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking).
Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan presiden, tata cara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut adalah tidak sama.
Regelling adalah peraturan yang ditetapkan presiden yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal (sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu).
Contohnya, PP, Keppres, dan Inpres (yang berimplikasi berlaku umum).
Beschikking adalah keputusan atau kebijakan presiden (Pejabat Tata Usaha Negara -TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final sebagaimana dimaksud UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya memberikan grasi, amnesti, atau mengangkat menteri.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, mungkin saja presiden menerbitkan suatu kebijakan yang salah (salah menggunakan wewenang, bukan menyalahgunakan wewenang).
Karenanya, baik regelling maupun bechikking yang telah diterbitkannya dapat dilakukan koreksi yang berupa pembatalan/pencabutan oleh presiden atau bahkan dibatalkan oleh/atas perintah pengadilan.
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU (pasal 24A Perubahan Ketiga UUD 1945).
UU tentang MA menjelaskan lebih lanjut bahwa MA berwenang menguji secara materil hanya terhadap UU dan menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Produk hukum regelling (dalam hal ini Inpres R&D), jika masyarakat (termasuk KPK) menilainya tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka upaya hukum dapat dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA) berupa judicial review.
Putusan MA dapat berupa memperkuat Inpres R&D atau membatalkannya. Presiden tidak bisa dihukum baik secara pidana maupun perdata atas tindakannya menerbitkan Inpres R&D yang dinilai oleh MA tidak tepat karena bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Sebab, wahana untuk mengadili kebijakannya adalah judicial review melalui MA.
Koreksi atas Inpres R&D dalam perspektif Hukum Adminsitrasi Negara (HAN) dapat dilakukan untuk diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan terdapat kesalahan atas Inpres R&D, tidak membawa konsekuensi hukuman pidana penjara bagi presiden.
Artinya, koreksi atas kesalahan presiden dalam menggunakan wewenangnya (bukan menyalahgunakan wewenang) tidak dikenakan ancaman pidana.
Karenanya, meski Inpres R&D dinyatakan salah dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, dalam perspektif HAN presiden tidak bisa dihukum pidana penjara. Ini berbeda jika KPK yang mengajukannnya dalam perkara dugaan korupsi/pencucian uang.
Unsur Korupsi
Jerat HAN tidak cukup untuk dapat menghukum pidana penjara atas Inpres R&D. Dengan catatan, diterbitkannya Inpres R&D tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 (UUPTK) dan/ atau UU No.12/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU).
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN) berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya. Yakni, salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain.
Tidak tertutup kemungkinan sebelum, saat dan/atau sesudah diterbitkannya Inpres R&D telah terjadi 'tawar-menawar' antara penerbit dengan para konglemerat (debitur) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam proses penyidikan, seyogyanya KPK mendayagunakan UUTPPU yang dapat melacak berbagai transaksi yang mencurigakan di balik keluarnya Inpres R&D, saat dan/atau setelah pemberian R&D kelak.
Sebut saja, pasal 12 huruf a juncto huruf b UUPTK mengancam pidana bagi penyelenggara negara (termasuk presiden) yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan kepada untuk menggerakkan dan/atau sebagai akibat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Untuk membuktikannya, tidak semudah pada penyidikan tindak pidana konvensional. KPK harus memeriksa aliran dana dari para debitur dan kelompok usahanya (termasuk orang-orang yang terkait dengannya baik langsung atau pun tidak langusung) terhadap presiden, keluarga presiden, partai yang dipimpin presiden, dan pihak-pihak yang masih ada kaitan baik secara langsung atau pun tidak langsung. Tentu saja harus menggunakan juga dasar hukum UUTPPU.
Mungkin terdapat transaksi yang mencurigakan dan/atau terjadi aliran dana dari pihak yang diuntungkan karena Inpres R&D tersebut. Baik sebelum, ketika, dan/atau setelah Inpres R&D diterbitkan dan/atau setelah R&D diberikan oleh pihak yang menerima Inpres tersebut.
Jika demikian, dapatlah dijadikan indikasi awal. Bentuknya bisa saja tidak konvensional yang berupa aliran dana pada penerbit Inpres R&D dan pelaksananya (di antaranya Ketua BPPN) atau pemberi R&D. Bisa jadi sumbangan pada partai atau transaksi fiktif dan/atau tidak laziman. Juga mungkin pembelian atau penjualan yang jauh di bawah/di atas harga wajar. Tidak mudah mencari fakta hukum yang demikian. Pengusutan ini sangat bergantung sekali dari partisipasi laporan masyarakat dan institusi yang terkait lainnya. Namun, jika KPK mempunyai integritas yang memadai, tentu berbagai kelompok masyarakat sudi memberikan dukungan baik berupa data maupun dukungan moral.
Kita menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Diperlukan shock therapy atau deterrent effect yang berimplikasi hukum bagi pembuat kebijakan yang dianggap tak wajar.
Yang jelas, jangan sampai menghalangi terciptanya clean government. Terkadang, hukuman bukan tujuan dari hukum itu sendiri. Tapi preseden akan substansi yang disangkakan/didakwakan akan membuat policy maker berhati-hati dalam mengambil keputusan di masa mendatang. Ketika itu sudah tercapai, sebagian besar tujuan (subtantif) hukum telah terpenuhi. Selamat bekerja KPK!
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Akhirnya, setelah melalui penantian yang mendebarkan, anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan medio Desember tahun lalu. KPK mengemban tugas berat.
Langkah-langkah besar untuk memberantas korupsi, harus berani diambilnya. Termasuk segala kebijakan Presiden yang diduga dapat merugikan keuangan negara.
Tak terkecuali Instruksi Presiden No.8 tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelsaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (Inpres R&D).
Tap MPR No.X/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR 2001, pada lampirannya, Sub Bidang Kepercayaan Dunia Usaha menugaskan presiden untuk konsisten melaksanakan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA) dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU No.25/ 2000 tentang Propenas BAB IV butir C No.2,3,4, perlu diambil tindakan tegas.
Sebabnya, pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah menandatangani Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan beberapa debitor selaku pemegang saham bank yang telah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dalam 3 macam, yakni MSAA, MRNIA, dan Akta Pengakuan Utang.
PKPS memuat klausul release and discharge (R&D) yang menetapkan pemerintah akan memberikan pelepasan dan pembebasan dari tuntutan perdata dan pidana kepada debitur yang telah melunasi kewajibannya. Karenanya, presiden pada 30 Desember 2002 menerbitkan Inpres R&D. Artinya dari kacamata ini, Inpres R&D merupakan kebijakan yang diambil presiden dalam menafsirkan amanat TAP MPR.
Dapat Dipidana?
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang kepresidenan yang diamanatkan Konstitusi atau Tap MPR, presiden dapat menerbitkan keputusan atau kebijakan. Dari segi hukum, bentuk produk hukumnya (atas keputusan atau kebijakan) tersebut terbagi atas pengaturan (regelling) dan penetapan (beschikking).
Konsekuensi hukum terhadap produk hukum yang diterbitkan presiden, tata cara perlawanan, atau usaha pembatalan terhadap produk hukum tersebut adalah tidak sama.
Regelling adalah peraturan yang ditetapkan presiden yang besifat umum (berlaku dan mengikat umum), abstrak, dan impersonal (sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu dalam suatu kasus tertentu).
Contohnya, PP, Keppres, dan Inpres (yang berimplikasi berlaku umum).
Beschikking adalah keputusan atau kebijakan presiden (Pejabat Tata Usaha Negara -TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final sebagaimana dimaksud UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UUPTUN). Contohnya memberikan grasi, amnesti, atau mengangkat menteri.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, mungkin saja presiden menerbitkan suatu kebijakan yang salah (salah menggunakan wewenang, bukan menyalahgunakan wewenang).
Karenanya, baik regelling maupun bechikking yang telah diterbitkannya dapat dilakukan koreksi yang berupa pembatalan/pencabutan oleh presiden atau bahkan dibatalkan oleh/atas perintah pengadilan.
Mahkamah Agung (MA) memiliki kewenangan mengadili pada tingkat kasasi menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU (pasal 24A Perubahan Ketiga UUD 1945).
UU tentang MA menjelaskan lebih lanjut bahwa MA berwenang menguji secara materil hanya terhadap UU dan menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari pada UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Produk hukum regelling (dalam hal ini Inpres R&D), jika masyarakat (termasuk KPK) menilainya tidak tepat dan bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya, maka upaya hukum dapat dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA) berupa judicial review.
Putusan MA dapat berupa memperkuat Inpres R&D atau membatalkannya. Presiden tidak bisa dihukum baik secara pidana maupun perdata atas tindakannya menerbitkan Inpres R&D yang dinilai oleh MA tidak tepat karena bertentangan dengan perundang-undangan di atasnya. Sebab, wahana untuk mengadili kebijakannya adalah judicial review melalui MA.
Koreksi atas Inpres R&D dalam perspektif Hukum Adminsitrasi Negara (HAN) dapat dilakukan untuk diadili keabsahannya. Namun, putusan pengadilan yang menyatakan terdapat kesalahan atas Inpres R&D, tidak membawa konsekuensi hukuman pidana penjara bagi presiden.
Artinya, koreksi atas kesalahan presiden dalam menggunakan wewenangnya (bukan menyalahgunakan wewenang) tidak dikenakan ancaman pidana.
Karenanya, meski Inpres R&D dinyatakan salah dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, dalam perspektif HAN presiden tidak bisa dihukum pidana penjara. Ini berbeda jika KPK yang mengajukannnya dalam perkara dugaan korupsi/pencucian uang.
Unsur Korupsi
Jerat HAN tidak cukup untuk dapat menghukum pidana penjara atas Inpres R&D. Dengan catatan, diterbitkannya Inpres R&D tidak dibarengi tindak pidana sebagaimana yang diatur UU No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 (UUPTK) dan/ atau UU No.12/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No.25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU).
Kesalahan menggunakan wewenang (perspektif HAN) berubah menjadi penyalahgunaan wewenang yang berdimensi pidana jika terdapat unsur lain yang menyertainya. Yakni, salah satu atau secara bersama-sama unsur (setidaknya) memperkaya diri sendiri atau pihak lain, dapat merugikan keuangan negara (delik formil), dan/atau penerbit kebijakan menerima atau dijanjikan akan diberikan gratifikasi pihak lain.
Tidak tertutup kemungkinan sebelum, saat dan/atau sesudah diterbitkannya Inpres R&D telah terjadi 'tawar-menawar' antara penerbit dengan para konglemerat (debitur) tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam proses penyidikan, seyogyanya KPK mendayagunakan UUTPPU yang dapat melacak berbagai transaksi yang mencurigakan di balik keluarnya Inpres R&D, saat dan/atau setelah pemberian R&D kelak.
Sebut saja, pasal 12 huruf a juncto huruf b UUPTK mengancam pidana bagi penyelenggara negara (termasuk presiden) yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji itu diberikan kepada untuk menggerakkan dan/atau sebagai akibat agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Untuk membuktikannya, tidak semudah pada penyidikan tindak pidana konvensional. KPK harus memeriksa aliran dana dari para debitur dan kelompok usahanya (termasuk orang-orang yang terkait dengannya baik langsung atau pun tidak langusung) terhadap presiden, keluarga presiden, partai yang dipimpin presiden, dan pihak-pihak yang masih ada kaitan baik secara langsung atau pun tidak langsung. Tentu saja harus menggunakan juga dasar hukum UUTPPU.
Mungkin terdapat transaksi yang mencurigakan dan/atau terjadi aliran dana dari pihak yang diuntungkan karena Inpres R&D tersebut. Baik sebelum, ketika, dan/atau setelah Inpres R&D diterbitkan dan/atau setelah R&D diberikan oleh pihak yang menerima Inpres tersebut.
Jika demikian, dapatlah dijadikan indikasi awal. Bentuknya bisa saja tidak konvensional yang berupa aliran dana pada penerbit Inpres R&D dan pelaksananya (di antaranya Ketua BPPN) atau pemberi R&D. Bisa jadi sumbangan pada partai atau transaksi fiktif dan/atau tidak laziman. Juga mungkin pembelian atau penjualan yang jauh di bawah/di atas harga wajar. Tidak mudah mencari fakta hukum yang demikian. Pengusutan ini sangat bergantung sekali dari partisipasi laporan masyarakat dan institusi yang terkait lainnya. Namun, jika KPK mempunyai integritas yang memadai, tentu berbagai kelompok masyarakat sudi memberikan dukungan baik berupa data maupun dukungan moral.
Kita menginginkan pemerintahan yang lebih baik. Diperlukan shock therapy atau deterrent effect yang berimplikasi hukum bagi pembuat kebijakan yang dianggap tak wajar.
Yang jelas, jangan sampai menghalangi terciptanya clean government. Terkadang, hukuman bukan tujuan dari hukum itu sendiri. Tapi preseden akan substansi yang disangkakan/didakwakan akan membuat policy maker berhati-hati dalam mengambil keputusan di masa mendatang. Ketika itu sudah tercapai, sebagian besar tujuan (subtantif) hukum telah terpenuhi. Selamat bekerja KPK!
Senin, Maret 26, 2007
Melindungi Saksi Kasus Korupsi
Tulisan ini dipublikasikan pada http://www.Gusdur.net tanggal 10 Maret 2004
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Korupsi adalah sebuah kosa kata yang mungkin paling
sering diucapkan dan ditulis berbagai kalangan pasca
kejatuhan Soeharto, memasuki orde reformasi. Di era
inilah bebas mengemukakan pendapat. Di era ini juga
korupsi lebih terang-benderang dan tanpa tedeng
aling-aling.
Rupanya, virus korupsi yang telah disuntikkan oleh
penguasa sebelumnya guna merusak moral bangsa dan
menyehatkan pemerintahannya, hingga kini belum juga
punah dari jaringan tubuh bangsa Indonesia. Bahkan,
virus itu nampak sekarang semakin ganas, sehingga
mengakibatkan penyakit korupsi lebih kronis dan pada
stadium yang sangat membahayakan.
Namun, berbarengan dengan itu, kosa-kata koruptor
jarang digunakan. Sebabnya, meski negeri ini
"berprestasi" memeperoleh peringkat ke-6 terkorup di
dunia. Sayangnya, (nyaris) tanpa koruptor yang
dijebloskan ke hotel prodeo.
Abdurahman Wahid, yang lebih sering disapa Gus Dur,
ketika menjabat presiden, sempat melontarkan ide
"mengimpor" hakim. Sebagai tokoh yang penuh kejutan,
ide tersebut masih cukup mengejutkan. "Impor" hakim
merupakan refleksi klimaks ketidakpercayannya pada
institusi penegak hukum stadium tertinggi, titik
nadir.
Tidak Menampakkan Hasil
Awalnya, kegagalan pemberantasan korupsi dianggap
disebabkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UUPTK) tidak menganut pembuktian terbalik. Secara
sederhana, sistem pembuktian terbalik dapat
didefinisikan, sistem pembuktian dalam proses
perkara pidana yang membebankan terdakwa membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah atas dakwaan yang
ditujukan kepadanya. Dengan kata lain, terdakwa
dianggap bersalah, kecuali dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah.
Sistem tersebut merupakan pengecualian Hukum Acara
Pidana sebagaimana diatur pasal 66 UU No.8/1988
tentang Hukum Acara Pidana yang menganut praduga tak
bersalah, yakni tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian. UUPTK No.3/1971
memberikan keleluasaan hakim secara subyektif jika
dianggap perlu, dapat membebankan terdakwa
membuktikan tidak korupsi.
Selanjutnya, UUPTK No.31/1999 yang menggantikannya
menganut pembuktian terbalik 'pura-pura'. Pasal 37
ayat (1) menyatakan, "terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi. Penjelasannya, ketentuan ini merupakan
suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang
menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut
ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Sesungguhnya, pembuktian terbalik justru menghukum
terdakwa dengan mewajibkannya untuk membuktikan
tidak melakukan korupsi. Sedangkan, pasal tersebut
menetapkan hak terdakwa untuk membuktikannya tidak
melakukan korupsi. Padahal, dalam sistim hukum acara
pidana konvensional juga diberikan hak bagi terdakwa
membela dirinya yang merupakan bagian dari HAM yakni
pengadilan wajib memberikan hak (kesempatan) bagi
terdakwa untuk membela diri.
Kemudian, UU No.31/1999 diubah beberapa pasal dengan
UU No.20/2001 yang secara substantif menganut sistem
pembuktian terbalik. Mestinya, perubahan ini
mempermudah pemberantasan korupsi yang hasilnya
telah dilakukan secara 'lurus' (tidak terjadi money
laundering).
Namun, kenyataannya perubahan tersebut belum
(tidak?) menampakkan hasil significant bagi
pemberantasan korupsi. Sebabnya, korupsi dilakukan
gotong royong, yakni dilakukan secara bekerja sama
dan sitematis. Contohnya, Endin selaku pelapor kasus
korupsi, dijadikan tersangka pencemaran nama baik.
Hukum tidak melindungi pelapor/saksi (yang teribat
dalam korupsi, baik sebagi pemberi maupun penerima
gratifikasi (pemberian dalam arti luas, meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pegobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya) dari ancaman dijadikan
tersangka.
Memecah Belah Koruptor
Pemberantasan korupsi harus memecah belah
solidaritas koruptor. Sebab, ternyata pembuktian
terbalik tidak kuat mendobrak benteng yang dibangun
bergotong royong oleh koruptor. Mungkin, 'devide et
impera', sebagai upaya memecah belah solidaritas
kegotongroyongan koruptor harus diterapkan.
Subtsansi UUPTK telah memperkuat solidaritas
kegotongroyongan antarkoruptor saling menutupi.
Sebab memberikan ancaman pidana terhadap pemberi dan
penerima gratifikasi.
Konsep tersebut justru menyebabkan korupsi sulit
diberantas. Hampir dipastikan, pemberi dan penerima
gratifikasi, selamanya tutup mulut. Sebab, jika
salah satu pihak (pelaku) berniat membongkar, sang
pelapor (baik pemberi atau penerima gratifikasi)
akan dikenakan sanksi selaku pelaku korupsi. Tanpa
ada jaminan pengampunan baginya oleh UU untuk tidak
dituntut di pengadilan.
Perubahan revolusioner materi UUTPK yang masih
"konvensional" diperlukan. Beberapa hal di bawah ini
dapat dijadikan pertimbangan.
Pertama, pelapor yang berinisatif pertama (meski
pemberi atau penerima gratifikasi) diberikan
perlindungan oleh UU untuk dibebaskan dari tuntutan
pidana atas tindak pidana korupsi yang telah
dilaporkannya. Ini untuk mendorong pelaku korupsi
yang insyaf agar dapat membantu membongkar korupsi.
Pertimbangannya, bagi pihak yang terpaksa memberikan
gratifikasi untuk menuntut haknya, maka dapat
menyeret pejabat korup ke pengadilan. Di sisi lain,
bagi pemberi gratifikasi kepada pejabat yang bersih
dengan maksud-maksud tertentu, maka pejabat tersebut
dapat membongkar niat busuk pemberi gratifikasi
dengan memperoleh bukti yang valid, yakni dengan
menerima gratifikasi tersebut dan segera
melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Dengan demikian, akan tercipta saling curiga antar
pelaku korupsi dan tidak akan merasa nyaman atas
gratifikasi yang telah diberikan atau diterimanya.
Begitu salah satu pihak melaporkanhanya maka
habislah nasibnya.
Dengan kata lain, "insentif" diberikan untuk memecah
belah solidaritas para koruptor untuk buka mulut.
Sebab, inisiator pertama akan dibebaskan dari
ancaman pidana.
Kedua, ketentuan satu diatas hanya berlaku bagi
tindak pidana yang tidak merugikan kekayaan negara.
Jika terdapat kerugian negara, maka bagi pelapor
(untuk menemukan tersangka lain), cukup diwajibkan
baginya mengembalikan jumlah kerugian negara
tersebut (dengan mempertimbangkan unsur bunga dan
harga pasar), sedangkan tuntuntutan pidana penjara
terhadapnya tidak dikenakan.
Ini dimaksudkan agar tidak disalahgunakan pihak yang berpura-pura membongkar kasus korupsi, namun sebenarnya dia mendapatkan keuntungan ekonomi atas kasus tersebut.
Semoga saja dengan model perlindungan korupsi yang demikian, para mantan koruptor yang telah insyaf akan berbondong-bondong menjadi saksi pelapor. Siapa cepat, dia akan bebas. Kita tunggu.
Gusdur.net
Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum
Korupsi adalah sebuah kosa kata yang mungkin paling
sering diucapkan dan ditulis berbagai kalangan pasca
kejatuhan Soeharto, memasuki orde reformasi. Di era
inilah bebas mengemukakan pendapat. Di era ini juga
korupsi lebih terang-benderang dan tanpa tedeng
aling-aling.
Rupanya, virus korupsi yang telah disuntikkan oleh
penguasa sebelumnya guna merusak moral bangsa dan
menyehatkan pemerintahannya, hingga kini belum juga
punah dari jaringan tubuh bangsa Indonesia. Bahkan,
virus itu nampak sekarang semakin ganas, sehingga
mengakibatkan penyakit korupsi lebih kronis dan pada
stadium yang sangat membahayakan.
Namun, berbarengan dengan itu, kosa-kata koruptor
jarang digunakan. Sebabnya, meski negeri ini
"berprestasi" memeperoleh peringkat ke-6 terkorup di
dunia. Sayangnya, (nyaris) tanpa koruptor yang
dijebloskan ke hotel prodeo.
Abdurahman Wahid, yang lebih sering disapa Gus Dur,
ketika menjabat presiden, sempat melontarkan ide
"mengimpor" hakim. Sebagai tokoh yang penuh kejutan,
ide tersebut masih cukup mengejutkan. "Impor" hakim
merupakan refleksi klimaks ketidakpercayannya pada
institusi penegak hukum stadium tertinggi, titik
nadir.
Tidak Menampakkan Hasil
Awalnya, kegagalan pemberantasan korupsi dianggap
disebabkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UUPTK) tidak menganut pembuktian terbalik. Secara
sederhana, sistem pembuktian terbalik dapat
didefinisikan, sistem pembuktian dalam proses
perkara pidana yang membebankan terdakwa membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah atas dakwaan yang
ditujukan kepadanya. Dengan kata lain, terdakwa
dianggap bersalah, kecuali dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah.
Sistem tersebut merupakan pengecualian Hukum Acara
Pidana sebagaimana diatur pasal 66 UU No.8/1988
tentang Hukum Acara Pidana yang menganut praduga tak
bersalah, yakni tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian. UUPTK No.3/1971
memberikan keleluasaan hakim secara subyektif jika
dianggap perlu, dapat membebankan terdakwa
membuktikan tidak korupsi.
Selanjutnya, UUPTK No.31/1999 yang menggantikannya
menganut pembuktian terbalik 'pura-pura'. Pasal 37
ayat (1) menyatakan, "terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi. Penjelasannya, ketentuan ini merupakan
suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang
menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut
ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Sesungguhnya, pembuktian terbalik justru menghukum
terdakwa dengan mewajibkannya untuk membuktikan
tidak melakukan korupsi. Sedangkan, pasal tersebut
menetapkan hak terdakwa untuk membuktikannya tidak
melakukan korupsi. Padahal, dalam sistim hukum acara
pidana konvensional juga diberikan hak bagi terdakwa
membela dirinya yang merupakan bagian dari HAM yakni
pengadilan wajib memberikan hak (kesempatan) bagi
terdakwa untuk membela diri.
Kemudian, UU No.31/1999 diubah beberapa pasal dengan
UU No.20/2001 yang secara substantif menganut sistem
pembuktian terbalik. Mestinya, perubahan ini
mempermudah pemberantasan korupsi yang hasilnya
telah dilakukan secara 'lurus' (tidak terjadi money
laundering).
Namun, kenyataannya perubahan tersebut belum
(tidak?) menampakkan hasil significant bagi
pemberantasan korupsi. Sebabnya, korupsi dilakukan
gotong royong, yakni dilakukan secara bekerja sama
dan sitematis. Contohnya, Endin selaku pelapor kasus
korupsi, dijadikan tersangka pencemaran nama baik.
Hukum tidak melindungi pelapor/saksi (yang teribat
dalam korupsi, baik sebagi pemberi maupun penerima
gratifikasi (pemberian dalam arti luas, meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pegobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya) dari ancaman dijadikan
tersangka.
Memecah Belah Koruptor
Pemberantasan korupsi harus memecah belah
solidaritas koruptor. Sebab, ternyata pembuktian
terbalik tidak kuat mendobrak benteng yang dibangun
bergotong royong oleh koruptor. Mungkin, 'devide et
impera', sebagai upaya memecah belah solidaritas
kegotongroyongan koruptor harus diterapkan.
Subtsansi UUPTK telah memperkuat solidaritas
kegotongroyongan antarkoruptor saling menutupi.
Sebab memberikan ancaman pidana terhadap pemberi dan
penerima gratifikasi.
Konsep tersebut justru menyebabkan korupsi sulit
diberantas. Hampir dipastikan, pemberi dan penerima
gratifikasi, selamanya tutup mulut. Sebab, jika
salah satu pihak (pelaku) berniat membongkar, sang
pelapor (baik pemberi atau penerima gratifikasi)
akan dikenakan sanksi selaku pelaku korupsi. Tanpa
ada jaminan pengampunan baginya oleh UU untuk tidak
dituntut di pengadilan.
Perubahan revolusioner materi UUTPK yang masih
"konvensional" diperlukan. Beberapa hal di bawah ini
dapat dijadikan pertimbangan.
Pertama, pelapor yang berinisatif pertama (meski
pemberi atau penerima gratifikasi) diberikan
perlindungan oleh UU untuk dibebaskan dari tuntutan
pidana atas tindak pidana korupsi yang telah
dilaporkannya. Ini untuk mendorong pelaku korupsi
yang insyaf agar dapat membantu membongkar korupsi.
Pertimbangannya, bagi pihak yang terpaksa memberikan
gratifikasi untuk menuntut haknya, maka dapat
menyeret pejabat korup ke pengadilan. Di sisi lain,
bagi pemberi gratifikasi kepada pejabat yang bersih
dengan maksud-maksud tertentu, maka pejabat tersebut
dapat membongkar niat busuk pemberi gratifikasi
dengan memperoleh bukti yang valid, yakni dengan
menerima gratifikasi tersebut dan segera
melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Dengan demikian, akan tercipta saling curiga antar
pelaku korupsi dan tidak akan merasa nyaman atas
gratifikasi yang telah diberikan atau diterimanya.
Begitu salah satu pihak melaporkanhanya maka
habislah nasibnya.
Dengan kata lain, "insentif" diberikan untuk memecah
belah solidaritas para koruptor untuk buka mulut.
Sebab, inisiator pertama akan dibebaskan dari
ancaman pidana.
Kedua, ketentuan satu diatas hanya berlaku bagi
tindak pidana yang tidak merugikan kekayaan negara.
Jika terdapat kerugian negara, maka bagi pelapor
(untuk menemukan tersangka lain), cukup diwajibkan
baginya mengembalikan jumlah kerugian negara
tersebut (dengan mempertimbangkan unsur bunga dan
harga pasar), sedangkan tuntuntutan pidana penjara
terhadapnya tidak dikenakan.
Ini dimaksudkan agar tidak disalahgunakan pihak yang berpura-pura membongkar kasus korupsi, namun sebenarnya dia mendapatkan keuntungan ekonomi atas kasus tersebut.
Semoga saja dengan model perlindungan korupsi yang demikian, para mantan koruptor yang telah insyaf akan berbondong-bondong menjadi saksi pelapor. Siapa cepat, dia akan bebas. Kita tunggu.
Gusdur.net
Langganan:
Postingan (Atom)