Tampilkan postingan dengan label BUMN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUMN. Tampilkan semua postingan

Senin, September 27, 2010

PERUBAHAN POSISI PIHAK INDONESIA DALAM REZIM KEGIATAN USAHA HULU LNG PASCA UU MIGAS BARU

Tulisan ini di muat dalam buku Peringatan Satu Tahun Ikatan Kekeluargaan Advokat Universitas Indonesia (IKA ADVOKAT UI), 2010: Silih Asih, Asuh, dan Asah

Oleh : Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum

Keterangan tertulis Pemerintah dalam sidang di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No.002/PUU-I/2003 atas permohonan pengujian (Judicial Review) UU No. 22/2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi (“UU MIGAS BARU”) terhadap UUD 1945 yang terkait dengan kegiatan usaha Gas Alam Cair (Liquefied Natural Gas – “LNG”) menarik untuk ditelaah.
Menurut pemerintah bahwa dalam UU MIGAS BARU pemrosesan gas bumi menjadi LNG dimungkinkan pada kegiatan usaha hulu atau kegiatan usaha hilir. LNG pada kegiatan usaha hulu mengikuti aturan-aturan kontrak pada kegiatan hulu yang masih menganut pada pola cost center melalui cost recovery (merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan usaha hulu). Sedangkan LNG pada kegiatan usaha hilir mengikuti aturan kegiatan usaha hilir melalui izin usaha dan dapat memberikan laba pada Badan Usaha serta pendapatan negara berupa pajak, yang merupakan pola profit center dengan semua pembiayaannya ditanggung oleh Badan Usaha. Baik pada kegiatan usaha hulu maupun kegiatan usaha hilir LNG.
UU MIGAS BARU mengubah posisi pihak Indonesia dalam skema kegiatan usaha hulu LNG, yang sebelumnya diwakili oleh Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (“Pertamina”), kini diwakili oleh Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“BPMIGAS“). Sebab, BPMIGAS sebagai Badan Hukum Milik Negara (“BHMN”) memiliki tugas dan wewenang yang tidak mencakup peran yang dulu dapat dilakukan Pertamina.
Huruf a dan b Pasal 63 UU MIGAS BARU menyebutkan bahwa pada saat Undang-undang ini berlaku (23 November 2001-pen) :(a) dengan terbentuknya BPMIGAS, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract-“PSC”) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada BPMIGAS, (b) dengan terbentuknya BPMIGAS, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada BPMIGAS.
Pasal 63 UU MIGAS BARU tidak memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain. Penjelasan tersebut kita dapatkan dalam penjelasan Pasal 104 huruf a Peraturan Pemerintah No.35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“PP No.35/2004“) bahwa yang dimaksud dengan kontrak lain dalam ketentuan ini adalah kontrak-kontrak yang berkaitan dengan kegiatan kontraktor dalam rangka Kontrak Kerja Sama, antara lain: perjanjian yang terkait dengan pendanaan oleh pihak ketiga, Offtake Agreement, Exchange Agreement, Supply Agreement, Producers Agreement, Transportation Agreement, Plant Processing Agreement, Plant Use Agreement yang kesemuanya merupakan kesatuan dari kontrak-kontrak yang mendukung penjualan Minyak dan Gas Bumi.
Dalam prakteknya, rangkaian kontrak lain selain Production Sharing Contract (Kontrak Bagi Hasil) yang terkait dengan skema kegiatan usaha hulu dalam rezim hukum UU MIGAS LAMA (UU No. 44 Prp./1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 8/ 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara berikut segala perubahannya, terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1974 tentang Perubahan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971) yang telah dicabut oleh UU MIGAS BARU, setidaknya terdiri atas (i) Principles of Agreement (ii) Sales and Purchase Agreement, (iii) Loan Agreement, (iv) Engineering Procurement Construction Contract (EPC Contract), (v) Trustee and Paying Agent Agreement, (vi) Use and Operation of Plant Agreement, (vii) Processing Agreement, (viii) Supply Agreement, dan (ix) Transportation Agreement (secara bersama-sama disebut “RANGKAIAN PERJANJIAN-PERJANJIAN LNG”).
Principles of Agreement dibuat untuk melengkapi PSC yang tidak mengatur mengenai siapa yang membangun Kilang LNG untuk memproses gas bumi menjadi LNG, siapa yang membiayai pembangunan kilang LNG atau mengusahakan untuk mencari pinjaman guna pembangunan kilang LNG, siapa yang akan mengoperasikan kilang LNG dan lain-lain. Sebab, PSC tidak mengatur mengenai hal tersebut.
Untuk membiayai pembangunan kilang LNG, dibutuhkan biaya yang sangat besar dan kreditor yang mau membiayainya. Sebagai tindak lanjutnya, dibuatlah Loan Agreement. Dana yang diperolehnya akan digunakan untuk membangun kilang LNG dan akan dibayar dari hasil penjualan LNG secara proporsional (sesuai bagian LNG para pihak dalam PSC) (cost of sale).
Mengingat pembiayaannya cukup besar, maka biasanya kreditor hanya setuju memberikan pinjamannya jika LNG yang akan diproses oleh kilang LNG sudah ada pembelinya. Untuk itu diperlukan Sales and Purchase Agreement sebagai rangkaian dari Loan Agreement. Mengingat LNG yang akan dijual adalah milik negara RI sampai dengan titik penyerahan, maka LNG tidak dijadikan jaminan pembayaran Loan Agreement. Oleh karenanya, untuk memastikan bahwa debitor melunasi pembayaran Loan Agreement, maka rekening yang digunakan untuk menampung pembayaran penjualan LNG berdasarkan Sales and Purchase Agreement dan pembayaran hutang berdasarkan Loan Agreement, dibuka rekening khusus dan dikelola untuk pembagian dan penyaluran pembayaran hasil penjualan LNG. Untuk itu diperlukan Trustee and Paying Agent Agreement.
Sedangkan untuk membangun kilang LNG yang akan memproses gas bumi menjadi LNG yang spesifikasinya ditentukan berdasarkan Sales and Purchase Agreement, maka diperlukan EPC Contract dengan standar dan kualifikasi tertentu.
Untuk penggunaan dan pengoperasian kilang LNG, dibutuhkan badan hukum yang didirikan oleh pihak Indonesia dengan Kontraktor PSC yang khusus didirikan untuk menggunakan dan mengoperasikan kilang LNG (Operator). Untuk tujuan itu, dibuat Use and Operation of Plant Agreement.
Use and Operation of Plant Agreement mengatur kewajiban pihak Indonesia diantaranya menunjuk Operator untuk menggunakan dan mengoperasikan kilang LNG, melakukan tindakan yang diperlukan untuk menjamin Operator dapat menggunakan dan mengoperasikan kilang, membayar capital budget yang menetapkan biaya penggantian dari barang modal, asuransi kilang LNG selama pembangunan dan pengoperasian kilang LNG, public liability insurance,. pembayaran premi asuransi selama masa pembangunan kilang LNG, membangun kembali dan memperbaiki kilang LNG jika hancur atau rusak, membayar biaya yang timbul sehubungan dengan kegiatan pra operasi yang dilaksanakan oleh Operator, seperti pelatihan staf operasional, membuat panduan operasional, dan kegiatan lainnya.
Untuk memproses gas bumi menjadi LNG (liquefaction) diatur dalam Processing Agreement yang antara lain berisi mengatur spesifikasi (kualitas & komposisi) LNG agar sesuai dengan LNG Sales Agreement, menetapkan program operasi, biaya pemrosesan gas bumi menajdi LNG.
Pembeli LNG tentu membutuhkan kepastian bahwa LNG yang akan dibeli tersedia sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Untuk itu diperlukan perjanjian yang mendukungnya yaitu Supply Agreement. Perjanjian ini antara lain mengatur pihak Indonesia dan Kontraktor PSC yang terkait menyanggupi kepada pembeli bahwa mereka sanggup untuk memasok LNG dengan jumlah dan spesifikasi LNG sesuai dengan Sales and Purchase Agreement.
Jika titik serah LNG berdasarkan Sales and Purchase Agreement di pelabuhan tujuan negara pembeli, maka penjual (yang diwakili oleh Pertamina) yang memiliki LNG sampai dengan titik serah, harus menyediakan sarana transportasi untuk mengirim LNG menuju pelabuhan yang telah ditetapkan. Untuk itu diperlukan Time Charter Party Agreements guna menyewa kapal tanker yang mampu mengangkut LNG dari Indonesia ke tempat pembeli .
Persoalannya, apakah tugas dan/atau kewenangan BPMIGAS berdasarkan rezim UU MIGAS BARU melingkupi juga hak dan kewajiban berdasarkan pengalihan dari kontrak lain yang dialihkan dari Pertamina kepada BPMIGAS, sebagaimana dimaksud Pasal 63 huruf b UU MIGAS BARU dan Pasal 104 PP No.35/2004 huruf a juncto penjelasan huruf a Pasal 104 PP No.35/2004?
Padahal, berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UU MIGAS BARU, diatur bahwa tugas BPMIGAS adalah (a) memberikan pertimbangan kepada Menteri (Energy dan SUmber daya Mineral-pen) atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama, (b) melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama, (c) mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan, (d) memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain sebagaimana dimaksud dalam huruf c, (e) memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran, (f) melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama, (g) menunjuk penjual Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 12 PP No.42/2002 tentang BPMIGAS (“PP No.42/2002”) diatur bahwa dalam menjalankan tugas, BPMIGAS berwenang (a) membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional kontraktor Kontrak Kerja Sama, (b) merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja kontraktor Kontrak Kerja Sama, (c) mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor Kontrak Kerja Sama, (d) membina seluruh aset kontraktor Kontrak Kerja Sama yang menjadi milik negara, (e) melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu. Penjelasannya (hanya huruf c-pen) menguraikan bahwa pengawasan oleh BPMIGAS meliputi kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi termasuk kegiatan pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dari kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang dilakukan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
Dari uraian tersebut di atas, mengingat kedudukan BPMIGAS yang berdasarkan Pasal 45 UU MIGAS BARU selaku BHMN dan cakupan tugas BPMIGAS yang diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU MIGAS BARU serta wewenang BPMIGAS yang diatur Pasal 12 PP No.42/2002, maka BPMIGAS tidak diberikan tugas/mandat dan kewenangan untuk terlibat dalam tindakan-tindakan hukum yang terkait dengan tindakan hukum yang bersifat komersial/menjalankan kegiatan usaha.
Dengan demikian, pengalihan kontrak lain (termasuk baik secara langsung maupun tidak langsung RANGKAIAN PERJANJIAN-PERJANJIAN LNG) yang dialihkan dari Pertamina kepada BPMIGAS, sebagaimana dimaksud Pasal 63 huruf b UU MIGAS BARU dan Pasal 104 PP No.35/2004 huruf a juncto penjelasan huruf a Pasal 104 PP No.35/2004 adalah tidak termasuk dalam lingkup tugas dan kewenangan BPMIGAS sebagaimana diatur UU MIGAS dan PP No.42/2002.
Artinya, rezim kegiatan usaha hulu LNG yang dianut oleh UU MIGAS BARU telah mengubah posisi Indonesia karena pihak Indonesia yang terlibat dalam skema rangkaian perjanjian-perjanjian LNG tidak tercakup dalam tugas dan wewenang BPMIGAS selaku BHMN.
__________________________
(1) Lihat Putusan Perkara No.002/PUU-I/2003 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2005, terbit Selasa tanggal 4 Januari 2005, hal.119-120..
(2)Pasal 63 UU No.22/2001 huruf a dan b mengatur bahwa pada saat Undang-undang ini berlaku (23 November 2001-pen) :(a) dengan terbentuknya BPMIGAS, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada BP MIGAS, (b) dengan terbentuknya BPMIGAS, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada BPMIGAS.
(3) Pasal 104 PP No.35/2004 huruf a dan b mengatur bahwa pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku (14 Oktober 2004 –pen) : (a) Kontrak Bagi Hasil dan kontrak lain yang berkaitan dengan Kontrak Bagi Hasil antara Pertamina dan pihak lain tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan, (b) Kontrak Bagi Hasil dan kontrak lain yang berkaitan dengan Kontrak Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam huruf a, beralih kepada BP MIGAS
(4) PP No.35/2004 diubah dengan PP No.34/2005 yang menyisisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 103A, Pasal 103B, Pasal 103C, dan Pasal 103D dalam PP 35/2004.

Minggu, Februari 14, 2010

Pick a Wisdom from Karaha Bodas Case

Edition of Sinar Harapan 8 May 2007.

Non edited version

By: Sulistiono Kertawacana
Legal practitioner in Jakarta



In Mid-March 2007, the Cayman Islands court awarded that Pertamina breached the Joint Operation Contract (JOC) to Karaha Bodas Company (KBC), the contractor of Power Geothermal (PLTP) of Karaha. Pertamina must pay compensation to KBC as the implementation of the international award Geneva, Switzerland December 18, 2000.

In fact, the Arbitration has been punishing Pertamina and PLN. Pertamina and PLN decided to break Energy Sales Contract (ESC), and Pertamina has violated JOC. Therefore, Pertamina and PLN together and each sentenced to pay compensation KBC some U.S. $ 261,100,000 (U.S. $ 111,100,000 for the costs suffered by KBC and U.S. $ 150 million for profits have accrued to KBC), including 4% interest per annum, commencing from January 1 2001.

Negligent of Legal Aspects

Two projects of PLTP Karaha have been signed on 28 November 1994 i.e JOC and ESC. JOC (Pertamina and KBC) set Pertamina to be responsible for managing the operation of the geothermal and KBC as a contractor. KBC must develop geothermal energy and built, owns, and operates power plants. While the ESC (KBC, Pertamina, and PLN), KBC (as Pertamina and the Contractor under JOC) will supply and sell electricity to PLN. The choice of law, both JOC and ESC are Indonesian law.

However, there is an odd clause which escaped from Pertamina’s and PLN’s attention. Article 15.2 (e) JOC (contained similar contents with Article 9.2 (e) ESC) that the "events of Force Majeure shall include, but not limited to: ... (e) with respect Contractor only, any Government Related events' (events that caused by Force Majeure, including but not limited to: ... (e) only applies to the Contractor (KBC-pen), any action relating to the Government).

Supposedly, the parties involved in the JOC and ESC (Pertamina, PLN, and KBC) prohibited acts in violation of Indonesian law including government actions relevant provisions issued by the project that is binding on all parties. Article 1320 of Indonesian Civil Code stated that "(one of the legal requirements) because the agreement is lawful". Article 1339 of Indonesian Civil Code stated that "the agreement binds not only what is expressly stated therein, but also everything that according to the nature of consent required by (among others-writer) Law".

Furthermore, Article 1337 of Indonesian Civil Code states that "a cause is forbidden if it is prohibited (inter alia- writer) by the Law". The meaning of the Lawt is the legislation, including the government's decision to suspend the project Karaha PLTP. Referring to Article 1335 of Indonesian Civil Code, an agreement with a prohibited reason, does not have the force of law.

This means, according to Indonesian law, Article 15.2 (e) JOC and Section 9.2 (e) adverse ESC Pertamina and PLN is not valid. Force Majeure for Pertamina and PLN should include measures relating to the government.

Pick a Wisdom

At least, there are 3 lessons learned from this incident. First, consider a deep study of law before the government shall suspend / cancel state projects. Therefore, many of the awards have been hurt Indonesia due to cancelation, as the case of Patuha PLTP and PLTP Dieng.

Therefore, if the essence of force majeure clause is similar to JOC and ESC, the cancellation should be submitted by the state through the courts, despite a presidential decree issued on the suspension of the project. This is for testing of force majeure clause of validity of this model according to Indonesian law. This way is more secure. A stronger reason for the state if the cancellation of the contract, sued the foreign investors. Because of the glass eyes of the law of contract cancellation by a court, decision is more neutral than the Presidential Decree.

Second, the Minister of State Owned Enterprises (SOEs) needs to issue a circular letter (accompanied by the legal review) to all SOEs that SOE must reject the proposed force majeure clause in the construction of such clause stated on JOC and ESC. The goal is so that easier for SOEs in negotiations with partners to avoid paying compensation in the future.

Third, it is not enough to suspend / cancel the service-learning project indicated (Corruption, Collusion and Nepotism). Instead, the investigations of corruption come before the cancellation / suspension of the project. The reason of IMF recommendations, almost certainly because of the high cost of the project indicated that the state's financial burden. The goal, if in the midst of corruption investigations, pending projects, international positive perceptions that Indonesia canceled in order to eradicate corruption.

It Has Ever Tried


President Habibie has formed Team 7 Ministers (consisting of the Coordinating and Development Supervision Administrative Reform (chairperson), Finance, Minister of Industries and Trade, Minister of Mining and Energy, State Minister for Research and Technology / Head of BPPT, Minister for National Development Planning / Head of National Development Planning Agency, and State Minister for Administrative Reform of SOEs. The team was given the task to review the various private power contracts (about 27 cases) are considered harmful to Indonesia.

By appointing an advocate i.e Adnan Buyung Nasution (getting power of attorney from Pertamina and PLN), the government intends to cancel the private power contracts through the courts in Indonesia. The reason, the existence of causa and creation are not permitted because accomplished through Corruption Collusion, and Nepotism (CCN-KKN). The strategy is that before it was canceled by the district court, cases of corruption and dirty game of dismantled first. However, this attempt failed because the Attorney General (Andi M Ghalib) did not cooperate to make this effort.

Many private power contracts made with forced and under pressure, according to Indonesian law that parties may feel pressured to cancel the agreement. Paiton case is an early precedent for this. The lawsuit filed in the Central Jakarta District Court dated October 9, 1999. Legal team was ready to provide proof that the contract was full deception and corruption. Former President Director of PLN (Zuhal) was ready to testify that that how he was called on Cendana by Suharto, but he could not come in and just told to wait outside, while the Minister of Finance, Marie Muhammad and the Coordinator Minister S. Affif entered to meet Suharto and. They conferred on the inside, and then Suharto had decided the price, and Zuhaln was forced to sign. Actually, Zuhal disagreed, but Suharto had decided (Adnan Buyung Nasution: 174; 2004).

Furthermore, when President Abdurrahman Wahid (Gus Dur) era came many the pressures from foreign parties, including Ambassador to the United States (U.S.) in Indonesia, and various emissaries who came to Indonesia (U.S. Vice President, Secretary of State, and Henry Kissinger). Also when Wahid visited the United States, he was pressured by the U.S. businessmen and U.S. Senator. Indonesian Ambassador in the U.S., Dorodjatun Kuntjorojakti also was pressed to give advice to the government of Indonesia to revoke Paiton case. Minister of Mining and Energy (it was Susilo Bambang Yudhoyono) did not escape the pressure. Through the IMF, World Bank, and UNDP also launched pressure.

The Indonesian government could not resist and ordered the Director of PLN (it was Adhi Satriya) revoked the cancellation of contract lawsuit toh Paiton. Adhi Satriya refused; still intend to continue the lawsuit. Unfortunately, Adhi Satriya choosed to resign as Managing Director of PLN than wait 'fired' and to fight in court due to differences with the shareholders (the government) for and on behalf of PLN and the public interest. This step is important to test the absolute authority of shareholders of the company when the directors consider harmful and common interests.

We could learn from a Dutch jurisprudence which known as the Forum of Bank Arrest, Arrest Reported January 21, 1955 (N.J 1959 N.43). The court received the lawsuit and canceled the decision of the Board of Directors Meeting. The reason, Annual General Meeting of Shareholders decisions contrary to propriety and good faith.

Two important opportunities for the development of Indonesian law has been lost. Indonesian economy still slumped and stumbled sideways between the international perception of the investment climate and legal certainty Indonesia. We must note that investors from the country's famous anti-corruption, has applied double standards when fighting corruption a loss. Be aware !!!

Sabtu, Januari 23, 2010

Pertamina VS Karaha Bodas: Judge the Law-Enforcement Perceptions in Indonesia?

Published on Bisnis Indonesia on 7 and 8 July 2004.

By: Sulistiono Kertawacana
Legal Practitioner in Jakarta

After going through the exhausting dispute, finally PERTAMINA intended to pay claims Karaha Bodas Co.. LLG (KBC) in the amount of U.S. $ 250 million to meet the decision of International Arbitration (U.S. $ 291 million-pen) because of suspension of the geothermal power plant (PLTP) Karaha project.

However, two days later (May 13, 2004), two from PERTAMINA (Priyanto as the former head of the Division of Geothermal and Syafei Sulaeman as the former chief sub Geothermal) and Robert Mc Kitchen (U.S. citizens) as Vice President KBC suspected under corruption case of Karaha PLTP project.

Karaha Geothermal Power Plant Project is a project to develop a geothermal power plant 400 Mega Watt (MW). There are two contracts signed on November 28, 1994. Namely, (i) Joint Operation Contract between PERTAMINA and KBC (associated with geothermal field development) and (ii) Energy Sales Contract between between PERTAMINA, KBC, and PLN that will act as buyer of electricity generated.

However, since the economic crisis and the recommendations from the International Monetary Fund (IMF), on 20 September 1997 the President through Presidential Decree No.39/1997 on Suspension / Re-Assessment of Government Project, State Owned Enterprises, and Private Businesses Associated with the Government /State.

Presidential was suspending the Karaha PLTP project until economic situation recovers. Furthermore, on 1 November 1997 through Presidential Decree No.47/1997, the Project should be continued. However, based on Presidential Decree No. 5 / 1998 on January 10, 1998 the Project was back on suspended.

Eventually the government, on March 22, 2002 through Presidential Decree No.15/2002, intends to continue the project. Furthermore, supported also by the Decree of the Minister of Energy and Mineral Resources of No.216K/31/MEM/2002 Geothermal Power Plant Project Status Determination of Suspended Karaha Being Forwarded.

From this series of stories, suspension PLTP the Karaha project was not purely PERTAMINA’s intention, but it is to carry out government policy.

In fact, government policy recommendations were backed by the International Monetary Fund (IMF), which is indicated by the Letter of Intent Government of Indonesia to the IMF to overcome the economic crisis. Of course, the crisis itself (and is internationally recognized) is not the will of the government. That is, suspension of the project is the impact of economic crisis follow-up beyond the control of the government; let alone PERTAMINA.

Termination of a contract by one party (not the agreement of the parties), in view of law, can be caused by defaults (default or non-fulfillment) or force majeur (emergency situation).

Starting point that distinguishes the two is the will to cancel the contract. If the intention to end the contract is one of the free will of parties, so he defaults. Meanwhile, if the failure of one party to fulfill the contract due to performance in circumstances beyond the control of one party, so in a state of forced and unpredictable events, called a force majeure.

Categorizing conditions in force majeur are (among others) government policies / regulations, natural disasters (floods, earthquakes, mountain erupted), war, riots, and armed rebellion.

If the contract cancellation is caused by the defaults, then the injured parties deserve compensation. Not so, however, if caused by force majeure. Because, on force majeur, the event is outside of the will of the parties and are not predictable.

Thus, the suspension of the project by PERTAMINA Geothermal Power Plant Karaha is force majeure. However, KBC does not care about the reason for that is the basis of suspension of project. Proved, in April 1998 sued KBC PERTAMINA through International Arbitration in Switzerland.

A Pathetic Dispute

Of the total claim for damages KBC to PERTAMINA for U.S. $ 560 million (U.S. $ 100 job losses that have been implemented for 8 exploration wells and 20 small wells by KBC million plus the value of benefits to be received), arbitration "only" claim KBC grant worth U.S. $ 261 million.

Indeed, there are some things that dubious "honesty" KBC in the disputed project. First, according to the Indonesian Geothermal Association (API) there are indications KBC to mark up for financing the project (of course in cooperation with the Indonesian side). Because, according to the API as well invests on average U.S. $ 3 million, so the maximum cost of about U.S. $ 40 million (KBC claim his expenditure of U.S. $ 100 million).

Second, based on insurance claims that have been received by KBC and the actual reserves of evidence, only 60 MW (Kompas 6/6/03). Consequently, KBC's ability to build projects for 400 MW Geothermal Power Plant as stated in the contract is still in doubt.

Third, KBC has received an insurance claim from Lloyd's - London on hold the project is U.S. $ 75 million. This means that if the insured value of the total project, the project is U.S. $ 75 million (much smaller than KBC lawsuit amounted to U.S. $ 100 for damages expenditure value KBC).

Fourth, there is a difference in the value of projects already carried out (expenditure) are reported to the Directorate General of Taxation (U.S. $ 83 million) with the proposed arbitration (approximately U.S. $ 100 million).

But, International Arbitration in 2000 had granted the lawsuit KBC with PERTAMINA to pay punitive damages of U.S. $ 261 million (. U.S. $ 111.1 million for expenses and losses of U.S. $ 150 million for loss profits (lost of profit) plus interest of four percent per year since 1 January 2001).

PERTAMINA has proposed a variety of legal efforts to cancel the implementation of the International Arbitration decision in foreign courts where the assets of PERTAMINA.

Based on Article 5 paragraph (2) b of the Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award dated June 10, 1958 ( "1958 New York Convention") - Indonesia has ratified a presidential decree stipulated that the petition No.34/1981- enforcement of arbitration International can be rejected as contrary to public order (public policy / public order).

Reasons for refusing a weapon contrary to public order are very flexible. Even sometimes seems so subjective. Especially for the countries that were defeated. In general, the public order is defined as the order, prosperity and security, justice, or not contrary to law.

By considering the suspension of the project based on state policies as stipulated in the Decree, then on August 27, 2002 the Central Jakarta District Court has awarded to grant the request of PERTAMINA that refused the execution of international-arbitration award.

The reason, contrary to public order, as allowed by Article 66 of Law No.30/1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution.

The fate of Assets

The issue is, how the fate of PERTAMINA's assets frozen by the courts in foreign countries? KBC has sued for the conduct of arbitration decision in the courts of New York, Texas, Hong Kong, and Canada to be able to freeze the assets of PERTAMINA in the country.

New York court had frozen the existing PERTAMINA deposits in the Bank of New York. PERTAMINA fate that will be decided by the Supreme Court (Supreme Court / Supreme Court) in New Oreleans, United States (U.S.) in September 2004 to come.

Therefore, efforts to uncover cases of police corruption in Karaha PLTP project are one of the searches for new evidence (Novum) other than Novum in the form of an insurance claim payment from the Lloyd-London over the suspension of the project.

As we know, the U.S. has a Foreign Corruption Practice Act (FCPA) in 1977 which has been changed several times. U.S. companies operating in Foreign Affairs do FCPA jurisdiction outside the United States to reach that prohibits the practice of corruption (including bribery). Threats are fines up to U.S. $ 2 million for legal entities or U.S. $ 250 thousand for individuals and imprisonment of up to 5 years..

It is said, as quoted by Tempo Magazine, one had thought that corruption was investigated by the police include the status of PT Sumarah in Karaha Bodas. Allegedly, 10% of shares owned PT Karaha Bodas Sumarah is blank stock only alias no deposit on paid capital.

That is, Karaha Bodas was reasonably suspected to violate FCPA. The hope, if only stock proven no paid up, then the U.S. Supreme Court that will decide the case in September 2004, will refuse enforcement of international arbitration on the grounds KBC has been violated Indonesian law in violation of the FCPA substantially.

Therefore, police, prosecutors, and courts in Indonesia to quickly process cases of alleged corruption and KBC are expected to be terminated before the U.S. Supreme Court decision. It is a work effort that cannot be delayed.

Investment Insurance

Indeed, to anticipate the risk of direct foreign investment (especially in developing countries), the World Bank (WB) has initiated the Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). The Convention has received the World Bank in the 1985 annual meeting in Seoul (South Korea). All member countries of the World Bank and Switzerland can be a MIGA member (Article 4).

MIGA will promote investment flows MIGA Convention participating countries (especially developing countries). The way is to provide guarantees against non-commercial risk on capital investment (direct) in a participating country (host country) that came from countries other participants (investors).

Non-commercial risk is the risk of (i) monetary transfer, (ii) the revocation or nationalization of property and similar actions, (iii) breach of contract (breach of contract), and (iv) war or civil war (Article 11 a), but it can also be extended provided that the guarantee is requested by the host country and investors.

Indonesia has ratified the convention signed in Washington DC on June 27, 1986 and put it in the form of Presidential Decree No.31/1986 on the Ratification of MIGA Convention.

Judge Perception?

If we look, the international award granted claims of foreign investors due to the suspension or cancellation of projects in Indonesia is more of an international perception of the poor in the Indonesian legal certainty than the legal substance of the suspension or cancellation of the reasons the project itself.

Because, in fact we have a strong reason and fundamental to review various private power projects that were approved in the Suharto era. Whether those force majeur reasons for the crisis that hit Indonesia and indicated the reasons of corruption, collusion or nepotism ("CCN").

During his rule, Suharto has approved 27 private power contracts are handled by foreign companies in partnership with local companies owned by Suharto's family and cronies. Several of contracts clumsiness began to unfold after his downfall.

It is said that 20 of the 27 private power projects were not feasible. Even sometimes a tricky course (because not necessary). Private electricity prices to buy comparatively expensive PLN ie between U.S. $ 5.6 cents (Rp504) to U.S. $ 8.6 cents (Rp774) per kWh. Though the price of PLN electricity only Rp161 per kWh. In comparison, private electricity prices in Thailand, Laos, and Philippines as well, each for U.S. $ 4.2 cents, U.S. $ 1.29 cents and 5.3 cents (Trust No.34 Year II).

Clearly, the transaction is detrimental Indonesia. Therefore, although no reason was the economic crisis the Indonesian government should have a strong legal basis to review various private power projects are for the sake of Indonesian consumers.

Moreover, the IMF has also recommended the cancellation or suspensions of project reinforced by economic crisis conditions. That is, not the subjective reasons for the government of Indonesia alone; let alone PERTAMINA.

However, what power, bad image of law enforcement in Indonesia are now the 'attractiveness' of the International Arbitration to consider punishing RI. We must unite to provide an adequate explanation. It was this time, and Indonesia in the correct position.

Hopefully PERTAMINA case that we all can realize that sometimes perception is more important than objective conditions. Therefore, the perception is built in a long period.

Senin, Januari 12, 2009

Memetik Hikmah Kasus Karaha Bodas

Edisi Sinar Harapan 8 Mei 2007.

(Edisi sebelum diedit)

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta

Pertengahan Maret 2007, Pengadilan Cayman Islands memutus bersalah Pertamina dalam kasus gugatan pelanggaran Joint Operation Contract (JOC) terhadap Karaha Bodas Company (KBC), kontraktor Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha. Pertamina wajib membayar ganti rugi kepada KBC sebagai implementasi putusan arbitrase internasional Geneva, Swiss tanggal 18 Desember 2000.

Abitrase tersebut sebenarnya menghukum Pertamina dan PLN. Pertamina dan PLN diputus melanggar Energy Sales Contract (ESC), dan Pertamina telah melanggar JOC . Karenanya, Pertamina dan PLN secara bersama dan masing-masing dihukum membayar ganti rugi KBC sejumlah US$261,100,000 (US$111,100,000 untuk biaya yang diderita KBC dan US$150 juta untuk laba yang seharusnya diperoleh KBC ), termasuk bunga 4% per tahun, terhitung sejak 1 Januari 2001.

Lalai Aspek Hukum


Pada 28 November 1994 telah disepakati 2 kontrak untuk proyek PLTP Karaha yaitu JOC dan ESC. JOC (Pertamina dan KBC) menetapkan Pertamina bertanggung jawab mengelola pengoperasian geothermal dan KBC sebagai Kontraktor. KBC wajib mengembangkan energi geothermal dan membangun, memiliki, dan mengoperasikan pembangkit tenaga listrik. Sedangkan dalam ESC (KBC, Pertamina, dan PLN), KBC (sebagai Kontraktor Pertamina dan berdasarkan JOC) akan memasok dan menjual tenaga listrik kepada PLN. Baik JOC maupun ESC pilihan hukumnya adalah hukum Indonesia.

Meskipun demikian, ada klausul janggal yang luput dari pengamatan Pertamina dan PLN. Pasal 15.2 (e) JOC (isi senada termaktub Pasal 9.2 (e) ESC) bahwa “events of Force Majeure shall include, but not limited to:…(e) with respect Contractor only, any Government Related event” (kejadian-kejadian yang disebabkan oleh Keadaan Kahar termasuk tetapi tidak terbatas pada: …(e) hanya berlaku bagi Kontraktor (KBC-pen), setiap tindakan yang berhubungan dengan Pemerintah).

Semestinya, para pihak yang terlibat dalam JOC dan ESC (Pertamina, PLN, dan KBC) dilarang melakukan tindakan yang melanggar hukum Indonesia. Termasuk, tindakan pemerintah menerbitkan ketentuan terkait dengan proyek yang mengikat semua pihak. Pasal 1320 KUHPerdata mengatur ”(salah satu syarat sahnya) perjanjian adalah sebab yang halal”. Pasal 1339 KUHPerdata menetapkan, ”persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan dituntut menurut (diantaranya -pen) UU”.

Selanjutnya, Pasal 1337 KUPerdata menyatakan, “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang (diantaranya-pen) oleh UU”.Yang dimaksud UU adalah perundang-undangan, termasuk keputusan pemerintah menangguhkan proyek PLTP Karaha. Merujuk pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian dengan sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Artinya, menurut hukum Indonesia, pasal 15.2(e) JOC dan Pasal 9.2 (e) ESC yang merugikan Pertamina dan PLN tidak sah. Keadaan kahar bagi Pertamina dan PLN harus termasuk juga tindakan yang berhubungan dengan pemerintah.

Memetik Hikmah

Setidaknya, ada 3 hikmah yang dipetik dari peristiwa ini. Pertama, perlu dipertimbangkan kajian hukum yang mendalam sebelum pemerintah menangguhkan/membatalkan proyek-proyek BUMN. Sebab, berbagai putusan arbitrase telah merugikan Indonesia akibat pembatalannya, seperti kasus PLTP Patuha dan PLTP Dieng.

Karenanya, jika inti klausul force majeure sama dengan JOC dan ESC, pembatalan sebaiknya diajukan oleh BUMN tersebut melalui pengadilan, meski sudah diterbitkan keputusan presiden atas penangguhan proyek tersebut. Sekaligus menguji keberlakuan klausul force majeure model ini menurut hukum Indonesia.. Cara ini lebih aman. Alasan yang lebih kuat bagi BUMN jika dibatalkannya kontrak, diperkarakan investor asing. Sebab, dari kaca mata hukum pembatalan kontrak melalui putusan pengadilan lebih netral ketimbang kepres.

Kedua, Menteri BUMN perlu menerbitkan surat edaran (dengan disertai ulasan hukum) kepada semua BUMN bahwa BUMN wajib menolak usulan klausul force majeure dengan konstruksi hukum seperti JOC dan ESC. Tujuannya, mempermudah BUMN dalam bernegosiasi dengan rekanannya agar terhindar dari pembayaran ganti rugi di kemudian hari.

Ketiga, tidak cukup hanya menangguhkan/membatalkan proyek yang terindikasi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Sebaiknya, pengusutan korupsi didahulukan sebelum pembatalan/penangguhan proyek. Alasan rekomendasi IMF, hampir pasti karena proyek terindikasi biaya tinggi sehingga membebani keuangan negara. Tujuannya, jika di tengah pengusutan KKN, proyek ditangguhkan, persepsi positif internasional bahwa Indonesia membatalkannya dalam rangka pemberantasan korupsi.

Pernah Dicoba

Presiden Habibie pernah membentuk Tim 7 Menteri (terdiri dari Menko Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (ketua), Menkeu, Menperindag, Mentamnben, Menneg Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, Meneg/Kepala Bapenas, dan Menneg Pendayagunaan BUMN. Tim tersebut diberi tugas me-review berbagai kontrak listrik swasta (sekitar 27 kasus) yang dianggap merugikan Indonesia.

Dengan menunjuk advokat Adnan Buyung Nasution (mendapat kuasa dari Pertamina dan PLN), pemerintah berniat membatalkan berbagai kontrak listrik swasta melalui pengadilan di Indonesia. Alasannya, eksistensi kelahiran dan pembuatannya tidak halal karena terlaksana melalui KKN. Strateginya, sebelum dibatalkan melalui pengadilan negeri, kasus KKN dan permainan kotornya dibongkar dulu. Namun, upaya ini gagal karena Jaksa Agung (Andi M Ghalib) tidak kooperatif untuk mewujudkan upaya ini.

Banyak kontrak listrik swasta dibuat dengan terpaksa dan di bawah tekanan, sesuai hukum Indonesia pihak yang merasa ditekan dapat membatalkan perjanjian. Kasus Paiton dijadikan contoh awal untuk ini. Gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 9 Oktober 1999. Tim hukum siap memberikan bukti bahwa kontrak sarat tipu muslihat dan KKN. Mantan Direktur Utama PLN (Zuhal) siap bersaksi. Untuk menyatakan bagaimana dia dipanggil ke Cendana oleh Suharto, tapi tidak boleh masuk dan hanya disuruh menunggu di luar. Sedangkan yang masuk menemui Suharto adalah Menkeu Marie Muhammad dan Menko S. Affif. Mereka berunding di dalam, kemudian keluar Suharto sudah memutuskan harganya sekian, dan Zuhal dipaksa harus menandatangani. Sebenarnya Zuhal tidak setuju, tapi Suharto sudah memutuskan (Adnan Buyung Nasution:174; 2004).

Selanjutnya, zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berbagai tekanan datang dari pihak luar negeri termasuk Dubes Amerika Serikat (AS) di Indonesia, dan berbagai utusannya yang datang ke Indonesia (Wapres AS, Menlu AS, dan Henry Kissinger). Juga waktu kunjungan Gus Dur ke AS ditekan para pengusaha AS dan Senator AS. Dubes Indonesia di AS, Dorodjatun Kuntjorojakti juga ditekan supaya memberi nasihat kepada pemerintah RI agar mencabut kasus Paiton. Mentamben (ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono) pun tak luput dari tekanan. Melalui IMF, World Bank, dan UNDP tekanan pun dilancarkan.

Pemerintah Indonesia tak kuasa melawannya dan memerintahkan Dirut PLN (ketika itu Adhi Satriya) mencabut gugatan pembatalan kontrak dengan Paiton. Adhi Satriya menolak, tetap berniat melanjutkan gugatan. Sayangnya, Adhi Satriya memilih mengundurkan diri sebagai Dirut PLN ketimbang menunggu 'dipecat' dan melakukan perlawanan di pengadilan akibat perbedaan pandangan dengan pemegang saham (pemerintah) demi kepentingan PLN dan publik. Langkah ini penting guna menguji absoluditas kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap merugikan dan kepentingan umum.

Kita dapat memetik pelajaran yurisprudensi di Belanda yang dikenal dengan Forum Bank Arrest, Arrest H.R. 21 Januari 1955 (N.J 1959 N.43). Pengadilan menerima gugatan Direksi dan membatalkan keputusan RUPS. Alasannya, keputusan RUPS bertentangan dengan kepantasan dan itikad baik.

Dua kesempatan emas yang penting bagi perkembangan hukum Indonesia telah hilang. Ekonomi Indonesia masih terpuruk dan terseok-seok diantara persepsi miring internasional bagi iklim investasi dan kepastian hukum Indonesia. Perlu kita catat, investor dari negeri yang terkenal anti korupsi, berstandar ganda ketika pemberantasan korupsi merugikannya. Sadarlah!!!

Pertamina VS Karaha Bodas: Mengadili Persepsi Hukum di Indonesia?

Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi tanggal 7 dan 8 Juli 2004.


Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta

Setelah melalui sengketa yang melelahkan, akhirnya Pertamina berniat membayar klaim Karaha Bodas Co. LLG (KBC) sebesar US$250 juta untuk memenuhi putusan Arbitrase Internasional (sebesar US$ 291 juta –pen) atas ditangguhkannya proyek pembangkit listrik panas bumi (PLTP) Karaha.

Namun, dua hari kemudian (13 Mei 2004), dua orang dari Pertamina (Priyanto selaku mantan Kepala Divisi Panas Bumi dan Syafei Sulaeman selaku mantan Kepala Subdirektorat Panas Bumi) dan Robert Mc Kitchen (warga negara AS) selaku Vice President KBC dijadikan tersangka kasus korupsi proyek PLTP Karaha.

Proyek PLTP Karaha merupakan proyek pengembangan listrik tenaga panas bumi 400 Mega Watt (MW). Ada dua kontrak yang diteken pada 28 November 1994. Yaitu (i) Joint Operation Contract antara Pertamina dan KBC (berkaitan dengan pengembangan lapangan panas bumi) dan (ii) Energy Sales Contract antara antara Pertamina, KBC, dan PLN yang akan bertindak sebagai pembeli tenaga listrik yang dihasilkan.

Namun, karena krisis ekonomi dan atas rekomendasi International Monetary Fund (IMF), pada 20 September 1997 presiden melalui Keppres No.39/1997 tentang Penanggguhan/Pengkajian Kembali Proyek Pemerintah, BUMN, Dan Swasta Yang Berkaitan Dengan Pemerintah/BUMN.

Kepres tersebut menangguhkan pelaksanaan proyek PLTP Karaha sampai keadaan ekonomi pulih. Selanjutnya, pada 1 November 1997 melalui Kepres No.47/1997 proyek diteruskan. Namun, berdasarkan Keppres No.5/ 1998 pada tanggal 10 Januari 1998 proyek kembali di tangguhkan.

Meski akhirnya pada 22 Maret 2002 pemerintah melalui Keppres No.15/2002, berniat melanjutkannya proyek. Selanjutnya, didukung juga dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.216K/31/MEM/2002 tentang Penetapan Status Proyek PLTP Karaha dari Ditangguhkan Menjadi Diteruskan.
Dari rentetan kisah ini, penangguhan proyek PLTP Karaha bukan kehendak Pertamina murni. Tapi, dalam rangka menjalankan kebijakan pemerintah.

Bahkan, kebijakan pemerintah pun dilatarbelakangi rekomendasi International Monetary Fund (IMF) yang dibuktikan dengan Letter of Intent Pemerintah RI kepada IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi. Tentu saja, krisis itu sendiri (dan sudah diakui internasional) bukan kehendak pemerintah.

Artinya, penangguhan proyek merupakan dampak ikutan krisis ekonomi yang di luar kontrol Pemerintah RI. Apalagi Pertamina.
Dihentikannya suatu kontrak oleh salah satu pihak (bukan kesepakatan para pihak), dalam kacamata hukum, dapat disebabkan oleh wanprestasi (default atau non fulfilment) atau force majeur (keadaan yang memaksa).

Titik tolak yang membedakan keduanya adalah kehendak membatalkan kontraknya. Jika niat mengakhiri kontrak merupakan kehendak bebas salah satu pihak, maka ia wanprestasi. Sedangkan, jika kegagalan salah satu pihak memenuhi prestasi dalam kontrak disebabkan situasi di luar kontrol salah satu pihak, sehingga dalam keadaan terpaksa dan kejadiannya tidak dapat diprediksikan, disebut force majeure.

Keadaan yang terkategori dalam force majeur (diantaranya) kebijakan pemerintah/peraturan, bencana alam (banjir, gempa bumi, gunung meletus), perang, kerusuhan, dan pemberontakan bersenjata.

Jika pembatalan kontrak disebabkan oleh wanprestasi, maka pihak yang dirugikan layak mendapat ganti rugi. Namun, tidak demikian jika disebabkan oleh force majeure. Sebab, force majeur kejadiaanya di luar kehendak para pihak dan sangat tidak bisa diperkirakan.

Dengan demikian, penangguhan proyek PLTP Karaha oleh Pertamina adalah force majeure. Namun, KBC tidak peduli akan alasan yang menjadi dasar ditangguhkannya proyek tesebut. Terbukti, pada April 1998 KBC menggugat Pertamina melalui Arbitrase Internasional di Swiss.

Sengketa Yang Melelahkan

Dari total gugatan ganti rugi KBC kepada Pertamina sebesar US$560 juta (US$100 kerugian proyek yang sudah dilaksanakan untuk eksplorasi 8 sumur dan 20 sumur kecil oleh KBC juta plus nilai keuntungan yang akan diterima), Arbitrase “hanya” mengabulkan klaim KBC senilai US$ 261 juta.

Sesungguhnya, ada beberapa hal yang meragukan “kejujuran” KBC dalam proyek yang disengketakan tersebut. Pertama, menurut Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) terdapat indikasi KBC melakukan mark up untuk pembiayaan proyek tersebut (tentu saja bekerja sama dengan pihak Indonesia). Sebab, menurut API investasi per sumur rata-rata US$3 juta, sehingga biayanya maksimal sekitar US$ 40 juta (KBC mengklaim jumlah expenditure-nya US$100 juta).

Kedua, berdasarkan klaim asuransi yang sudah diterima KBC dan bukti cadangan yang sebenarnya hanya 60 MW (Kompas 6/6/03). Karenanya, kesanggupan KBC membangun proyek PLTP sebesar 400 MW sebagaimana tercantum dalam kontrak masih diragukan.

Ketiga, KBC telah menerima klaim asuransi dari Lloyd - London atas penangguhan proyek tersebut sebesar US$75 juta. Artinya -jika yang diasuransikan total project- nilai proyek tersebut US$75 juta (jauh lebih kecil dari tuntutan ganti rugi KBC sejumlah US$100 atas kerugian nilai expenditure KBC).

Keempat, terdapat selisih nilai proyek yang sudah dilaksanakan (expenditure) yang dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (US$83 juta) dengan yang diajukan pada arbitrase (sekitar US$100 juta).

Tapi, Arbitase Internasional di tahun 2000 telah mengabulkan gugatan KBC dengan menghukum Pertamina membayar ganti rugi US$261 juta (.US$111,1 juta untuk kerugian pengeluaran dan US$150 juta untuk kerugian keuntungan (lost of profit) ditambah bunga empat persen per tahun sejak 1 Januari 2001).

Pertamina telah mengajukan berbagai upaya hukum untuk membatalkan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional di pengadilan luar negeri tempat aset Pertamina.

Berdasarkan pasal 5 ayat (2) huruf b dari Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award tanggal 10 Juni 1958 (“Konvensi New York 1958”) - Indonesia telah meratifikasinya dengan Keppres No.34/1981- ditetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dapat ditolak karena bertentangan dengan ketertiban umum (public policy/orde public).

Alasan menolak dengan senjata bertentangan dengan ketertiban umum memang sangat fleksibel. Bahkan kadang terkesan sangat subyektif. Khususnya bagi pihak negara yang dikalahkan. Secara umum ketertiban umum diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan dan keamanan, keadilan, atau tidak bertentangan dengan hukum.

Dengan mempertimbangkan penangguhan proyek yang didasarkan pada kebijakan negara yang tertuang dalam Keppres, maka pada 27 Agustus 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan Pertamina untuk menolak pelaksaan keputusan arbitrase Internasional.

Alasannya, bertentangan dengan ketertiban umum sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 66 UU No.30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Nasib Aset

Persoalannya, bagaimana nasib aset Pertamina yang sudah dibekukan oleh pengadilan di luar negeri? KBC telah menggugat untuk pelaksanan putusan Arbitrase di pengadilan New York, Texas, Hong Kong, dan Kanada untuk dapat membekukan aset Pertamina yang ada di negara tersebut.

Pengadilan New York telah membekukan simpanan Pertamina yang ada di Bank of New York. Nasib pertamina akan diputus oleh Supreme Court (Mahkamah Agung /MA) di New Oreleans, Amerika Serikat (AS) pada bulan September 2004 mendatang.

Karenanya, upaya kepolisian untuk membongkar kasus korupsi pada proyek PLTP Karaha merupakan salah satu upaya mencari bukti baru (novum) selain novum yang berupa pembayaran klaim asuransi dari Llyod-London atas penangguhan proyek tersebut.

Seperti kita ketahui, AS memiliki Foreign Corruption Practice Act (FCPA) 1977 yang telah diubah beberapa kali. Jurisdiksi FCPA menjangkau di luar AS yang melarang praktek korupsi (termasuk penyuapan) yang dilakukan oleh perusahaan AS yang beroperasi di Luar Negeri. Ancamannya, denda hingga US$2 juta untuk badan hukum atau US$ 250 ribu untuk individu dan pidana penjara hingga 5 tahun.

Konon –sebagaimana dikutip Tempo- salah satu sangkaan korupsi yang sedang diusut oleh Polri antara lain status saham PT Sumarah dalam Karaha Bodas. Diduga 10% saham yang dimiliki PT Sumarah dalam Karaha Bodas hanya saham kosong alias tak menyetorkan modal.

Artinya, patut diduga Karaha Bodas terindikasi melanggar FCPA. Harapannya, jika terbukti hanya saham kosong, maka MA di AS yang akan memutuskan perkara tersebut pada September 2004, akan menolak pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dengan alasan KBC telah telah melanggar UU di Indonesia yang secara substansi melanggar FCPA.

Karenanya, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan di Indonesia harus cepat memproses kasus dugaan korupsi KBC tersebut dan diharapkan dapat diputus sebelum putusan MA di AS. Sungguh suatu upaya kerja yang tidak bisa ditunda-tunda.

Asuransi Investasi

Sesungguhnya, untuk mengantisipasi resiko penanaman modal asing langsung (terutama di negara berkembang), World Bank (WB) telah memprakarsai Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Konvensi tersebut telah diterima World Bank dalam sidang tahunan 1985 di Seoul (Korea Selatan). Semua negara anggota World Bank dan negara Swiss dapat menjadi anggota MIGA (pasal 4).

MIGA berkehendak memajukan arus investasi negara peserta Konvensi MIGA (terutama negara berkembang). Caranya, memberikan jaminan terhadap non commercial risk atas penanaman modal (langsung) dalam suatu negara peserta (host country) yang datangnya dari negara peserta lainnya (investor).

Resiko non komersial adalah resiko terhadap (i) transfer moneter, (ii) pencabutan hak milik atau nasionalisasi dan tindakan serupa, (iii) pelanggaran perjanjian (breach of contract), dan (iv) perang atau perang saudara (pasal 11 a). Namun dapat juga diperluas jaminannya asalkan dimohon oleh host country dan investor.

Indonesia telah meratifikasinya dengan menandatangani konvensi tersebut di Washington DC pada 27 Juni 1986 dan menuangkannya dalam bentuk Kepres No.31/1986 tentang Pengesahan Konvensi MIGA.

Mengadili Persepsi?

Kalau kita cermati, berbagai putusan arbitrase internasional yang mengabulkan gugatan para investor asing akibat penangguhan atau pembatalan proyek di Indonesia adalah lebih merupakan persepsi internasional terhadap buruknya kepastian hukum di Indonesia ketimbang substansi hukum alasan penangguhan atau pembatalan proyek itu sendiri.

Sebab, sesungguhnya kita mempunyai alasan yang kuat dan mendasar untuk me-review berbagai proyek listrik swasta yang telah disetujui di era Soeharto. Baik itu alasan force majeur karena krisis yang menimpa Indonesia maupun alasan terindikasi korupsi, kolusi, atau nepotisme (“KKN”).

Semasa pemerintahannya, Soeharto telah menyetujui 27 kontrak listrik swasta yang ditangani perusahan asing dengan bermitra dengan perusahaan lokal milik keluarga dan kroni Soeharto. Dan berbagai kejangggalan akan kontrak itu pun mulai terungkap pasca kejatuhannya.

Konon, 20 dari 27 proyek listrik swasta itu tidak layak. Bahkan kadang akal-akalan saja (karena sesungguhnya tidak diperlukan). Harga listrik swasta yang harus dibeli PLN terhitung mahal yakni antara US$5,6 sen (Rp504) sampai US$8,6 sen (Rp774) per kWh. Padahal harga listrik PLN saja Rp161 per kWh. Sebagai perbandingan, harga listrik swasta di Thailand, Laos, dan Filipina juga masing-masing sebesar US$4,2 sen, US$1,29 sen, dan 5,3 sen (Trust No.34 Tahun II).

Jelas transaksi tersebut sangat merugikan Indonesia. Karenanya, meski bukan alasan krisis ekonomi pun semestinya pemerintah Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat untuk me-review berbagai proyek listrik swasta tersebut demi kepentingan konsumen Indonesia.

Apalagi berbagai pembatalan atau penangguhan proyek tersebut diperkuat dengan kondisi krisis ekonomi yang juga telah direkomendasikan IMF. Artinya, bukan alasan subyektif pemerintah RI semata. Apalagi Pertamina.

Namun, apa daya, citra buruk penegakan hukum di Indonesia lebih menjadi ‘daya tarik’ yang di pertimbangkan Arbitrase Internasional untuk menghukum RI. Kita mesti bersatu untuk memberikan penjelasan yang memadai. Sungguh kali ini Indonesia dalam pihak dan posisi yang benar.

Semoga kasus Pertamina itu dapat menyadarkan kita semua bahwa terkadang persepsi lebih penting ketimbang kondisi obyektif. Sebab, persepsi dibangun dalam kurun yang panjang.

Jumat, November 21, 2008

Transformasi Pertamina, Menuju Kelas Dunia

Tulisan ini dipublikasikan Majalah Warta Pertamina Edisi No.10/THN XLIII/November/2008.

Oleh: Sulistiono Kertawacana

Pertamina sudah mencanangkan Transformasi sejak 2 tahun lalu. Meskipun dukungan aktif karyawan terus meningkat, tapi masih belum ideal. Berdasarkan hasil Theme-o-Meter ketiga menunjukkan dukungan mencapai 28% (melonjak 200% dibandingkan hasil Theme-o-Meter pertama). Peningkatan yang signifikan, meskipun belum mencapai angka ideal minimum 30% (Media Pertamina No.32, Tahun XLIV, 11 Agustus 2008).
Apakah sulitnya mencapai angka ideal mencerminkan masyarakat Indonesia pada umumnya yang sulit bertransformasi menuju kemajuan? Bisakah orang Indonesia -yang menurut Mochtar Lubis (1977) bersifat munafik/hipokrit, yang diantaranya menyuburkan sikap Asal Bapak Senang, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, feodal, percaya tahkyul. dan lemah watak/karakternya – mampu membentuk korporasi yang berkelas dunia?
Benarkah bendapat ekonom dan sosiolog Jerman abad ke-19 Max Weber dalam The Protestant Work Ethic and Spirit of Capitalism bahwa ada beberapa kultur seperti protestanisme yang lebih cocok dengan pembangunan ekonomi.

Jerman dan Jepang Bisa Berubah


Bangsa Jerman dan Jepang yang kini terkenal memiliki otak cerdas, budaya kerja super disiplin, dan berwawasan luas, pada awalnya merupakan bangsa yang dipandang tidak memiliki etos kerja yang positif dalam amatan para ilmuwan.
Sebelum Jerman meningkatkan ekonominya pada pertengahan abad ke-19, orang Inggris menganggap orang Jerman merupakan orang yang bodoh; jahat, dan lamban (T. Hodsgskin:1820). Mary Shelley, pengarang Frankenstein, dalam bukunya Rambles in Germany and Italy (1843) menilai orang Jerman tidak pernah bergegas.
Rupanya tak berbeda dengan orang Inggris, orang Perancis yang berbatasan langsung dengan Jerman pun menilai negatif terhadap bangsa Jerman saat itu. Seorang pabrikan Perancis yang menampung pekerja-pekerja Jerman mengeluh bahwa orangJerman bekerja seenak hatinya sendiri (D. Landes:1998)
Yang lebih mengagetkan lagi, orang Inggris juga mengangap orang Jerman berotak tumpul. John Russel, seorang berkebangsaan Inggris yang suka menulis perjalanannya (1828) menilai orang Jerman lamban, mudah puas, tidak memiliki ketajaman persepsi maupun kehalusan perasaan. Mereka tidak terbuka terhadap ide baru, butuh waktu lama sebelum bisa diajak memahami hal baru, dan sulit memotivasinya semangatnya.
Orang Inggris juga menganggap orang Jerman ketika itu sebagai orang yang individualis dan tak mampu bekerja sama, dan terlalu emosional (S. Whitman; 1898 dan Arthur Brooke Faulkner:1833).
Tak berbeda dengan bangsa Jerman, meski dalam amatan kurun waktu yang berbeda, orang Jepang pun sempat menyandang predikat kurang baik kultur kerjanya di mata bangsa lain. Misionaris Amerika Sidney Gulick, yang lama menetap di Jepang (1888-1913), dalam bukunya Evolution of Japanese (1903) menilai orang Jepang berkesan … santai, pemalas, sama sekali tak peduli dengan berlalunya waktu, dan emosional yang memiliki ciri-ciri periang, bebas, dari segala kepedulian akan masa depan, hidup semata-mata untuk hari ini.
Tak berbeda jauh dengan Sidney Gulic, pemimpin sosialisme Fabian Inggris, Beatrice Webb melukiskan orang Jepang sebagai orang yang memiliki anggapan tentang waktu luang dan independensi personal yang tak bisa ditoleransi dan tak ada kemauan untuk mengajar orang untuk berfikir (N.MacKenzie dan J. MacKenzie:1984).
Secara lebih halus, seorang konsultan Australia (1915) mengatakan pada pejabat pemerintah Jepang yang mengundangnya berkata “rasa terkesan saya mengenai tenaga yang murah segera rusak ketika saya melihat rakyat anda dalam bekerja. Pantaslah mereka di bayar rendah karena hasil kerjanya yang demikian. Melihat mereka bekerja membuat saya merasa bahwa bangsa anda merupakan bangsa yang puas dan santai, menganggap waktu tidak penting. Tidak mungkin mengubah kebiasaan yang merupakan warisan nasional” (Japan Times 18 Agustus 1915).
Kini, semua penilaian tersebut hanya tertulis dalam buku-buku sejarah dan museum kuno. Kita mungkin tercengang, Jerman (awal abad 19) dan Jepang (awal abad 20) yang dianggap miring oleh bangsa lainnya, kini bisa menjadi bangsa yang sangat maju science dan teknologinnya. Kedua Negara itu kini menjadi kelompok eksportir terbesar di dunia.

Transformasi Wajib Hukumnya

Transformasi sebagai suatu perubahan radikal yang terus menerus merupakan tuntutan dunia usaha yang menjadi ‘takdir’ perusahaan multinasional. Namun, benar kata Leo Tolstoy, novelis dan filsuf Rusia; semua orang ingin mengubah dunia, tapi tak ada satupun yang ingin mengubah dirinya sendiri. Sindiran bijak ini hendaknya disadari oleh karyawan dan petinggi Pertamina.
Transformasi seyogyanya tak melekat pada visi perorangan petinggi Pertamina. Tapi kebutuhan korporasi dan disadari oleh segenap karyawan dan pemerintah selaku regulator dan pemegang saham. Tujuannya agar etos dan spirit transformasi tetap terawat keberlanjutannya.
Hasil transformasi harus didesign untuk tujuan jangka panjang. Mitsuo Kinoshita, Executive Vice President Toyota sudah mewanti-wanti bahwa kalau kita hanya berusaha mengejar hasil dan target, hasil dan target yang dicapai itu tidak akan berkesinambungan..
Sangatlah penting dukungan karyawan Pertamina untuk berpartisipasi menemukan kelemahan dan kesalahan yang pernah dan masih terjadi untuk dievaluasi dan ditemukan jalan keluarnya. Pertamina bisa mencontoh Toyota, yang dapat menyalip General Motor menjadi perusahaan otomotif terbesar di dunia saat ini, dalam menerapkan “sistem saran” bagi karyawannya. Sistem ini berpremis bahwa atasan tidak selalu melihat dan tahu segala sesuatu yang dilakukan pekerja setiap hari.
Taiichi Ohno, mantan executive vice president Toyota berujar: ada yang salah kalau karyawan tak memperhatikan apa yang ada di sekelilingnya, menemukan hal-hal yang monoton/ membosankan, kemudian menulis ulanng prosedur yang ada. Manual bulan lalu pun mestinya sudah usang.
Hasilnya, di Jepang saja, lebih dari 600.000 saran perbaikan oleh karyawan Toyota diajukan selama tahun 2005 (rata-rata 11 saran perbaikan/karyawan) dan lebih dari 99% saran perbaikan diterima. Untuk setiap perbaikan yang dilakukan, karyawan menerima bonus mulai dari 500 Yen sampai dengan 200.000 Yen (David Magee:2007).
Akio Morita, pendiri Sony, menciptakan system kerja karyawannya untuk bertindak layaknya anggota keluarga yang selalu siap melakukan gagasan yang dibutuhkan. Sony tertantang untuk memunculkan ide-ide meskipun kadang bertentangan satu ide dengan ide lainnya. Tapi ia menilainya bukan sebagai suatu perpecahan. Sebab, menurutnya benturan ide itu merupakan sesuatu yang bagus untuk level yang lebih tinggi.
Salah satu hambatan untuk tercapainya transformasi Pertamina adalah jika terjadi kesenjangan pendapatan yang terlalu jauh antara karyawan dan petinggi Pertamina. Sebab, ini akan mencederai rasa keadilan dan merusak solidaritas semangat transfomasi.. Di Jepang telah menjadi tradisi bahwa gaji CEO tidak lebih dari 17 kali gaji karyawan yang dibayar per jam.
Jika Jepang sebagai sesama bangsa Asia yang pernah dianggap “saudara tua” Indonesia- bisa mengubah dirinya dengan berbagai inovasi. Tentu tidak beralasan jika Pertamina tak bisa bertransformasi. Apalagi, Indonesia dalam sejarah konsep Production Sharing yang banyak berlaku di sektor Minyak dan Gas, merupakan pelopor konsep tersebut sejak 1960-an. Untuk sektor minyak dan gas, Pertamina butuh belajar proses transfer technology dari Norwegia. Mereka sanggup mengambil alih technology dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Setelah itu, tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia. Tuhan tidak akan merubah nasib, jika tidak merubahnya sendiri.

Senin, Oktober 13, 2008

Memahami Hubungan Hukum PPA

Oleh: Sulistiono Kertawacana

Bahan diskusi di kantor Hukum Wiriadinata & Widyawan (pendahulu Wiriadinata & Saleh) tanggal 15 April 2004.

Lihat juga mengenai Menggugat Skenario "Pembubaran" BPPN
Tanggapan Untuk Iming M. Tesalonika

Artikel Iming M. Tesalonika berjudul Mencermati Institusi Pengganti BPPN (Bisnis, 17/3) yang mencoba memahami keberadaan PT (Persero) Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) dalam perspektif hukum terdapat beberapa hal yang perlu diluruskan.
Benar bahwa PPA dibentuk untuk mengelola aset negara yang berasal dari BPPN. Namun, judul tersebut dapat menimbulkan persepsi yang keliru atas keberadaan PPA. Prinsip utama dibentuknya badan khusus -Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)- berdasarkan UU No.7/1992 sebagaimana diubah dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan adalah melakukan program penyehatan terhadap bank yang kurang sehat yang diserahkan Bank Indonesia (pasal 37 ayat 2).
Bahkan, PP No.17/1998 sebagaimana diubah terakhir dengan PP No.47/2001 tentang BPPN jelas menyatakan BPPN bertugas untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu sepanjang masih didiperlukan untuk menjalankan tugasnya. Artinya, jika prinsip diperlukannya BPPN masih diperlukan, maka masa tugas BPPN akan diperpanjang. Bukan mengganti BPPN dengan PPA.
PPA dan Kuasa Menkeu
Iming juga nampak tidak konsisten memposisikan dan tidak dapat membedakan secara jelas Menteri Keuangan (Menkeu) dan Menteri Negara (Menneg) BUMN dalam hubungan hukum dengan (Direksi) PPA (paragraf 7, 13, 23, 25, dan 29). Terkadang memposisikan Menkeu sebagai wakil dari pemerintah selaku pemegang saham PPA (paragraf 7), namun dalam paragraf lainnya pemegang saham pemerintah diwakili oleh Menneg BUMN (paragraf 29).
Pemahaman tersebut bersumber dari kegamangan Iming dalam mengasumsikan hubungan hukum antara Menkeu dengan PPA seolah-olah bukan hubungan kuasa antara pemilik aset dengan pengelola. Sehingga tidak ada bedanya dengan hubungan hukum antara Menneg BUMN selaku pemegang saham dengan Direksi PPA dalam suatu organ yakni PPA.
Selanjutnya, dalam paragraf 7 Iming menyatakan, meski pengangkatan dan pemberhentian Direksi merupakan kewenangan Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah yang bertindak selaku pemegang saham Persero PPA…
Padahal, sesungguhnya hubungan (Menkeu dengan PPA) adalah hubungan pemberian kuasa. Maksud dan tujuan PPA mengelola aset negara yang berasal dari BPPN setelah pengakhiran tugas dan pembubaran BPPN, untuk dan atas nama Menkeu (pasal 2 ayat 1 Kepres No.10/2004 tentang Pendirian PPA). Artinya, Menkeu telah memberikan kuasa (berdasarkan perintah Keppres No.10/2004) kepada PPA untuk mengelola aset negara yang berasal dari BPPN.
Ketentuan tersebut terkait dengan status pihak yang akan mewakili negara selaku pemilik kekayaan BPPN. Berakhirnya tugas BPPN dan dibubarkannya BPPN, segala kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menkeu (pasal 6 ayat 1 Keppres No.15/2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN). Pennunjukan Menkeu dalam pengalihan untuk dikelola Menkeu tersebut (selanjutnya dikuasakan kepada PPA) terkait dengan posisi Menkeu selaku bendahara negara.
Artinya, hubungan antara Menkeu dengan PPA adalah hubungan statutory mandat (pemberian kuasa). Menkeu selaku “pemilik” kekayaan negara yang berasal dari BPPN, memberikan kuasa kepada PPA untuk mengelola aset negara dan bertindak untuk dan atas namanya (Menkeu).
PPA dan Menneg BUMN
Hubungan hukum Menneg BUMN dengan Direksi PPA adalah dalam kapasitas Menneg BUMN selaku wakil pemerintah (pemegang saham PPA) untuk mengangkat dan/atau memberhentikan anggota Direksi PPA sebagaimana dikuasakan melaui pasal 1 PP No. 64/2001 tentang Pengalihan Tugas dan Kewenangan Menkeu Pada Persero, Perum, dan Perjan Kepada Meneg BUMN.
Kewenangan menyuarakan kepentingan pemegang saham (pemerintah) melalui RUPS diberikan kepada Meneg BUMN (bukan Menkeu).
Akibat ketidakjelasan Iming memposisikan hubungan hukum antara Menkeu dan Menneg BUMN dengan Direksi PPA telah mengaburkan model kerja hubungan PPA dengan Menneg BUMN (selaku wakil pemerintah seagai pemegang saham).
Karenanya, dalam paragraf 25 artikelnya dinyatakan…. perlu diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian pengelolaan aset antara Direksi dan Menneg BUMN c.q. Menteri Keuangan mengenai kinerja secara kuantitatif yang disanggupi oleh Direksi dengan denda gantirugi (sanksi perdata) atas kegagalannya memenuhi isi perjanjian pengelolaan aset, maka Direksi Persero PPA dapat dimintai tanggungjawab secara perdata berdasarkan perjanjian pengelolaan aset.
Jelas, perjanjian pengelolaan aset yang dimaksud paragraf tersebut menggambarkan suatu hubungan yang terpisah sama sekali antara Direksi PPA dengan Menneg BUMN dalam kaitan hubungan antar organ dalam suatu Persero yakni pemegang saham dan Direksi. Bukan dalam rangka pelaksanaan kontrak manajemen (ditandatangani calon anggota Direksi Perseo (PPA) yang lulus fit and proper test sebelum diangkat menjadi Direksi) sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat 3 UU No. 19/2003 tentang BUMN (UU BUMN).
Kesalahan Iming dalam memposisikan hubungan hukum dalam paragraf 25 artikelnya tersebut, disebabkan ia terlalu cepat menyimpulkan keterangan (callon?) Direktur Utama PPA yang menyatakan pembiayaan operasional dan modal kerja PPA berasal dari pendapatan jasa pengelolaan aset. Dengan demikian skenario yang akan terjadi menurut Iming adalah PPA akan menandatangani perjanjian pengelolaan aset dengan pemerintah (Menkeu) (paragraf 12 dan paragraf 13).
Padahal, hubungan hukum antara Menkeu (selaku wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara) dengan PPA adalah sebagaimana disebutkan di atas yakni PPA bertindak untuk dan atas nama Menkeu melakukan pengelolaan aset negara yang berasal dari BPPN. Bukan melalui perjanjian pengelolaan aset.
Sedangkan, negara selaku pemilik aset akan memberikan target yang musti disanggupi oleh anggota direksi PPA dalam Kontrak Manajemen.
Kontrak Manajemen
Iming juga kurang dapat menangkap makna hakiki dari Kontrak Manajemen dalam rangka pengangkatan anggota Direksi Persero (PPA) yang diatur dalam UU BUMN.
Karenanya, dengan semangat mewujudkan profesionalitas terhadap BUMN yang nampak berlebihan, menurutnya … isi Kontrak Manajemen yang terinci dan mendalam dapat menjadi alat pembentuk perilaku yang lebih kompetitif dan profesional, dengan ancaman sanksi perdata berupa sanksi gantirugi jika terbukti lalai, serta sebagai tolok ukur kinerja (benchmark) yang definitif, sehingga tingkat keberhasilan Direksi dapat dinilai secara lebih obyektif (paragraf 33).
Padahal, Kontrak Manajemen adalah statement of corporate intent yang antara lain berisikan janji-janji atau pernyataan Direksi untuk memenuhi segala target yang ditetapkan Menneg BUMN -selaku pemegang saham PPA- sebelum ditetapkan pengangkatannya sebagai anggota Direksi. Kontrak Manajemen akan diperbaharui setiap tahun untuk disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan perusahaan.
Sesungguhnya, Kontrak Manajemen merupakan penyimpangan dari prinsip umum fiduciary duty yang dianut UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dalam hubungan antara pemegang saham dengan anggota direksi. Sebab, prinsip dan praktek dari pengangkatan anggota direksi dilatar belakangi kepercayaan dari pemegang saham terhadap anggota direksi untuk mengelola PT dengan itikad baik.
Sehingga -dalam praktek- inisaitif untuk mengangkat anggota direksi justru datang dari pemegang saham. Bukan calon anggota direksi yang menawarkan diri untuk diangkat. Prinsipnya, pemegang sahamlah yang membutuhkan orang yang dipercayainya untuk diangkat mengelola PT menjadi anggota direksi.
Namun -karena pengalaman praktek merugikan BUMN karena pemerintah tidak mengangkat anggota direksi BUMN secara profesional dan kepentingan rakyat selaku “pemegang saham sesungguhnya dari BUMN” yang terlindungi- penulis dapat memahami keberadaan Kontrak Manajemen dalam pengangkatan anggota Direksi BUMN.
Kontrak Manajemen dapat menetapkan alasan yang terukur dan objektif terhadap anggota direksi PPA untuk diberhentikan ditengah masa jabatannya atau diperpanjang masa tugasnya oleh Menneg BUMN selaku pemegang saham.
Diperkenalkannya Kontrak Manajemen diharapkan dapat mengeliminasi atau setidaknya mereduksi subyektifitas Menneg BUMN, korupsi, klolusi, dan nepotisme dalam pengangkatan atau pemberhentian ditengah masa jabatan direksi. Pada gilirannya, hal ini akan membuat anggota Direksi lebih tenang dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku bagi Persero secara umum, Direksi PPA juga akan diwajibkan untuk menyiapkan Rencana Jangka Panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan PPA yang hendak dicapai dalam waktu 5 tahun. Didalamnya akan memuat diantaranya misi, sasaran, strategi, kebijakan dan programn kerja.
Meski demikian, jika kita memahami dari fiduciary relationsip (hubungan kepercayaan) yang melahirkan fiduciary duties, tidaklah tepat memuat klausul ancaman sanksi perdata berupa sanksi ganti rugi apabila direksi PPA tidak berhasil mencapai target dalam Kontrak Manajemen sebagaimana dinyatakan Iming dalam paragraf 23 artikelnya.
UU PT menyediakan ancaman bagi setiap anggota direksi untuk bertanggung jawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (tidak dengan itikad baik) yang dikenal dengan doktin piercing the corporate veil.
Bukan dengan ancaman bahwa jika Direksi PPA gagal mencapai target yang ditentukan pemegang saham (Menneg BUMN). Sebab, pengangkatan anggota direksi oleh pemegang saham dilandasi kepercayaan dari pemegang saham itu sendiri . Ini merupakan hubungan internal (fiduciary relationship) antarorgan PT. Ini jelas berbeda jika PT mengadakan kontrak dengan pihak luar (di luar organ PT) yang memungkinkan tuntutan ganti rugi jika pihak lawan lalai memenuhi perjanjian.

Rabu, Juli 16, 2008

Transformasi Organisasi Pertamina: Menggugat Pengangkatan Meneg BUMN sebagai Preskom

Tulisan ini dipublikasikan harian Sinar Harapan Edisi 9 Oktober 2003.

Oleh :Sulistiono Kertawacana
Advokat

Transformasi Organisasi Pertamina*:
Menggugat Pengangkatan Meneg BUMN sebagai Preskom

Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina (Persero) (Pertamina) beberapa waktu lalu menarik untuk dicermati. Pasalnya, RUPS tersebut telah mengangkat anggota direksi dan komisaris baru yang cukup kontroversial..
Pada jajaran komisaris, terdapat nama beken dari kalangan pemerintahan. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN) Laksamana Sukardi sebagai Presiden Komisaris (Preskom). Selaku anggota diangkat Syafruddin A Tumenggung (Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional - BPPN) dan Roes Aryawijaya (Deputi Menneg BUMN).
Sepak terjang Pertamina sebagai BUMN “basah” yang memiliki modal disetor Rp100 triliun ini, tentu menarik perhatian berbagai kalangan. Selain peranannya dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, perusahaan plat merah ini juga disinyalir banyak pihak, sebagai BUMN yang rawan korupsi. Setidaknya, untuk waktu silam. Karenanya, pengangkatan Meneg BUMN selaku Preskom di Pertamina mengundang berbagai tanda tanya.
Selain posisinya sebagai petinggi partai presiden saat ini (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan – PDIP) yang sarat akan kepentingan politik, Laksamana selaku Meneg BUMN, juga nampaknya tidak tepat menempati jabatan tersebut. Bahkan anggota Komisi VIII DPR, Djusril Djusan, mempertanyakan pengangkatannya sebagai Preskom karena dianggap bisa menimbulkan masalah bagi negara (Kompas 19/9/2003).
Organisasi Pertamina Masa Lalu
Sebelum berlaku UU No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UUBUMN) tanggal 19 Juni 2003, peraturan yang mengatur perusahaan negara adalah UU No.19/ Prp/1960 tentang Perusahaan Negara (UU No.19/ Prp/1960) dan UU No.9/Prp/1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara (UU No.9/Prp/1969). Berdasarkan peraturan tersebut (sebelum berlaku UUBUMN), dengan memperhatikan sifat usaha dan maksud tujuan didirikannya BUMN (kecuali ditetapkan lain oleh UU), Perusahaan Negara (PN) dibedakan menjadi 3 macam, yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero).
Dari kategori tersebut, Pertamina adalah PN yang didirikan berdasarkan UU yaitu UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina). Karenanya, bentuk usahanya berbeda dengan Perjan, Perum, atau Persero. Menurut UU ini, Pertamina memiliki modal yang dipisahkan dari kekayaan negara dan tidak terbagi atas saham.
Berdasarkan UU Pertamina yang kemudian dijabarkan oleh Keppres No.169/2000 tentang Pokok-Pokok Organisasi Pertamina (Keppres Pertamina) organisasi Pertamina dipimpin dan diurus oleh suatu Direksi yang bertangung jawab kepada Dewan Komisaris Pemerintah (DKP) selaku pembina dan pengawas. Sedangkan menyangkut segi-segi pengusahaan, Direksi bertanggung jawab kepada Menteri Pertambangan.
DKP menetapkan kebijaksanaan umum Pertamina, mengawasi pengurusan dan mengusulkan kepada pemerintah langkah yang perlu diambil guna menyempurnakan pengurusan, termasuk susunan Direksi Pertamina. DKP bertanggung jawab kepada presiden.
Untuk melakukan hal-hal berikut ini, Direksi diwajibkan meminta persetujuan lebih dahulu dari DKP, yaitu : (i) menjaminkan kekayaan Pertamina, (ii) meminjam dalam jumlah yang melebihi jumlah tertentu yang telah ditetapkan DKP, (iii) mendirikan anak perusahaan atau mengadakan penyertaan, dan/atau (iv) mengadakan perjanjian/kontrak pembelian dan penjualan yang sifat dan besarnya akan ditetapkan DKP.
DKP terdiri atas 3 orang anggota, yaitu (eks officio) Menteri dalam bidang Pertambangan sebagai ketua merangkap anggota, Menteri Keuangan sebagai wakil merangkap anggota, serta Ketua Bapenas sebagai anggota. Apabila dipandang perlu, presiden dapat menambah maksimal 2 orang Menteri dalam bidang lainnya. Anggota DKP dan anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Organisasi Pertamina Kini
Berdasarkan pasal 60 UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) bahwa pada saat UU Migas berlaku (23 November 2001), dalam jangka waktu paling lama 2 tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Persero dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Sebagai pengejawantahannya, pemerintah menerbitkan PP No.31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero yang mulai berlaku sejak 18 Juni 2003 (PP Pertamina) dengan 100% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia (Negara RI). Artinya, sejak tanggal tersebut struktur organisasi Pertamina harus sesuai dengan peraturan mengenai Persero, yakni UU No.9/Prp/1969 dan peraturan pelaksanaannya PP No.12/1998 sebagaimana telah diubah dengan PP No.45/2001 tentang Persero (PP Persero).
Sehari setelah berlakunya PP Pertamina (19 Juni 2003), UUBUMN diundangkan dan menyatakan tidak berlaku lagi (mecabut) UU No.19/ Prp/1960 dan UU No.9/Prp/1969. Artinya, Pertamina kini tunduk pada UUBUMN dan pelaksanaanya yakni PP Persero.
UUBUMN yang dijabarkan dengan PP Persero menetapkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroian terbatas (PT) sebagaimana diatur dalam UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Konsekuensinya, organ Persero terdiri dari RUPS, Direksi, dan Komisaris.
Pertamina, yang seluruh sahamnya dimiliki Negara RI, berdasarkan pasal 1 PP No 64 tahun 2001 tentang Pengalihan Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan Pada Perusahaan Persero, Perum, dan Perjan Kepada Meneg BUMN (PP No.64/2001), maka kewenangan untuk menyuarakan kepentingan pemegang saham melalui RUPS diberikan kepada Menneg BUMN.
RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.
Direksi adalah organ Persro yang bertugas melaksanakan pengurusan Persero, serta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Komisaris adalah organ Persero yang bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan pengurusan Persero, termasuk pelaksanaan Jangka Panjang dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, ketentuan Anggaran Dasar serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Anggota Direksi dan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS.
Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai (i) anggota Direksi pada BUMN, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Swasta, (ii) jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah, dan/atau (iii) jabatan lainnya sesuai dengan peratuaran perundang-undangan.
Jika merujuk pada ketentuan tersebut, nampaknya ada masalah dengan pengangkatan Direksi baru Pertamina. Diantara mereka, yakni Alfred Rohimone (Direktur Keuangan Pertamina), pada saat yang sama sedang menjabat Direktur Keuangan PT Transpacific Petrochemical Indotama (PT TPPI). Bahkan menurut Djusril Djusan, PT TPPI ini pernah mengajukan permohonan untuk mendapatkan garansi senilai US$ 670 juta dari Pertamina sebagai jaminan PT TPPI untuk meminjam dana dari Japan Bank Inaternasional Coincortium sebesar US$700 juta ( Kompas 27/9/2003).
Karenanya, Alfred harus meletakkan jabatannya selaku Direksi PT TPPI, jika tetap menginginkan menjabat Direksi Keuangan Pertamina. Kita mesti terus mengawasi untuk menguji objektifitasnya atas potensi terjadinya conflict of interest yang dihadapi Pertamina dengan PT TPPI, karena sebagian Direksi Pertamina (pernah/masih?) memiliki keterkaitan dengan PT TPPI.

Meneg BUMN Sebagai Preskom Pertamina
Persoalan lainnya, diangkatnya Laksamana Sukardi (Menneg BUMN) selaku Preskom Pertamina. Berkaitan dengan ketertundukan Persero terhadap UUPT, mungkin tidak bermasalah. Suatu hal yang lumrah bagi pemegang saham menempatkan wakilnya dijajaran Komisaris. Bahkan, menempatkan dirinya sendiri (tanpa wakil) selaku komisaris. Termasuk pemakluman, karena Pertamina seluruh sahamnya 100% dimiliki oleh Negara RI, dan Meneg BUMN adalah pihak yang mendapat kuasa mewakilinya, maka Meneg BUMN mengangkat dirinya sendiri.
Namun, merupakan bencana, jika pengangkatan Menneg BUMN selaku Preskom dan beberapa pejabat (Ketua BPPN dan Deputi Meneg BUMN) merangkap selaku anggota Komisaris Pertamina merupakan “metomorfosis” atau modifikasi dari DKP saat Pertamina belum berbentuk Persero dan masih tunduk pada UU Pertamina.
Kecurigaan ini cukup beralasan. Sebab, Menneg BUMN (hanya?) memilih Pertamina untuk posisinya selaku Preskom. Bukan BUMN lain yang strategis dan penting bagi perekonomian Indonesia yang tidak memiliki akar historis adanya DKP.
Sebelum berlakunya UU BUMN, pemerintah nampak sedang mencari sosok dan bentuk hukum yang ideal bagi perusahaan negara. Perusahaan negara khususnya yang bentuknya ditentukan UU, masih memiliki model yang berbeda-beda dan nampak belum dianggap sebagai business entity . Karenanya, kontrol dan aroma birokrasi pemerintahan dengan melibatkan secara langsung Menteri dalam urusan internal perusahaan sangat lekat.
Selanjutnya, pasca berlakunya UU BUMN, paradigma terhadap BUMN telah mengalami perubahan yang radikal dan cukup revolusioner. Bentuknya disederhanakan hanya menjadi Perum atau Persero. Bahkan, untuk Persero dengan ketertundukannya pada UUPT, dapat dikategorikan sebagai private entity yang kebetulan pemegang sahamnya adalah Negara RI.
Karenanya, bukan jamannya lagi komisaris BUMN adalah merupakan kumpulan dari para pejabat pemerintah dan bukan kaum professional di bidangnya. Jika pemerintah mau “menempatkan wakilnya” dapat ditunjuk Komisaris yang tidak bercabang pikirannya, karena rangkap jabatan pada posisinya birokrat, baik itu di kabinet maupun bawahannya atau pada lembaga lain. Mereka harus melepas (meski untuk sementara) dan harus memilih salah satu diantara jabatan tersebut. Jabatan Komisaris tidak layak diberikan pada “pejabat part time”.
Hal penting lainnya yang patut diperhatikan adalah penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG), trasnparansi, kemandirian, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Keputusan Menneg/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No.Kep-23/M-PM-PBUMN/2000 tentang Pengembangan Praktek GCG Dalam Perusahaan Persero, khususnya prinsip kemandirian. Apakah Menneg BUMN bisa menilai secara efektif dan objektif (selaku RUPS) atas kinerja pengawasannya terhadap Preskom yang dijabatnya sendiri?
Menurut UUBUMN, anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, pengetahuan yang memadai di bidang usaha persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
Bagaimana mungkin seorang Meneg BUMN punya cukup waktu untuk melakukan pengawasan secara teliti dengan tugasnya yang begitu menumpuk selaku Meneg BUMN. Pertanyaannya, mengapa yang dipilih (hanya?) Pertamina dan tidak seluruh BUMN?
Kita belum menemukan jawaban pasti dari Menneg atas pola yang terukur dan objektif bagi pilihannya. BUMN dengan kriteria yang bagaimana sehingga beliau rela berjibaku cawe-cawe untuk mengangkat dirinya sendiri melalui RUPS selaku Preskom. Mengapa justru, bukan Perum PPD yang banyak dirundung masalah manajemen yang semrawut dan membutuhkan professional, namun beliau seolah enggan ‘turun tangan’ secara langsung membenahinya. Kita tunggu saja jawabannya.
Edisi Sinar Harapan

Selasa, Juli 01, 2008

Singkirkan Kerikil Dalam Transformasi BUMN

Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 28 Desember 2004.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta menterinya dalam Kabinet Indonesia Bersatu untuk tidak merangkap jabatan. Presiden juga meminta agar dalam 100 hari pertama pemerintahannya, para anggota kabinet melakukan gebrakan. Salah satunya adalah program 100 hari Kementerian BUMN yang antara lain melakukan seleksi dan pembaharauan manajemen BUMN. Untuk mengetahui kesungguhan program tersebut, ada contoh kasus menarik menyangkut Pertamina.
Beberapa waktu lalu, SK Komisaris Pertamina No. 005/KPTS/K/DK/2003 dan No. 006/KPTS/K/DK/2003 mengangkat Menkeu dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai Penasihat Ahli Komisaris (PAK) Pertamina. Nampaknya, SK Komisaris Pertamina yang dikomandani Laksamana Sukardi (Menneg BUMN ketika itu) belum memahami perubahan struktur organisasi Pertamina.
Sesungguhnya, jika Menneg BUMN Sugiharto memahami transformasi Pertamina menjadi Persero, maka posisi Komisaris Utama pada era Laksamana, deputi BUMN sebagai komisaris dan 'organ' PAK tidak akan ada lagi.
Pasal 60 UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) mengamanatkan paling lama dua tahun [sejak 23 November 2001], Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Persero dengan PP. Impelementasinya, diterbitkan PP No.31/ 2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero yang berlaku sejak 18 Juni 2003 (PP Pertamina).
Artinya, sejak tanggal tersebut organisasi Pertamina tunduk pada peraturan mengenai Persero, yakni UU No.9/Prp/1969 dan peraturan pelaksanaannya PP No.12/1998 sebagaimana telah diubah dengan PP No.45/2001 tentang Persero (PP Persero).
Namun, esoknya (19 Juni 2003) UU No.19/2003 tentang BUMN diundangkan dan mencabut UU No.19/ Prp/1960 dan UU No.9/Prp/1969. Dengan demikian, Pertamina kini tunduk pada UU BUMN dan pelaksanaanya yakni PP Persero.
UU BUMN dan PP Persero menetapkan untuk Persero diberlakukan segala ketentuan dan prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas (PT) sebagaimana diatur UU No.1/ 1995 tentang Perseroan Terbatas. Konsekuensinya, organ Persero hanya terdiri dari RUPS, Direksi, dan Komisaris sebagai layaknya sebuah PT (tidak dikenal PAK).
Karenanya, SK yang pernah diteken Menneg BUMN sebelumnya selaku RUPS yang mengangkat dirinya selaku Preskom Pertamina dan deputi Menneg BUMN selaku komisaris Pertamina harus ditinjau ulang.
Selayaknya, Menneg BUMN Sugiharto tidak meneruskan 'tradisi' Menneg BUMN sebelumnya dengan menjabat komisaris utama Pertamina dan jangan lagi mengangkat deputi Menneg BUMN atau Dirjen di departemen menjadi komsiaris, termasuk pada BUMN lainnya.
Menertibkan BUMN
Kontroversi PAK yang mendapat honorarium hanya merupakan satu kasus yang berhasil diekspose ke publik dari sekian banyak peristiwa yang lebih dahsyat lagi dalam pengelolaan BUMN yang kacau balau.
Jika ditilik dari tugas kedua menteri selaku PAK merupakan tugasnya secara ex officio selaku menteri (tanpa diangkat sebagai PAK mereka harus melakukan tugas ini). Pantaskah para menteri tersebut memperoleh honorarium sebagai PAK karena menjalankan tugasnya selaku menteri di bidang terkait? Bukankah sebagai menteri sudah menerima gaji dari negara dengan berbagai fasilitasnya?
Ini merupakan benih sikap korup birokrasi dalam menjalankan tugasnya yang telah digaji oleh negara. Karenanya, Menneg BUMN, deputi BUMN, dan Dirjen harus mundur dari jabatan komisaris BUMN. Untuk Pertamina, PAK mesti dibubarkan.
Menneg BUMN, deputi Menneg BUMN/ Dirjen tidak boleh lagi bekerja part time selaku komisaris di berbagai BUMN yang terkait dengan tugas dan wewenangnya dengan menerima honorarium selaku komisaris BUMN terkait (selain gaji selaku Menneg BUMN, deputi Menneg BUMN/ dirjen yang mungkin jauh lebih kecil).
Hal ini dapat menyulitkan mereka mengambil keputusan netral yang menguntungkan iklim usaha yang pada gilirannya akan merugikan masyarakat. Padahal, kita membutuhkan regulator yang memihak pada kepentingan iklim usaha yang sehat. Namun, sangat sulit untuk bertindak independen (mandiri) bagi regulator yang sekaligus menjadi pemain (komisaris).
Karenanya komisaris BUMN harus bekerja full time dan diisi oleh kalangan profesional di bidangnya. Semoga saja, amanat presiden kepada anggota kabinet dan program 100 Kementrian BUMN dapat dicapai dengan gebrakan, termasuk menertibkan para komisaris part time BUMN dari birokrat yang merangkap jabatan dan membubarkan PAK yang dapat menjadi benalu bagi terciptanya good corporate governance. Kita tunggu Pak Menteri!

Golden Shares Habibie

Tulisan ini pernah dipublikasikan majalah Gatra edisi No.36 Tahun IX,26 Juli 2003.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum

Kesulitan keuangan yang dihadapi PT (Persero) Dirgantara Indonesia (PTDI) ''memaksa'' direksi menerbitkan surat keputusan (SK) yang ditandatangani Direktur Utama Edwin Soedarmo, tertanggal 11 Juli 2003. Isinya, antara lain, merumahkan 9.643 karyawan selama enam bulan sejak tanggal ditetapkan.
Keputusan itu didasarkan pada kenyataan dan kondisi penurunan beban kerja yang sangat berdampak pada ketidakmampuan pembiayaan operasional perusahaan. Apabila dapat melanjutkan aktivitas usaha sebagaimana mestinya, maka perusahaan akan memanggil kembali karyawan untuk bekerja sesuai dengan kebutuhan dan kondisi.
Kontan saja, para karyawan PTDI segera melancarkan demonstrasi menolak SK tersebut. Akhirnya, pihak direksi PTDI merevisi SK itu dengan memanggil sebagian karyawan untuk bekerja kembali.
Kemelut yang dialami PTDI mengundang perhatian B.J. Habibie selaku pendiri dan konseptor PTDI (sebelumnya bernama Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan terakhir diganti menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara). Habibie bersedia membereskan masalah PTDI dengan memanfaatkan pengalaman yang dimilikinya, baik network nasional, regional, maupun internasional. sebagaimana wawancaranya dengan SCTV, 13 Juli lalu.

Restrukturisasi atau Privatisasi
Status PTDI saat ini adalah persero, dengan saham seluruhnya dimiliki negara Republik Indonesia. Dengan demikian, termasuk dalam kategori badan usaha milik negara (BUMN), sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN bahwa persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki negara Republik Indonesia.
Karena itu, upaya pembenahan PTDI harus berdasarkan UU BUMN. Upaya ini dapat dilakukan melalui dua cara, yakni restrukturisasi atau privatisasi.
Restrukturisasi merupakan salah satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan, guna (i) meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, (ii) memberikan manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara, (iii) menghasilkan produk dan layanan dengan harga kompetitif kepada konsumen, dan (iv) memudahkan pelaksanaan privatisasi. Pelaksanaan restrukturisasi (harus) memperhatikan asas biaya dan manfaat yang diperoleh.
Privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain, dengan tujuan (i) memperluas kepemilikan masyarakat atas persero, (ii) meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, (iii) menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, (iv) menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, (v) menciptakan persero yang berdaya saing dan berorientasi global, (vi) menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
Karena itu, privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Adapun penjualan saham privatisasi dilaksanakan (i) berdasarkan ketentuan pasar modal, (ii) langsung kepada investor, (iii) kepada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan.
Lantas, kesanggupan Habibie ikut membenahi PTDI itu melalui restrukturisasi atau privatisasi? Berdasarkan wawancara tadi, Habibie meminta 5% golden share dalam PTDI sebagai ''perisai''-nya agar tidak diutak-atik secara politik. Jika dikabulkan, akan terjadi privatisasi sebagaimana dimaksud UU BUMN, yakni penjualan saham PTDI kepada pihak lain (Habibie?). Tapi, tunggu dulu, Habibie tidak bermaksud membeli saham tersebut. ''Keluarga saya tidak memiliki dana untuk itu,'' katanya.
Habibie tampaknya tidak bermaksud memiliki saham dalam arti yang berlaku umum. Sebagaimana dinyatakannya, 5% golden share itu adalah sebagai legitimasi dan perisai agar, ''Jangan di tengah-tengah, saya digeser secara politis. Saham itu tidak dibenarkan untuk dijual. Lagi pula, saya memang tidak mencari uang dari kepemilikan saham itu. Tapi, bersamaan dengan saham itu, saya memiliki hak veto atas PTDI. Artinya, saya tidak bisa diganggu, apalagi secara politik. Jadi, saya bisa bekerja secara profesional,'' kata Habibie.
Masuknya Habibie untuk membenahi PTDI dengan ''meminta'' 5% golden share secara gratis, apabila dilakukan, akan melanggar UU BUMN. Apabila pemerintah mengabulkannya, ia menjadi ''golden boy'' yang menabrak UU. Dan itu akan menjadi preseden buruk bagi model penyelamatan BUMN (apabila dengan bantuan Habibie, persoalan PTDI teratasi).
Bisa jadi, PTDI akan identik dengan Habibie secara personal. Padahal, kita lebih membutuhkan sistem yang mapan. Dengan tetap tidak lupa mengenang dan menghormati individu yang telah berjasa mengembangkannya. Privatisasi harus melalui penjualan, bukan diberikan secara gratis. Pasal 86 ayat 1 UU BUMN menetapkan bahwa hasil privatisasi saham dengan cara penjualan saham milik negara disetor langsung ke kas negara.
Karena itu, tampaknya tindakan yang mungkin dilakukan terhadap PTDI berdasarkan Pasal 73 UU BUMN adalah restrukturisasi, yakni restrukturisasi perusahaan/korporasi secara internal yang mencakup keuangan, organisasi, manajemen, operasional, sistem, dan prosedur. PTDI membutuhkan golden boy, putra-putri terbaik yang brilyan dan profesional, selain kebutuhan suntikan dana untuk mengatasi kesulitan keuangan.
Bentuk bantuan yang mungkin bisa dilakukan Habibie, antara lain, technical assistance atau bantuan manajemen yang secara rinci diatur dalam perjanjian dengan pihak Habibie (dalam suratnya kepada SCTV pada 15 Juli 2003, ia menyatakan akan membentuk badan hukum nirlaba yang didukung putra-putri Indonesia guna membantu PTDI). Dalam kapasitas itu, PTDI harus menganggap melakukan perjanjian tersebut laiknya diadakan dengan pihak profesional. Sehingga, apabila dianggap tidak layak, tidak perlu dipaksakan untuk tetap dilakukan.

Golden Share dan Good Corporate Governance
Istilah golden share yang di dalamnya melekat hak veto sebagaimana dimaksud Habibie tidak dikenal secara ekplisit dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Namun, secara substansi, eksistensinya diakui sebagaimana diatur Pasal 46 ayat 4 huruf a UUPT bahwa dalam anggaran dasar dapat ditetapkan satu klasifikasi saham atau lebih dengan hak suara khusus, bersyarat, terbatas, atau tanpa hak suara.
Hak veto yang dimaksud adalah hak suara khusus. Biasanya, hak ini dimiliki negara Republik Indonesia atas saham BUMN-nya yang telah diprivatisasi, misalnya hak suara untuk menentukan anggota direksi dan anggota komisaris, melakukan merger, akuisisi, konsolidasi, atau likuidasi.
Untuk adanya hak veto, maka saham harus terdiri dari minimal dua klasifikasi. Sebab, (i) setiap saham dalam klasifikasi yang sama memberikan pemegangnya hak yang sama (Pasal 46 ayat 1 UUPT), (ii) apabila semua pemegang saham memiliki hak veto (karena klasifikasinya sama), maka hakikat diterbitkannya hak veto menjadi tidak bermanfaat (kemanfaatan hak veto justru ada karena tidak dimiliki semua pemegang saham).
Jika diperhatikan secara saksama, permintaan golden share oleh Habibie sebagai legitimasi dan perisai agar tidak diganggu secara politik adalah refleksi pengelolaan BUMN (khususnya PTDI) di Indonesia yang masih ''dikangkangi'' oleh kepentingan politik sesaat. Tampaknya, dari kacamata dan pengalaman Habibie (mungkin banyak kalangan yang sepaham), pengelolaan BUMN masih jauh dari profesional, atau yang dikenal good corporate governance dengan prinsip kemandirian, transparansi, dan akuntabilitas.
Intervensi politik dari kaum politisi atau birokrasi seringkali muncul sebagai respons atas gejolak sosial. Setidaknya, itu yang dibaca dan dialami seorang mantan Presiden RI yang sebelumnya pernah menjadi pimpinan industri yang bersangkutan. Penyelesaiannya pun seringkali bersifat jangka pendek dan populis.
Padahal, kemandirian pengelolaan PTDI telah dijamin Pasal 91 UU BUMN bahwa selain organ BUMN (dalam hal ini direksi, komisaris, dan pemegang saham), pihak lain mana pun dilarang campur tangan dalam pengurusan BUMN. Hal ini dimaksudkan agar direksi dapat melaksanakan tugas secara mandiri. Termasuk dalam pengertian campur tangan adalah tindakan atau arahan yang secara langsung memberi pengaruh terhadap tindakan pengurusan BUMN atau pengambilan keputusan oleh direksi.
Harap diingat, pemerintah dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham pun tidak mempunyai kekuasaan absolut. Direksi bisa menolak dan mengajukan gugatan ke pengadilan untuk membatalkan RUPS yang dianggap bertentangan dengan UU dan/atau anggaran dasar.
Sejatinya, dengan disandangnya status persero oleh PTDI, maka PTDI telah mengalami transformasi menjadi private entity. Bukan semi-state entity layaknya perusahaan umum yang masih mengemban misi public interest dan sarat akan political interest dalam koridor yang positif.
Statusnya sebagai persero harusnya lepas dari sandera kepentingan politik sesaat. Ketika pemerintah memutuskan suatu BUMN menjadi persero, maka selayaknya langkah-langkah yang dilakukan jajaran manajemen (direksi dan komisaris) adalah dalam perhitungan bisnis. Sebab, kelembagaannya sudah berubah menjadi corporate (private) entity. Hal ini diperkuat oleh ketentuan Pasal 11 UU BUMN yang menetapkan bahwa terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip UUPT, yang masuk dalam wilayah hukum korporasi (privat).
Dengan status PTDI selaku corporate (private) entity, seyogianya pengelolaan dipercayakan penuh kepada para profesional dengan menerapkan prinsip-prinsip bisnis swasta pada lazimnya. Jika perlu, dikelola oleh CEO bertaraf internasional. Sehingga membawa PTDI menjadi pelaku bisnis kedirgantaan yang teruji kompetisinya secara global, tidak cenderung hanya menjadi jago kandang dan mengandalkan proteksi serta privilese dari pemerintah.
Kita patut berterima kasih, khususnya kepada Direktur Utama PTDI, Edwin Soedarmo, yang bersedia menjadi ''martir'' dan ''pasang badan'' melalui SK-nya yang merumahkan 9.643 karyawan (konon SK itu ditentang sebagian --besar?-- anggota direksi dan komisaris). Keputusannya memang tidak populer dan menuai banyak kecaman. Tapi, respons balik atas keputusannya telah mengentakkan kesadaran kita untuk lebih memperhatikan PTDI yang berpotensi ini.
PTDI, yang sebelumnya sering mendapat cemoohan, kini mendapat simpati dari berbagai kalangan. Setidaknya, itu yang tampak di media massa. Keputusan Edwin itu bagaikan anak kecil yang menangis menggelosor di lantai minta perhatian orangtuanya, yakni pemerintah dan masyarakat Indonesia. Kita semua telah lalai dan luput memperhatikannya. Kesadaran baru telah terbangun. Semoga!