Sabtu, Desember 27, 2008

Menggugat Skenario ”Pembubaran” BPPN

Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Sinar Harapan edisi Jum'at, 07 Januari 2005.

Oleh
Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta


Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pernah diperpanjang masa tugasnya. Kalimat tersebut mungkin berkesan provokatif. Padahal, demikianlah hukum memposisikannya. Ini berlawanan dengan kesan publik yang tersiar di media massa pada akhir Februari lalu yang ramai membicarakan ”pembubaran” BPPN.

Publik banyak terkecoh oleh penegasan Pasal 1 ayat 1 Keppres No.15/2004 tentang Pengakhiran Tugas dan Pembubaran BPPN yang menyatakan BPPN dinyatakan bubar terhitung sejak 27 Februari 2004. Padahal, kalau kita menyimak penegasan Pasal 1 ayat 3 dan 4 juncto Pasal 2 Kepres No. 15/2004, hakikatnya ia diperpanjang tugasnya hingga 30 April 2004. Tugas itu khususnya berkaitan dengan penyelesaian empat hal. Yakni likuidasi Bank Beku Operasi/Bank Beku Kegiatan Usaha, kewajiban pemegang saham, audit dan transaksi yang telah terjadi sebelum 27 Februari 2004. Artinya, secara kelembagaan BPPN belum dibubarkan. Tapi hanya mengurangi dan menghilangkan tugas-tugas lain BPPN selain empat hal tersebut.
Sebelumnya, BPPN bertugas melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah pada bank umum sebagaimana termaksud dalam Keppres No26/1998 dan melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank yang oleh Bank Indonesia (BI) dinyatakan tidak sehat; serta tindakan hukum yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank (Pasal 2 Keppres No. 27/1998 tentang Pembentukan BPPN).

Dalam melakukan program penyehatan perbankan, (sebelumnya) BPPN bertugas menyehatkan bank yang ditetapkan dan diserahkan BI, menyelesaikan aset bank, baik aset fisik maupun kewajiban debitur melalui Unit Pengelolaan Aset (Asset Management Unit), dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah tersalur kepada bank-bank melalui penyelesaian Aset dalam Restrukturisasi (Pasal 3 ayat 1 PP No. 17/1998 tentang BPPN sebagaimana diubah terakhir dengan PP No. 47/2001 –PP BPPN).

Tim Pemberesan
Pasal 6 ayat 1 Keppres No. 15/2004 menegaskan dengan berakhirnya tugas BPPN dan/atau dibubarkannya BPPN, segala kekayaannya menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Jelas, konstruksi ini membingungkan. Sebab terdapat keragu-raguan mengenai kapan waktu yang pasti BPPN tidak mempunyai kekayaan lagi. Tampaknya, ini tidak dipahami oleh presiden.

Sebab, terdapat rentang waktu 63 hari atau sekitar dua bulan antara berakhirnya tugas BPPN pada bidang-bidang tertentu sebagaimana dimaksud Keppres 15/2004 (27 Februari 2004) dengan rentang waktu badan itu dinyatakan bubar (30 April 2004). Ini bukan waktu yang sebentar bagi BPPN yang banyak menghadapi persoalan pelik. Pada akhirnya, hal ini akan menimbulkan persoalan hukum yang serius.

Perpanjangan masa tugas BPPN membawa konsekuensi hukum atas keabsahan tindakan hukum Tim Pemberes yang telah dibentuk presiden dengan Keppres No.16/2004 tentang Pembentukan Tim Pemberesan BPPN yang dipimpin oleh Menkeu. Khususnya berkaitan dengan kewenangan mewakili BPPN dalam urusan penyelesaian aset-aset (kekayaan BPPN). Tim Pemberesan bertugas untuk penanganan masalah kearsipan, kekayaan negara yang terkait dengan perkara di lembaga peradilan, masalah hukum, administrasi keuangan, dan pendampingan pelaksanaan audit dalam rangka pemberesan BPPN.

Untuk melaksanakan tugasnya, Tim Pemberesan dibantu oleh Kelompok Kerja (KK) yang dibentuk Menkeu selaku ketua Tim Pemberesan. Salah satu tugas dari KK tersebut adalah Kelompok Kerja Penanganan Masalah Hukum (KKPMH) yang bertindak selaku kuasa Menkeu (selaku ketua Tim Pemberesan) untuk beracara di lembaga peradilan.

Lebih Tepat Diatur PP
Padahal, semestinya dengan Keberadaan BPPN yang diperpanjang hingga 30 April 2004 (dengan mempersempit fungsinya), membawa konsekuensi pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum untuk dan atas nama BPPN berkaitan dengan kekayaan BPPN adalah organ yang diatur dengan PP BPPN. Di sinilah pentingnya ketegasan Keppres No.15/2004 untuk memutuskan kapan kekayaan BPPN menjadi kekayaan negara yang dikelola oleh Menkeu.

Sebab, sepanjang BPPN masih berdiri, pada prinsipnya kewenangan untuk mewakili BPPN baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan (termasuk sengketa di pengadilan yang berkaitan dengan kekayaan BPPN) adalah organ yang diatur dalam PP BPPN yaitu ketua BPPN (Pasal 5 ayat 4 PP BPPN).

Karenanya, keabsahan KKPMH bertindak selaku kuasa Menkeu untuk beracara di lembaga peradilan dalam rangka pemberesan untuk kepentingan kekayaan BPPN berpotensi tidak memiliki dasar yang kuat sebagai pihak yang berwenang di pengadilan. Konsekuensinya, dengan mudah lawannya akan memenangkan sengketa hukum di pengadilan.

Sebab, dasar hukum Tim Pemberes melalui KKPMH untuk bertindak mengurusi sengketa kekayaan BPPN lemah. Bahkan, kedudukan, tugas, dan kewenangan Menkeu pada BPPN sebagaimana diatur PP BPPN sudah dialihkan kepada Menteri Negara BUMN (PP No. 63/2001).

Jika pemerintah berniat memangkas kewenangan organ BPPN yang ada (dalam hal-hal tertentu) karena dirasa tugas BPPN telah dikurangi, maka lebih tepat jika diatur dalam PP BPPN. Bukan dengan Keppres yang tingkatannya lebih rendah daripada PP dalam hierarki perundang-undangan.

Jelas, prinsip konstruksi hukum perpanjangan tugas BPPN dengan kamuflase ”Pembubaran” BPPN ini lebih memiliki tujuan politis dengan pijakan hukum yang lemah. Bersiaplah KKPMH menuai kekalahan di pengadilan sebagaimana yang telah dialami BPPN selama ini. Semoga pemerintah mau belajar dari pengalaman sebelumnya. Konstruksi hukum akan berdampak pada kemenangan berperkara.

Tidak ada komentar: