Senin, Juni 02, 2008

Kesepakatan BLBI, Demi Tak Hilang Muka

Tulisan ini telah dipublikasikan majalah InfoBank edisi No.296 Desember 2003 Vol.XXV.

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum

Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah telah mencapai kesepakatan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp144,5 truliun, di awal Agustus 2003 setelah menjadi "perselisihan" selama bertahun-tahun diantara keduanya.
Sebagai penyelesaiannya, pemerintah menerbitkan obligasi negara berseri SRBI-01/MK/2003 pada tanggal 7 Agustus 2003 sebagai pengganti surat utang No.SU-001/MK/1998 (senilai Rp80 trliun) dan SU-003/MK/1999 (senilai Rp64,5 triliun) yang dulu pernah disetujui sebagai penyelesaian BLBI. Dengan diterbitkannya obligasi negara tersebut, maka kedua surat utang terdahulu dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Beberapa Kesepakatan Penting
Ada tiga hal menarik dalam kesepakatan tersebut untuk dibedah dalam perspektif hukum.
Satu, kebijakan BLBI adalah kebijakan pemerintah yang dirumuskan pemerintah dan BI dalam masa krisis, kemudian dilaksanakan BI dalam upaya menyelamatkan sistem moneter dan perbankan serta perekonomian secara keseluruhan.
Artinya, dari perspektif hukum pihak yang menerbitkan kebijakanlah yang menanggung beban BLBI, sebab BI diakui pemerintah sebagai pihak yang "hanya" ikut merumuskan kebijakan (bersama pemerintah) dan pelaksana (penerima kuasa) BLBI, bukan pihak yang menanggung/memerintahkan BLBI.
Sebagai konsekuensi dari pemerintah telah sepakat/mengakui BLBI sebagai kebijakannya, maka pemerintah juga yang menanggungnya. Meski ditilik dari namanya sendiri telah melibatkan BI, yaitu BLBI yang lebih cenderung sebagai kebijakan BI.
Ketentuan peralihan pasal 73 UU No.23/1999 tentang BI (UUBI) ditetapkan bahwa segala aktiva dan pasiva BI menurut UU No.13/1968 tentang Bank Sentral (UUBS) beralih menjadi aktiva dan pasiva BI menurut UUBI.
Menurut pasal 32 UUBS, BI dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat (dikenal dengan lender of the last resort) untuk membantu bank yang sedang mengalami likuiditas keuangan dalam keadaan darurat.
Namun, harap diperhatikan bahwa posisi BI berdasarkan UUBS ini tidak independen. Ketika itu, BI adalah Lembaga Negara yang bertugas membantu presiden dalam melaksanakan kebijakan moneter, karenanya BI menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis pokok kebijaksanaan yang telah ditetapkan pemerintah.
Dua, rentang rasio modal BI (terhadap kewajiban moneternya) yang disepakati dalam penyelesaian BLBI melalui penerbitan obligasi negara seri SRBI-MK01/MK/2003 adalah 3% sampai 10%. Artinya, jika rasio modal BI kurang dari 3%, pemerintah wajib menyetor charge (suntikan dana) kepada BI sampai rasio modal BI mencapai 3%. Sebaliknya, jika rasio modal BI melampaui 10% dari kewajiban moneternya, BI akan menyetorkan kelebihan modalnya kepada pemerintah untuk mengurangi outstanding (nilai) obligasi negara seri SRBI-001/MK/2003 tersebut.
Kesepakatan item dua tersebut tidak konsisten dengan kesepakatan BLBI dalam item satu. Sebab, BI masih dibebani kewajiban untuk menyetorkan kelebihan modalnya berdasarkan kesepakatan tersebut. Padahal, dalam item satu kesepakatan BLBI sudah ditetapkan bahwa BI hanya sebagai pihak yang ikut merumuskan (bersama pemerintah) dan pelaksana, bukan pihak yang menerbitkan kebijakan BLBI itu sendiri. Pemerintah sebagai pihak yang telah menerbitkan kebijakan BLBI adalah pihak nyang bertanggung jawab 100% atasnya.
Hal ini berbeda jika BI juga telah disepakati sebagai pihak (bersama-sama pemerintah) yang turut serta sebagai penerbit kebijakan, misalkan sebagai keputusan bersama antara Gubernur BI dan Menteri Keuangan RI.
Sebab, kabarnya keputusan BLBI ini ditetapkan melalui mekanisme rapat Dewan Moneter (ketika posisi BI belum independen). Anggota Dewan Moneter terdiri dari 3 orang yaitu menteri-menteri yang membidangi keuangan dan perekonomian (Menteri Keuangan dan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri - Menko Ekuin) dan Gubernur BI. Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan ini bertugas memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah ditetapkan pemerintah.
Berhubung BI hanya dianggap sebagai pihak yang ikut merumuskan saja, maka tidak sebagai pihak yang layak ditarik bertanggung jawab atas kebijakannya itu sendiri. Hal ini berbeda jika kebijakan BLBI adalah merupakan kebijakan dari Dewan Moneter yang melahirkan suatu produk hukum dalam bentuk misalnya Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai dasar diterbitkannya kebijakan BLBI.
Itu pun seandainya dimungkinkan oleh UUBS bahwa BI dalam hubungannya dengan pemerintah berwenang untuk mengeluarkan SKB yang akibatnya membebankan BI secara finansial. Padahal UUBS mengatur hubungan keuangan BI dengan pemerintah adalah sebagai pemegang kas pemerintah, menyelenggarakan pemindahan uang untuk pemerintah, dan membantu pemerintah dalam penempatan surat utang negara.
Sesungguhnya, penataan modal BI telah diatur UUBI. Pemerintah atau Dewan Gubernur tidak boleh menyimpangi UUBI tersebut berdasarkan perjanjian/kesepakatan. Benar bahwa. BI dalam kapasitasnya sebagai badan hukum berwenang membuat perjanjian dengan pihak lain, baik dalam lingkup hukum internasional/publik yakni perjanjian BI dengan dengan bank sentral negara lain, organisasi, dan lembaga internasional maupun dalam hubungan hukum privat.
Sampai di sini, terkesan bahwa kesepakatan BLBI tersebut tidak bermasalah. Tapi, tunggu dulu. UUBI tidak memberikan kewenangan Gubernur BI (mewakili BI) melakukan kesepakatan yang bersifat sementara (karena hanya mengenai penyelesaian BLBI) dalam hal mengatur mekanisme penataan modal BI.
Sebab, UUBI mendelegasikan kepada BI untuk mengatur tata cara penambahan modal dari cadangan umum atau sumber lainnya ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI), yang bersifat independen (tidak tergantung pada kesepakatan pihak lain). Produk hukumnya berupa PBI, bukan perjanjian/kesepakatan dengan pemerintah, yang bersifat sementara yakni 30 tahun (jangka waktu obligasi negara SRBI No.01/MK/2003).
Boleh saja BI mengadakan kesepakatan dengan pihak lain. Tapi bukan dalam hubungan hukum yang dibatasi UUBI khususnya ketentuan yang bersifat memaksa (mandatoir) dan tidak boleh disimpangi.
Modal BI adalah termasuk dalam kategori ketentuan UUBI yang mandatoir, yang diatur dalam pasal 6 dan pasal 62. Modal BI ditetapkan minimal Rp2 triliun yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan merupakan penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut UUBS sebelum UUBI diberlakukan. Modal tersebut harus ditambah hingga mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter yang dananya berasal dari cadangan umum dan sumber lain.
Cadangan umum adalah dana yang berasal dari sebagian surplus BI yang dapat digunakan untuk menghadapi resiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan tugas dan wewenang BI. Sedangkan sumber lain dapat berupa hasil revaluasi aset dan/atau setoran modal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kewajiban moneter adalah kewajiban BI kepada masyarakat, bank, dan pemerintah yang terdiri atas uang kartal yang diedarkan; saldo kredit rekjening milik bank, milik pemerintah, dan milik pihak lain seperti simpanan pegawai yang tercatat di BI; serta surat utang yang diterbitkan oleh BI.
Pasal 62 UUBI mengatur bahwa surplus hasil kegiatan BI akan dibagi (i) 30% untuk cadangan tujuan (digunakan untuk penggantian dan/atau pembaruan harta tetap dan perlengkapan yang diperlukan, pengembangan sumber daya manusia dan organisasi dalam melaksanakan tugas dan wewenang BI serta untuk penyertaan modal pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas BI dan dengan persetujuan DPR) dan (ii) sisa dipupuk sebagai cadangan umum sehingga jumlah modal dan cadangan umum mencapai 10% dari seluruh kewajiban moneter.
Selanjutnya, sisa surplus setelah dikurangi pembagian tersebut, diserahkan kepada pemerintah (berdasarkan perintah UUBI, bukan karena kesepakatan BI dengan pemerintah). Berkaitan dengan hal tersebut, kesepakatan BLBI yang mewajibkan BI untuk melakukan hal ini adalah sia-sia. Sebab, tanpa kesepakatan dengan pemerintah pun BI wajib menjalankannya atas perintah UUBI.
Sebaliknya, apabila modal BI menjadi kurang dari Rp2 triliun, pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang pelaksanaanya dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR. Ini berbeda dengan ketentuan yang disepakati antara pemerintah dengan BI mengenai penyel;esaian BLBI, yakni kewajiban pemerintah untuk menambah modal (menyetor charge- suntikan dana) BI ketika rasio modal BI mencapai 3%.
Kewajiban pemerintah itu tidak digantungkan pada jumlah modal BI yang kurang dari Rp2 triliun. Tapi, pada rasio modal BI yang minimal harus mencapai 3%. Padahal, bisa jadi modal BI lebih dari Rp2 triliun, tapi kurang dari rasio modal BI terhadap kewajiban moneternya sebesar 3%.
Kewajiban pemerintah dalam penyelesaian BLBI dalam kesepakatannya dengan BI adalah kewajiban yang berdasarkan perjanjian. Tapi kewajiban yang timbul karena perjanjian, tidak boleh bertentangan dengan UU, khususnya UUBI.
UUBI mengatur hubungan BI dengan pemerintah khususnya dalam kaitan jika pemerintah akan menerbitkan surat utang negara (SUN), yakni mewajibkan pemerintah terlebih dahulu berkonsultasi dengan BI. BI dapat membantu penerbitan SUN oleh pemerintah dengan bertindak seabagai agen untuk melaksanakan lelang SUN di pasar perdana (pasal 13 UU No.24/2002 tentang Surat Utang Negara).
Catatan penting lainnya, berdasarkan pasal 62 ayat (3) UUBI, tidak ada ketentuan yang mewajibkan pemerintah untuk menggunakan dana setoran BI yang berasal dari sisa surplus setelah dikurangi cadangan tujuan dan cadangan umum, akan digunakan untuk tujuan mengurangi outstanding obligasi negara sebagaimana tertuang dalam kesepakatan pemerintah dan BI.
Tiga, charge yang dibayar pemerintah akan dibukukan BI sebagai penerimaan, bukan sebagai sumber lain untuk menambah modal. Padahal kewajiban pemerintah yang diwajibkan UUBI adalah justru untuk menambah modal BI.
Meski demikian, apakah BI bisa bebas membelanjakan penerimaan tersebut? Tentu saja tidak.. Sebab, meski bukan dibukukan sebagai modal, namun penggunaan dana yang ada dalam BI diatur secara ketat oleh UUBI, yakni apabila surplus, maka harus dialokasikan untuk cadangan tujuan dan cadangan umum sebagaimana dijelaskan dimuka tulisan ini. Jadi, BI tetap saja tidak bebas menggunakan penerimaan tersebut.
Pertimbangkan Dua UU
Keputusan BLBI diterbitkan sebagai jawaban untuk mengatasi krisis perbankan yang melanda Indonesia. Ketika itu, BI menjalankan tugasnya berdasarkan UUBS. Kemudian terjadi perselisihan antara pemerintah dan BI mengenai BLBI yang berlarut-larut, yaitu siapa yang bertanggung jawab atas pengucuran dana BLBI tersebut.
Akhirnya (beberapa kali?) kesepakatan tercapai (terakhir) pada tanggal 1 Agustus 2003 ketika BI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus berdasarkan UUBI.
Menurut penulis, dengan adanya dua UU yang berbeda dalam rentang waktu tersebut, maka untuk menyelesaikan kemelut antara pemerintah dengan BI harus mempertimbangkan dua UU yang berlaku saat itu.
Satu, berkaitan dengan pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan BLBI, apakah pemerintah atau BI. Untuk hal ini harus mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat kebijakan BLBI diputuskan. Untuk BI, tentunya berdasarkan UUBS.
Dua, isi kesepakatan BLBI antara pemerintah dengan BI yang telah diputuskan pada Agustus lalu, harus berdasarkan UUBI yang menjadi landasan pemerintah dan BI dalam melakukan hubungan hukum paska BI menjadi lembaga independen. Sebab, kesepakatan tersebut terjadi ketika UUBI telah berlaku yakni sejak tanggal 17 Mei 1999.
Nampaknya, beberapa kesepakatan yang telah dicapai antara pemerintah dan BI, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah lebih kepada pertimbangan untuk menyelamatkan muka kedua pihak. Tujuannya, agar dalam pandangan masyarakat tidak ada pihak yang kehilangan muka.
Mengapa demikian? Sebab, kesepakatannya menampakkan sesuatu yang tidak konsisten dari kacamata hukum. Bagaimana tidak, pihak yang telah menyepakati sebagai kebijakannya (pemerintah), masih melibatkan pihak lain (BI) untuk turut menanggungnya secara semu. Dinilai semu, sebab seolah-olah mewajibkan BI untuk menyerahkan sisa surplus setelah dikurangi untuk alokasi dana cadangan dan dana tujuan serta rasio modal BI telah mencapai 10% dari kewajiban moneter tersebut berdasarkan kesepakatan.
Padahal, sebenarnya, kewajiban tersebut timbul karena UUBI, bukan disebabkan kesepakatannya dengan pemerintah.
Sesungguhnya, beberapa item kesepakatan BLBI yang telah dicapai antara pemerintah dan BI merupakan preseden buruk bagi penyelesaian sengketa antar lembaga negara. Maklum Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga hukum yang berwenang mengadilinya belum disahkan UU-nya (UU Mahkamah Konstitusi disahkan beberapa hari sebelum tanggal 17 Agustus 2003, kesepakatan BLBI dicapai pada tanggal 1 Agustus 2003).

Tidak ada komentar: