Senin, Juni 02, 2008

Kontroversi Emiten Rugi Bagi Dividen

Tulisan ini pernah dipublikasikan harian Bisnis Indonesia edisi 16 Maret 2004.

Oleh: Sulistiono Kertawacana & Saleh Basir
Advokat di Jakarta
Beberapa waktu lalu, sempat menjadi berita hangat dimedia massa berkaitan dengan pembagian dividen bagi emiten yang memiliki Saldo Laba Negatif. Pada saat yang berdekatan, terdapat dua peraturan yang terkait dengan hal tersebut yang diterbitkan dua otoritas pasar modal kita.
Satu, Surat Edaran PT Bursa Efek Jakarta (BEJ), sebagai penyelenggara perdagangan efek utama di Indonesia. Dua, Surat Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) selaku badan yang berwenang melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan kegiatan sehari-hari di pasar modal.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan penerapan prinsip-prinsip Tata Kelola Yang Baik (Good Corporate Governance), khususnya mengenai perlakuan yang adil terhadap semua pihak yang berkepentingan terhadap kinerja Emiten (perusahaan tercatat), pada tanggal 11 Agustus 2003 BEJ melalui Surat Edaran No. SE-007/BEJ08-2003 tentang Pembagian Dividen Perusahan Tercatat (SE BEJ) menetapkan bahwa Emiten dapat membagi dividen final jika berdasarkan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit dan disahkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menyetujui pembagian dividen dengan syarat (i) memperoleh laba bersih dalam tahun buku berjalan dan (ii) memiliki saldo laba positif.
Selang 10 hari kemudian (21 Agustus 2003), Bapepam melakukan “koreksi” atas SE BEJ melalui suratnya kepada Direksi emiten dan perusahan publik No. S-2076/PM/2003 tentang Pembagian Dividen (SE Bapepam) yang menyatakan bahwa bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang memilik Saldo Laba (Retainied Earnings) negatif dapat membagi dividen dengan syarat (i) laba bersih tahun berjalan positif, (ii) jumlah Tambahan Modal Disetor (additional paid in capital) lebih besar dari pada saldo laba (retained earnings) negatif tersebut, (iii) total ekuitas positif, (iv) jumlah dividen yang akan dibagikan lebih kecil dari laba bersih tahun berjalan , dan (v) jumlah dividen yang akan dibagikan tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Akhirnya, sebagai bentuk “kepatuhannya” kepada Bapepam selaku otoritas pembina, pengatur, dan pengawas kegiatan sehari-hari di pasar modal, BEJ telah mencabut SE BEJ tersebut (tentang Pembagian Dividen Perusahan Tercatat) dengan Surat Edaran No.SE-013/BEJ/10-20003. Sengketa diantara keduanya pun usai sudah. Namun, dari kacamata hukum dan akuntansi, pembagian deviden bagi perusahaan yang bersaldo laba negatif masih mennyisakan beberapa persoalan.
Dividen Vs Saldo Laba Negatif
Berkaitan dengan diperbolehkannya emiten bersaldo laba negatif untuk membagi dividen, seorang praktisi dan pakar hukum terkemuka pernah menyampaikan pendapatnya kepada sebuah media online di bidang hukum beberapa waktu lalu yang isinya menentang kebijakan tersebut (SE Bapepam-pen). “Ketentuan pasal 61 dan pasal 62 UU No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sudah secara jelas mengatur hal tersebut, “ jelasnya.
Menurutnya, selama PT masih mengalami kerugian (carried forward loss) yang belum ditutup melalui cadangan lain –antara lain retained earnings dan agio saham—maka dividen tidak bisa dibagikan. “Jadi, kalau ada menteri (Kementerian BUMN) memutuskan sebuah BUMN –yang berbentuk PT—memberikan dividen, sementara PT tersebut masih merugi, maka surat keputusan menteri itu batal demi hukum,’” tegasnya seolah mengomentari kemungkinan PT Bank Mandiri (Persero) dan PT Bank BNI (Persero) yang akan memberikan dividen ketika itu.
Padahal, secara kumulatif, dua BUMN tersebut kemungkinan bersaldo laba negatif. Benarkah demikian alpa-nya Bapepam sehingga berani menerbitkan surat yang jelas-jelas melanggar UU PT?
Jika dilihat secara sepintas, memang terlihat kedua aturan tersebut berbeda. Namun, mari kita lihat lebih mendalam, apakah memang benar kedua aturan tersebut saling bertentangan?
Menurut penulis, SE BEJ yang telah dicabut tersebut merupakan aturan yang ideal karena mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, logika bisnis dan akuntansi. Secara common sense, emiten dapat membagi laba (dividen) jika emiten membukukan laba bersih dan memiliki saldo laba positif. Hal ini sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PPSAK) No.21 tentang Akuntansi Ekuitas paragraf 22 yang menyatakan bahwa kewajiban perusahaan untuk membagi dividen timbul pada saat deklarasi dividen. Dengan demikian, pada saat itulah saldo laba akan dibebani dengan jumlah dividen termaksud. Jelas, menurut PSAK, dividen akan dibebankan (didebet) kepada saldo laba. Jika emiten memiliki saldo laba negatif, bagaimana mungkin akan membagi dividen? Karena jika membagi dividen, maka saldo laba akan semakin negatif.
Kedua, SE BEJ yang telah dicabut tersebut merujuk pada UUPT khususnya pasal 58 juncto pasal 61 dan 62. Menurut UUPT tersebut, sebelum dibagikan sebagai dividen, laba bersih harus disisihkan (dalam jumlah tertentu) terlebih dahulu untuk membentuk cadangan wajib sekurang-kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan. Artinya, apabila cadangan bersaldo negatif, berarti laba tidak boleh dibagikan sebagai dividen. Prinsip itulah yang wajar dilakukan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
Dalam dunia akuntansi, istilah cadangan memang kurang lazim digunakan. Namun, jika dilihat dari fungsinya, cadangan dapat dipadankan dengan bagian laba yang tidak dibagi dalam bentuk dividen atau biasa disebut sebagai saldo laba (PSAK No.1 tentang Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan).
Jadi, pada hakekatnya jika suatu perusahaan memiliki Saldo Laba bersaldo positif, berarti perusahaan memiliki akumulasi keuntungan dari periode-periode sebelumnya sampai dengan tanggal neraca yang belum dibagikan dalam bentuk dividen. Sebaliknya, jika perusahaan memiliki saldo laba negatif berarti perusahaan tersebut membukukan akumulasi kerugian. Dalam hal ini, saldo laba (cadangan) digunakan diantaranya untuk menutup kerugian yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.
Disisi lain, Surat Bapepam tentang Pembagian Dividen menurut penulis lebih realistis karena mempertimbangkan faktor-faktor penyebab adanya saldo laba negatif.
Pertama, seperti kita ketahui, akibat krisis hutang sejak tahun 1998 khususnya hutang luar negeri yang melilit sebagian besar korporasi di Indonesia. Banyak emiten yang mengalami kerugian disebabkan selisih kurs yang dahsyat. Bukan karena kinerjanya yang buruk. Kerugian selisih kurs tersebut sangat membebani laporan keuangan emiten sampai dengan saat ini. Dari data emiten di BEJ, per Neraca 31 Desember 2002 sekitar 100 emiten mengalami posisi keuangan bersaldo laba negatif, sebagai akibat kerugian kurs tersebut.
Kedua, keinginan investor untuk mendapatkan dividen. Walaupun masih bersaldo laba negatif, banyak emiten sudah menunjukkan perbaikan kinerjanya. Hal ini dapat dilihat dari mulai dapat diperolehnya kembali laba bersih untuk tahun 2002.
Tentunya, setelah sekian tahun investor tidak memperoleh dividen, sekaranglah saatnya, investor dapat menerima kembali hak-haknya. Banyaknya emiten yang dapat membagi dividen tentunya akan dapat menarik kembali investor-investor jangka panjang untuk masuk kembali kepada Pasar Modal di Indonesia.
Ketiga, adanya 5 syarat tersebut diatas, yakni laba bersih tahun berjalan, saldo additional paid capital yang lebih besar dari saldo laba negatif, total ekuitas positif, jumlah dividen yang akan dibagikan lebih kecil dari laba bersih tahun berjalan , dan jumlah dividen yang akan dibagikan tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Sebagaimana lazimnya, perusahaan yang memperoleh laba dapat mengalokasikannya untuk (i) dana cadangan yang diwajibkan UUPT yakni hinga minimal mencapai 20% dari modal ditempatkan, (ii) pembagian tansiem (tantieme) untuk anggota direksi, anggota komisaris, bonus untuk karyawan, atau (iii) cadangan lain untuk ekspansi perusahaan.
Dengan demikian, menurut penulis, kelima syarat Surat Bapepam tersebut sebenarnya cukup efektif untuk menghindari adanya penurunan modal emiten akibat pembagian dividen. Hal ini karena dividen yang dibagikan tidak boleh lebih besar dari pada laba bersih tahun berjalan dan jumlah dividen tidak menyebabkan total ekuitas lebih kecil dari pada modal saham disetor dan cadangan yang diwajibkan.
Artinya, setelah emiten yang bersaldo laba negatif membagi dividen, tidak mengakibatkan ekuitas menjadi lebih kecil dari pada modal disetor plus cadangan yang diwajibkan. Apalagi ditambah syarat bahwa emiten tersebut juga harus memiliki saldo additional paid capital yang dapat menutup saldo laba negatif.
Namun, disisi lain menurut penulis SE Bapepam punya potensi untuk bertentangan dengan pasal 61 dan 62 UU PT. UUPT jelas menngatur bahwa sebelum dibagikan dalam bentuk dividen, suatu PT harus menyisihkan sebagian labanya sebagai cadangan hingga sekurang-kurangnya 20% dari modal yang ditempatkan.
Selain itu juga, berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi manusia No.M-01.HT.01.01 tahun 2001 tentang Tatacara Pengajuan Permohonan dan Pengesahan Akta Pendirian dan Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT yang memberikan standar model Anggaran Dasar PT pada bagian lampirannnya khususnya mengenai Kerugian Yang Tidak Tertutup diatur bahwa apabila perhitungan laba rugi pada suatu tahun buku menunjukkan kerugian yang tidak dapat ditutup dengan dana cadangan, maka kerugian itu akan tetap dicatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi dan dalam tahun buku selanjutnya PT dianggap tidak mendapat laba selama kerugian yang tercatat dan dimasukkan dalam perhitungan laba rugi itu belum sama sekali tertutup.
Persoalannya, apa yang dimaksud dengan cadangan menurut UUPT ini? Apakah cadangan menurut UUPT sama dengan Saldo Laba menurut akuntansi atau akun lain selain komponen modal disetor? Jika yang dimaksud dengan cadangan adalah Saldo Laba (akuntansi), jelas SE Bapepam kurang sesuai dengan UUPT, karena bagaimana mungkin bagi dividen, padahal cadangan (Saldo Laba) masih negatif?
Bagaimana halnya jika emiten bersaldo negatif hendak membagi dividen tapi tidak memenuhi kelima syarat tersebut? Dari sisi akuntansi, ada satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menjembatani masalah tersebut, yakni emiten melakukan quasi reorganisasi.
Quasi Reorganisasi dilakukan dengan salah satu cara atau gabungan dari penilaian kembali aset-asetnya dan penurunan nilai nominal saham. Keuntungan dari penilaian kembali aset-aset tersebut dan agio dari selisih nilai nominal dengan nilai pasar atas saham digunakan untuk menghilangkan saldo laba negatif tersebut.
Jika dengan cara tersebut, emiten tetap belum dapat menghilangkan saldo laba negatif atau total ekuitas negatif, maka perlu melakukan restrukturisasi modal, yakni penambahan modal disetor dengan injeksi dana segar dari investor.
Dengan demikian, SE BEJ yang telah dicabut sejatinya lebih konservatif dan berhati-hati karena memperhatikan kaidah-kaidah yang ditetapkan PSAK dari pada SE Bapepam. Meski berdasarkan pasal 11 UU No.5/1995 tentang Pasar Modal (UUPM) diatur bahwa peraturan yang wajib dibuat oleh Bursa Efek, termasuk perubahannya, mulai berlaku setelah mendapat persetujuan Bapepam.
Namun, berdasarkan pasal 58 UUPT, perhitungan tahunan (yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba rugi dari tahun buku tahun berjalan) dibuat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (prinsip akuntansi yang yang telah diakui dan disetujui oleh kalangan akuntan Indonesia bersama instansi pemerintah yang berwenang - SAK).
Jika SAK tidak dapat dilaksanakan, maka harus diberikan penjelasan serta alasannya. Persoalannya, apakah SE Bapepam tersebut sudah cukup sebagai alasan untuk mengesampingkan PSAK yang telah disepakati oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai lembaga penerbit Standar Auntansi Keuangan (dalam bentuk PSAK) yang eksistensinya telah diakui pemerintah?
Dengan demikian, dilihat dari yuridis formal bahwa Bapepam selaku badan yang berhak menerbitkan peraturan bagi emiten di pasar modal memiliki otoritas untuk itu sebagaimana dijamin oleh pasal 11 UUPM sebagaimana disebutkan di atas
Namun, secara substansi, Surat Bapepam ini memiliki potensi untuk melanggar ketentuan UUPT, sebab tidak mengacu pada PSAK yang dirujuk oleh UUPT. Tantangannya, beranikah IAI mengajukan uji materil terhadap SE Bapepam tersebut yang dianggap menyalahi kaedah kebiasan (yang bisa dijadikan sumber hukum) PSAK.
Sebab, tentunya PSAK diterbitkan oleh IAI tentunya memiliki logika akuntansi dan ekonomi yang teruji. Sehingga, jika disimpangi akan mengandung resiko keuangan yang tidak diinginkan. IAI sebagai organisasi profesi akuntan yang independen, sudah selayaknya memberikan pendapatnya, ketika ada otoritas pemerintah yang “menganggu” tatanan akuntansi di Indonesia.
Semoga saja SE Bapepam tersebut bukan sebagai aturan yang dibuat hanya untuk mengakomodasi kepentingan emiten tertentu saja, namun lebih sebagai kebijakan & tafsir akuntansi untuk mengatur dan melindungi kepentingan stakeholders pasar modal Indonesia.

Tidak ada komentar: