Rabu, Maret 28, 2007

Tiga Tahun Lagi, Monopoli PT KAI Dicabut

UU Perkeretaapian yang baru saja disahkan memisahkan secara tegas peran pemerintah sebagai regulator dan operator. UU ini juga berimplikasi PT KAI harus siap bersaing dengan perusahaan swasta. Selengkapnya...

Selasa, Maret 27, 2007

印尼農民因育成自己的種子而受到指控(下)

印尼農民因育成自己的種子而受到指控(下)

種苗法規•印尼農民因育成自己的種子而受到指控(下)印尼農民因育成自己的種子而受到指控(下)當地非政府組織(NGOs)有相似的報告,但是並沒有來自 Nganjuk, Kediri甚至連 Tulungagung 統治區的報告都付之闕如。當地的農民不敢談論該案,或是向非政府組織報告此事。More...

INDONESIAN FARMERS PROSECUTED FOR BREEDING THEIR OWN SEEDS

Hira Jhamtani and Dey Patria

Some Indonesian farmers were recently prosecuted at the behest of a seed marketing company for breeding their own seeds instead of purchasing them from the company. Although the cases did not involve genetically modified seeds or seed multinationals, they have some disturbing implications. More...

Senin, Maret 26, 2007

Logika Tukang Ojek Gelora Bung Karno

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta


Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit aset Gelora Bung Karno (GBK). Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun sedang menyelidiki dugaan korupsi terhadap pengalihan fungsi aset GBK kepada swasta. Perang urat saraf pun terjadi antara Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dengan Ketua BPK Anwar Nasution. Yusril mencela sinyalemen Anwar tentang salah urus aset GBK yang berada di bawah Sekretariat Negara (Setneg), memakai logika tukang ojek. Selengkapnya...

Menanti ”Judicial Review” APBN

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Banyak kalangan kecewa atas sikap pemerintah yang tidak menyambut baik tawaran debt moratorium (penundaan pembayaran utang) pascabencana tsunami di Aceh. Padahal gagasan itu diluncurkan Kanselir Jerman Gerhard Schroeder selaku salah satu negara kreditor dan didukung Inggris, Italia, Jepang, Kanada, dan Prancis. Kita mungkin gusar atas sikap pemerintah RI yang tak melakukan upaya sama sekali terhadap peluang emas senilai minimal Rp 20 triliun sampai Rp 25 triliun pada tahun 2005 itu. Selengkapnya...

Urgensi Pengubahan UU BUMD

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Undang-undang tentang Pemerintah Daerah (telah direvisi) tampaknya merangsang gairah Pemerintah Daerah (Pemda) - terutama daerah-daerah kaya - mendirikan perusahaan daerah (lebih dikenal sebagai Badan Usaha Milik Daerah, BUMD) baru. Pemda dimaksud bisa provinsi, bisa pula kabupaten atau kota (Pemprov, Pemkab, Pemkot). Selengkapnya...

Menyoal Protes Atas Pajak Yang Berlaku Surut

Oleh : Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum di Jakarta


Peraturan Pemerintah No. 12/2001 sebagaimana diubah dengan PP No. 43/2002 dan PP No. 46 2003 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai keberlakuannya berdaya laku surut. Selengkapnya...

Melindungi Saksi Kasus Korupsi

Tulisan ini dipublikasikan pada http://www.Gusdur.net tanggal 10 Maret 2004

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Praktisi Hukum



Korupsi adalah sebuah kosa kata yang mungkin paling
sering diucapkan dan ditulis berbagai kalangan pasca
kejatuhan Soeharto, memasuki orde reformasi. Di era
inilah bebas mengemukakan pendapat. Di era ini juga
korupsi lebih terang-benderang dan tanpa tedeng
aling-aling.

Rupanya, virus korupsi yang telah disuntikkan oleh
penguasa sebelumnya guna merusak moral bangsa dan
menyehatkan pemerintahannya, hingga kini belum juga
punah dari jaringan tubuh bangsa Indonesia. Bahkan,
virus itu nampak sekarang semakin ganas, sehingga
mengakibatkan penyakit korupsi lebih kronis dan pada
stadium yang sangat membahayakan.

Namun, berbarengan dengan itu, kosa-kata koruptor
jarang digunakan. Sebabnya, meski negeri ini
"berprestasi" memeperoleh peringkat ke-6 terkorup di
dunia. Sayangnya, (nyaris) tanpa koruptor yang
dijebloskan ke hotel prodeo.

Abdurahman Wahid, yang lebih sering disapa Gus Dur,
ketika menjabat presiden, sempat melontarkan ide
"mengimpor" hakim. Sebagai tokoh yang penuh kejutan,
ide tersebut masih cukup mengejutkan. "Impor" hakim
merupakan refleksi klimaks ketidakpercayannya pada
institusi penegak hukum stadium tertinggi, titik
nadir.


Tidak Menampakkan Hasil

Awalnya, kegagalan pemberantasan korupsi dianggap
disebabkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UUPTK) tidak menganut pembuktian terbalik. Secara
sederhana, sistem pembuktian terbalik dapat
didefinisikan, sistem pembuktian dalam proses
perkara pidana yang membebankan terdakwa membuktikan
bahwa dirinya tidak bersalah atas dakwaan yang
ditujukan kepadanya. Dengan kata lain, terdakwa
dianggap bersalah, kecuali dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak bersalah.

Sistem tersebut merupakan pengecualian Hukum Acara
Pidana sebagaimana diatur pasal 66 UU No.8/1988
tentang Hukum Acara Pidana yang menganut praduga tak
bersalah, yakni tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian. UUPTK No.3/1971
memberikan keleluasaan hakim secara subyektif jika
dianggap perlu, dapat membebankan terdakwa
membuktikan tidak korupsi.

Selanjutnya, UUPTK No.31/1999 yang menggantikannya
menganut pembuktian terbalik 'pura-pura'. Pasal 37
ayat (1) menyatakan, "terdakwa mempunyai hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi. Penjelasannya, ketentuan ini merupakan
suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang
menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut
ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi.

Sesungguhnya, pembuktian terbalik justru menghukum
terdakwa dengan mewajibkannya untuk membuktikan
tidak melakukan korupsi. Sedangkan, pasal tersebut
menetapkan hak terdakwa untuk membuktikannya tidak
melakukan korupsi. Padahal, dalam sistim hukum acara
pidana konvensional juga diberikan hak bagi terdakwa
membela dirinya yang merupakan bagian dari HAM yakni
pengadilan wajib memberikan hak (kesempatan) bagi
terdakwa untuk membela diri.

Kemudian, UU No.31/1999 diubah beberapa pasal dengan
UU No.20/2001 yang secara substantif menganut sistem
pembuktian terbalik. Mestinya, perubahan ini
mempermudah pemberantasan korupsi yang hasilnya
telah dilakukan secara 'lurus' (tidak terjadi money
laundering).

Namun, kenyataannya perubahan tersebut belum
(tidak?) menampakkan hasil significant bagi
pemberantasan korupsi. Sebabnya, korupsi dilakukan
gotong royong, yakni dilakukan secara bekerja sama
dan sitematis. Contohnya, Endin selaku pelapor kasus
korupsi, dijadikan tersangka pencemaran nama baik.
Hukum tidak melindungi pelapor/saksi (yang teribat
dalam korupsi, baik sebagi pemberi maupun penerima
gratifikasi (pemberian dalam arti luas, meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pegobatan cuma-cuma,
dan fasilitas lainnya) dari ancaman dijadikan
tersangka.


Memecah Belah Koruptor

Pemberantasan korupsi harus memecah belah
solidaritas koruptor. Sebab, ternyata pembuktian
terbalik tidak kuat mendobrak benteng yang dibangun
bergotong royong oleh koruptor. Mungkin, 'devide et
impera', sebagai upaya memecah belah solidaritas
kegotongroyongan koruptor harus diterapkan.

Subtsansi UUPTK telah memperkuat solidaritas
kegotongroyongan antarkoruptor saling menutupi.
Sebab memberikan ancaman pidana terhadap pemberi dan
penerima gratifikasi.

Konsep tersebut justru menyebabkan korupsi sulit
diberantas. Hampir dipastikan, pemberi dan penerima
gratifikasi, selamanya tutup mulut. Sebab, jika
salah satu pihak (pelaku) berniat membongkar, sang
pelapor (baik pemberi atau penerima gratifikasi)
akan dikenakan sanksi selaku pelaku korupsi. Tanpa
ada jaminan pengampunan baginya oleh UU untuk tidak
dituntut di pengadilan.

Perubahan revolusioner materi UUTPK yang masih
"konvensional" diperlukan. Beberapa hal di bawah ini
dapat dijadikan pertimbangan.

Pertama, pelapor yang berinisatif pertama (meski
pemberi atau penerima gratifikasi) diberikan
perlindungan oleh UU untuk dibebaskan dari tuntutan
pidana atas tindak pidana korupsi yang telah
dilaporkannya. Ini untuk mendorong pelaku korupsi
yang insyaf agar dapat membantu membongkar korupsi.

Pertimbangannya, bagi pihak yang terpaksa memberikan
gratifikasi untuk menuntut haknya, maka dapat
menyeret pejabat korup ke pengadilan. Di sisi lain,
bagi pemberi gratifikasi kepada pejabat yang bersih
dengan maksud-maksud tertentu, maka pejabat tersebut
dapat membongkar niat busuk pemberi gratifikasi
dengan memperoleh bukti yang valid, yakni dengan
menerima gratifikasi tersebut dan segera
melaporkannya kepada pihak yang berwenang.

Dengan demikian, akan tercipta saling curiga antar
pelaku korupsi dan tidak akan merasa nyaman atas
gratifikasi yang telah diberikan atau diterimanya.
Begitu salah satu pihak melaporkanhanya maka
habislah nasibnya.

Dengan kata lain, "insentif" diberikan untuk memecah
belah solidaritas para koruptor untuk buka mulut.
Sebab, inisiator pertama akan dibebaskan dari
ancaman pidana.

Kedua, ketentuan satu diatas hanya berlaku bagi
tindak pidana yang tidak merugikan kekayaan negara.
Jika terdapat kerugian negara, maka bagi pelapor
(untuk menemukan tersangka lain), cukup diwajibkan
baginya mengembalikan jumlah kerugian negara
tersebut (dengan mempertimbangkan unsur bunga dan
harga pasar), sedangkan tuntuntutan pidana penjara
terhadapnya tidak dikenakan.

Ini dimaksudkan agar tidak disalahgunakan pihak yang berpura-pura membongkar kasus korupsi, namun sebenarnya dia mendapatkan keuntungan ekonomi atas kasus tersebut.

Semoga saja dengan model perlindungan korupsi yang demikian, para mantan koruptor yang telah insyaf akan berbondong-bondong menjadi saksi pelapor. Siapa cepat, dia akan bebas. Kita tunggu.


Gusdur.net

Surat Keterangan Lunas Bukan Jaminan Bebas Tuntutan Pidana

Jakarta - Kedatangan 3 pengemplang BLBI ke Istana Presiden kembali mengungkit sebuah isu basi yang penuh kontroversi, yakni soal pemberian release and discharge (R&D). Sedianya R&D diberikan setelah para pengemplang BLBI mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL). Selengkapnya...

Pengampunan Tak Ada Ujung

Harus diakui, BPPN sejak awal sering membuat terobosan. Di satu sisi, hal ini dimaksudkan untuk ”menyelesaikan pekerjaannya.” Di lain sisi, hal itu mengundang kontroversi, misalnya tak kembalinya uang triliunan rupiah yang disebut oleh Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai ”biaya krisis”. Orang bertanya-tanya: sebegitu besarkah biaya krisis itu hingga mencapai ratusan triliun rupiah? Adakah hal tersebut bukan pertanda kegagalan badan yang dibentuk untuk menyelamatkan uang negara itu sendiri? Selengkapnya...

Kasasi Prudential dan Revisi UU Kepailitan

Oleh:Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta


PT Asuransi Prudential Life Assurance (Prudential) mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (MA) pada 30 April 2004 atas putusan pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat (PN) 23 April 2004 lalu. Berdasarkan UU Kepailitan, maka 30 hari kemudian (sejak 30 April), nasib Prudential akan diputus MA. Selengkapnya...

Bila Pemkab Berbisnis Minyak

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta


Setelah berlarut-larut, nota kesepahaman (MoU) perpanjangan kontrak pengelolaan Migas di Blok Cepu akhirnya 25 Juni 2005 ditandatangani Exxon Mobil dan tim negosisasi bentukan pemerintah. Kesepakatan ini akan mengakhiri kontrak bantuan teknis (Technical Assistance Contract –TAC) antara Exxon dan Pertamina, berubah menjadi Kontrak Bagi Hasil (KBH). Untuk 30 tahun ke depan, Blok Cepu akan dikelola perusahaan patu-ngan yang akan bertindak sebagai kontraktor bagi hasil. Perusahaan patungan ini sahamnya akan dimiliki Pertamina 45%, Exxon 45%, dan pemerintah kabupaten (Pemkab) Bojonegoro 10%. Selengkapnya...

Jumat, Maret 23, 2007

Inul Vs Rhoma dalam Perspektif UU Hak Cipta

Tulisan ini pernah dipublikasikan www.hukumonline.com edisi 15 Juni 2003

Oleh : Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta


Inul Daratista, 'Sang Bintang' kembali beraksi. Setelah meluncurkan album perdananya yang bertajuk Inul Bergoyang, kini Inul kembali menjadi berita. Pelantun dangdut yang memiliki nama asal Ainul Rokhimah dan sempat diulas dua halaman oleh majalah internasional Times, ini mendapat gelar Ratu Ngebor . Suatu julukan yang diberikan atas gaya goyangnya yang seperti ngebor saat melantunkan tembang. Kini, Sang Ratu menuai protes dari Raja Dangdut, Rhoma Irama, selaku ketua Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI).

Rhoma protes atas gaya goyang ngebor sang ratu. Ia menilai goyang Inul sensual, erotis, dan bisa merusak moral bangsa (selanjutnya disebut erotis). Bahkan, Raja Dangdut 'mengharamkan' lagunya dinyanyikan oleh sang Ratu Ngebor dan beberapa penyanyi lain yang dianggapnya melantunkan lagu dengan goyangan yang erotis. Konon, larangan tersebut juga berlaku bagi lagu ciptaan anggota PAMMI lainnya (Rhoma dkk.).



Tulisan di bawah ini tidak bertendensi pro atau kontra atas goyang ngebor Inul termasuk dalam kategori erotis atau bukan. Tapi, menitikberatkan pada (i) hak pencipta lagu terhadap lagu ciptaannya, (ii) konsekuensi hukum yang ditanggung oleh pelantun tembang apabila melanggar larangannya dalam perspektif Undang-Undang Hak Cipta, dan (iii) otoritas pencipta lagu untuk menafsirkan Erotis atas pelantun lagu yang dilarang menyanyikannnya.


Pencipta lagu dan hak cipta



Presiden telah mengesahkan UU No. 19/ 2002 tentang Hak Cipta (UU HCB) pada 29 Juli 2002 yang menggantikan UU No.6/1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan UU No.12 / 1997 (UU HCL). Namun, UU HCB itu baru berlaku 12 bulan sejak tanggal diundangkan, yakni tanggal 29 Juli 2003. Dengan demikian, UU Hak Cipta yang sekarang berlaku adalah UU HCL.



Perseteruan Inul VS Rhoma dari perspektif hak cipta bertitik tolak dari penafsiran kewenangan pencipta (lagu) atas ciptaannya yang dilantunkan penyanyi. Dalam menembang, tentunya Inul telah menyanyikan lagu yang diciptakan oleh pencipta lagu. Sebab, ciptaan lagu adalah termasuk salah satu obyek ciptaan yang dilindungi, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 11 ayat 1 huruf d UU HCL atau pasal 12 ayat 1 huruf d UU HCB. Lantas, seberapa besar kewenangan yang dimiliki pencipta lagu? Untuk menjawabnya, tentu harus mengetahui hak yang melekat pada pencipta, yakni hak cipta.



UU HCL pasal 2 ayat 1 mendefinisikan hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut pasal 2 ayat 1 UU HCB, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Adapun yang dimaksud dengan pengumuman adalah pembacaan, penyuaraan, penyiaran atau penyebaran sesuatu ciptaan, dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain (pasal 1 angka 4 UU HCL). Sedangkan UU HCB mendefinisikan pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apaun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.



Mendasarkan pada definisi tersebut, Inul dalam melantunkan tembang karya Rhoma dkk, termasuk dalam kategori melakukan tindakan pengumuman sebagai mana dimaksud dalam UU Hak Cipta. Dengan demikian, jelas bahwa tindakan Rhoma dkk yang menyatakan bahwa mereka tidak memberikan ijin atas lagu-lagu ciptaan mereka untuk dinyanyikan ole Inul dengan gaya tarian yang erotis adalah dalam batas kewenangan yang diberikan oleh UU Hak Cipta sebagaimana dijelaskan di atas.



Dengan kata lain, hak Rhoma dkk tersebut merupakan hak 'derivatif' (turunan, yakni timbul karena sebagai pencipta) yang diberikan oleh UU HCL bagi pencipta dalam rangka kewenangan mengumumkan ciptaannya. Hal penting untuk diperhatikan adalah konsekuensi hukum yang akan ditanggung oleh penyanyi yang melanggar larangan pencipta lagu, yakni tetap menyanyikan lagu ciptaan dengan tarian tertentu yang dilarang penciptanya. Apakah ancaman gugatan perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, ataukah ada peraturan lain?



Berdasarkan UU HC (pasal 41 ayat 1 UU HCL atau pasal 72 UU HCB) memberikan ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda bagi pihak yang mengumumkan suatu hak (karya) cipta tanpa hak. Dengan demikian, seorang penyanyi yang dilarang menyanyikan lagu ciptaan seseorang dengan gaya tarian tertentu (meskipun mungkin tidak melanggar norma kesusilaan dan kesopanan yang telah mendapatkan keputusan pengadilan yang tetap) dan kemudian sang penyanyi melanggar larangan sang pencipta, maka terkena ancaman sanksi pidana penjara dan/atau denda.



Seluas itukah penafsiran pengadilan di Indonesia atas hak cipta? Penulis masih menyangsikannya. Selain itu juga, ditilik dari sejarah dan filosofi hak cipta, nampaknya lebih pada perlindungan agar pencipta memperoleh keuntungan ekonomis dari karya cipta sang pencipta. Hak cipta, diperkenalkan, bukan dalam rangka memberi kewenangan absolut yang tidak berkaitan dengan hak ekonomi sang pencipta. Hal ini didukung dengan perubahan kompetensi penyelesaian sengketa hak cipta yang diperkenalkan dalam UU HCB, yakni dalam kompetensi pengadilan niaga.



UU Hak Cipta di Indonesia tidak secara tegas mewajibkan kepada pihak yang melakukan pengumuman atas karya cipta dan mendapatkan keuntungan ekonomis atas pengumuman tersebut untuk memberikan semacam royalti atau imbalan dalam jumlah yang wajar (tertentu) kepada sang pencipta atau pemegang hak cipta. Sebenarnya, apabila diatur demikian, dapat diatur secara khusus bagi pelanggar ketentuan tersebut 'cukup' dikenakan ancaman denda saja ataukah perlu ancaman pidana. Dengan tidak adanya aturan khusus tersebut, otomatis ancaman sanksi pidana penjara masih mungkin dikenakan.



Jelasnya, dalam hal ini UU Hak Cipta tidak mewajibkan bagi penyanyi yang menyanyikan lagu atau pihak lainnya yang memperoleh keuntungan ekonomis untuk memberikan royalti atau imbalan kepada pencipta lagu yang telah dinyanyikannya. Tidak adil bukan? Sebab, penyanyi tidak mungkin bisa menerima bayaran atas aksi panggungnya tanpa lantunan lagu yang diciptakan sang pencipta.



Bayangkan, konon Inul bisa menerima honor sekitar Rp10 juta sampai Rp15 juta untuk satu lagu yang dilantunkannya (Majalah Tempo Edisi 5-11 Mei 2003). Sementara hukum tidak mewajibkan Inul untuk memberikan royalti dalam persentase tertentu (jumlah yang wajar) dari imbalan yang diterimanya kepada sang pencipta lagunya.


Otoritas penafsir moral



Persoalan yang menarik untuk dikaji adalah justru kewenangan untuk menafsirkan bahwa siapakah yang punya otoritas untuk menafsirkan bahwa gaya tarian seseorang erotis. Apakah ini melekat pada sang pencipta lagu secara absolut dan mutlak, atau ada pada otoritas badan peradilan.



Ada dua otoritas yang berhak menafsirkan erotis. Pertama, pencipta lagu (yang melarang lagunya untuk dinyanyikan oleh orang tertentu dengan tarian yang dinilainya erotis). Kedua, hakim dalam kaitannya erotis yang termasuk dalam kategori tindak pidana kesopanan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Keduanya bisa saja menilai sama. Namun, bukan tidak mungkin memiliki penilaian yang berbeda atas kadar erotis.



Hak pencipta lagu untuk menafsirkan erotis atau tidak tersebut terlahir dari hak 'derivatif'-nya selaku pencipta sekaligus pemegang hak cipta yang memiliki hak khusus untuk mengumumkan (dalam hal ini untuk dinyanyikan) oleh penyanyi tertentu. Dengan demikian, 'larangan' Rhoma dkk tersebut absah dari perspektif hak cipta dan bukan dalam lingkup erotis secara hukum pidana. Rhoma dkk. memiliki hak melarang Inul untuk melantunkan tembang ciptaan mereka dengan gayaeErotis versi Rhoma. Meskipun, sangat mungkin apabila dibawa ke pengadilan tidak termasuk erotis yang melanggar KUHP.



UU Hak cipta memberikan hak mengumumkan tersebut kepada pencipta atau pemegang hak cipta secara absolut, sepanjang yang tidak termasuk dalam hal pembatasan oleh hukum. Misalnya, untuk kepentingan negara, pendidikan, dan ilmu pengetahuan.



Padahal, tarian gaya ngebor a la Inul tersebut bisa saja termasuk dalam kategori obyek hak cipta yang dilindungi Undang-Undang. Yakni, sebagai karya cipta tari (koreografi), sebagaimana dimaksud pasal 11 ayat 1 huruf e UU HCL atau pasal 12 ayat 1 hurug e UU HCB. Dengan catatan, apabila gaya ngebor tersebut tidak termasuk yang melanggar tindak pidana kesopanan sebagaimana diatur KUHP.



Secara hukum pidana positif, seseorang telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap kesopanan (tarian yang erotis) sebagaimana dimaksud pasal 281 KUHP adalah apabila telah ada keputusan hakim di pengadilan yang telah mempunyai keputusan tetap. Dengan kata lain, otoritas penafsir bahwa seseorang telah melakukan goyangan erotis yang termasuk dalam pelanggaran hukum adalah terletak pada sang hakim.



Penilaian Rhoma atas goyang ngebor adalah bukan otoritasnya dalam kategori erotis yang diatur KUHP. Rhoma hanya dapat menjalankan perannya selaku warga negara dalam kategori pelapor apabila goyang ngebor Inul dianggap atas dugaanya bahwa sang Ratu Ngebor telah melakukan tindak pidana. Itu pun apabila dia melaporkannya kepada kepolisian. Sebab, meski tindak kejahatan terhadap kesopanan bukanlah termasuk dalam kategori delik aduan, nampaknya polisi tidak menganggap goyang ngebor Inul dalam kategori melanggar KUHP.



Buktinya, kita saksikan bersama di TV, saat sang ratu bergaya dengan goyang ngebor-nya di hadapan ribuan penggemarnya, justru yang menjaga keamanannya adalah pihak yang berwajib. Namun ditegaskan sekali lagi, bahwa sang polisi pun bukanlah otoritas yang punya kewenangan menilai suatu tarian melanggar KUHP atau tidak, melainkan hakim.



Kasus yang dianggap tindak pidana kesopanan yang masih bersifat debatable antara seni, kebebasan berekspresi, atau erotis memang belum kunjung selesai di Indonesia. Kasusnya sering mengambang dan hilang disingkirkan oleh berita lainnya. Bahkan, mungkin sengaja diambangkan. Karena, persepsi masing-masing kelompok sangat mungkin berbeda. Utamanya dua arus besar, yakni kaum seniman dan kelompok religius.



Penilaian masyarakat secara umum pun terhadap kesopanan bisa jadi mengalami pergeseran dari waktu ke waktu. Kesusilaan atau pun kesopanan bagi kelompok tertentu bukanlah sesuatu yang statis. Kita tunggu hakim sebagai pemegang otoritas untuk memberikan penafsiran erotis atau tidak yang bersifat kontekstual -- bahkan mungkin tentatif -- atas gaya tarian yang dianggap sebagian orang sebagai kebebesan seniman berekpresi yang lebih cenderung memandangnya dari sisi keindahan.



Manusia memang diciptakan begitu indah oleh Sang Pencipta. Namun, sebagaimana dikemukakan di awal tulisan ini, hakim tidak mungkin memberikan putusan tanpa kasusnya dibawa ke pengadilan. Semuanya bergantung kepada bagaimana kedua pihak yang bersengketa beritikad untuk hanya sekadar jadi berita besar ataukah menemukan penafsiran otentik dan valid atas pengertian erotis.

Keputusan RUPS Persero:Keputusan TUN atau Pemegang Saham?

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

[9/2/03]
Meskipun telah go public, komposisi pemegang saham PT Telkom Tbk. (Telkom) mayoritas dimiliki oleh negara Indonesia. Yakni, negara Republik Indonesia (51,19 %), pemodal nasional (5%), dan pemodal asing (43,81%) (sumber: website telkom.co.id per 30 November 2002). Ini berarti bahwa Telkom termasuk dalam kategori persero. Selengkapnya...

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang

Hukumonline.com 5 Juli 2003

Oleh: Sulistiono Kertawacana
Advokat di Jakarta

Menanti Perlawanan Kembali Direksi Semen Padang
[5/7/03]

Reformasi memberi banyak perubahan tingkah-polah masyarakat Indonesia. Dari semula pendiam menjadi begitu agresif. Tak terkecuali, sikap direksi yang berani menunjukkan perlawanannya terhadap pemegang saham. Kini, refomasi kembali melahirkan perseteruan, yakni antara Direksi PT Semen Padang (PTSP) dengan PT Semen Gresik (PTSG) selaku pemegang saham PTSP. Pokok sengketanya masalah kekuasaan tampuk kepemimpinan dalam pengelolaan PTSP.

Perseteruan ini menarik dikaji dari perspektif hukum perseroan guna menambah khasanah perkembangan hukum di Indonesia. Sejauh mana kewenangan pemegang saham mengganti direksi/komisaris atas dasar alasan subyektif. Indonesia yang menganut civil law system, miskin akan referensi putusan pengadilan yang terdokumentasi dan tersosialisasi secara memadai yang berupa ulasan para pakar dan praktisi hukum. Hal ini (mungkin) terkait dengan mainstream yang berkembang bahwa bagi negara penganut civil law system, peranan pengadilan dalam perkembangan hukum sangat tidak menonjol, berbeda dengan common law system.



Sepanjang pengamatan penulis, sengketa direksi dan pemegang saham yang terekspose cukup besar di media massa, inilah yang kedua kali. Pertama, Direksi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ketika itu terkesan tak sejalan dengan pemerintah (pemegang saham) untuk 'konsisten' melanjutkan kontrak kerjasama dengan investor asing yang ditandatangani di era Orde Baru. Konon, kontrak tersebut beraroma KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Dalam hitungan bisnis, tidak menguntungkan PLN. Padahal, dari pemberitaan di media massa, terkesan Direksi PLN berniat untuk membatalkannya.



Sayang, Direksi PLN memilih mengundurkan diri ketimbang menunggu 'dipecat' dan melakukan perlawanan di pengadilan akibat perbedaan pandangan dengan pemegang saham (pemerintah) demi kepentingan PLN. Langkah hukum ini penting bagi dunia hukum guna menguji absoluditas kewenangan pemegang saham terhadap perusahaannya bila direksi menganggap bertentangan dengan maksud dan tujuan perseroan.



Lakon perlawanan Direksi PTSP



Perseteruan bermula di awal tahun 2002, Menteri BUMN selaku wakil pemerintah (pemegang saham) di PTSG -- PTSG pemegang saham PTSP -- berniat mengganti anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Konon, alasannya kinerja keuangan PTSP yang kurang baik. Namun, alasan tersebut dibantah Direksi PTSP.



Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) adalah forum yang akan digelar untuk mengganti Direksi dan Komisaris PTSP oleh PTSG selaku pemegang saham, sebagaimana dimungkinkan oleh UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Direksi berwenang menyelenggarakan RUPS(LB) (pasal 66 UUPT). Namun, UUPT juga memberi pemegang saham hak inisiatif dengan mengajukan permintaan disertai alasan (agenda acara) kepada direksi atau komisaris untuk menyelenggarakan RUPS(LB).



Apabila lebih dari 30 hari terhitung sejak permintaan penyelenggaraan RUPS(LB), direksi atau komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS(LB), maka ketua Pengadilan Negeri tempat kedudukan Perseroan dapat memberikan ijin pemegang saham selaku pemohon melakukan sendiri pemangggilan RUPS(LB).



Berbekal hak yang diberikan UUPT, PTSG (pemegang saham) berniat mengganti Direksi dan Komisaris PTSP melalui RUPSLB dengan alasan kinierja keuangan PTSP memburuk. Karuan saja, keinginan ini ditentang Direksi dan Komisari PTSP. Alasannya, rencana RUPSLB tidak diberitahukan kepada Direksi PTSP sebagaimana yang diatur UUPT. Akibatnya, tak terhindarkan sengketa antara keduanya terjadi melalui pengadilan.



Pengadilan Negeri (PN) Padang melalui Penetapan Ketua PN telah menolak dua kali keinginan PTSG menyelenggarakan RUPSLB, sebagaimana dalam penetapannya tanggal 12 Juni 2002 dan 7 September 2002. Konon, alasan penolakannya adalah karena tidak sesuai prosedur UUPT, bukan substansi penggantian direksi dan Komisaris PTSP. PTSG seharusnya menyampaikan permintaan kepada Direksi atau Komisaris PTSP terlebih dahulu, sebelum mengajukan permohonan kepada ketua PN untuk menyelenggarakan RUPSLB.



Sangat mungkin, PTSG memiliki praduga bahwa Direksi dan Komisaris PTSP tidak akan rela menyelenggarakan RUPSLB dengan agenda untuk memberhentikan jabatan mereka. Terdapat conflict of interest, sebagaimana dimaksud pasal 84 ayat (1) huruf b UUPT. Sehingga, PTSG langsung mengajukan permohonan untuk menyelenggarakan RUPSLB pada ketua PN setempat.



Meski pernah ditolak dua kali oleh ketua PN Padang, akhirnya pada 29 April 2003, MA mengeluarkan putusan kasasi yang mengijinkan PTSG menyelenggarakan RUPSLB untuk mengganti direksi dan komisaris PTSP. Pada 12 Mei, PTSG akhirnya menyelenggarakan RUPSLB dan berhasil mengganti Direksi dan Komisaris Semen Padang yang lama.



Masih ada kesempatan untuk melawan



Umumnya, Anggaran Dasar PT mengatur jabatan Direksi dan/atau Komisaris berakhir apabila (i) dinyatakan pailit atau ditaruh di bawah pengampuan berdasarkan suatu keputusan pengadilan, (ii) mengundurkan diri, (iii) tidak lagi memenuhi persyaratan peraturan perundangan yang berlaku, (iv) meninggal dunia; atau (v) diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS(LB).



Anggota direksi dan/atau komisaris dapat sewaktu-waktu diberhentikan RUPS(LB) dengan menyebutkan alasannya. Keputusan mengganti diambil setelah anggota direksi dan/atau komisaris tersebut diberi kesempatan membela diri dalam RUPS(LB). Apabila yang bersangkutan tidak hadir, maka RUPS(LB) dapat memberhentikannya (pasal 91 juncto pasal 101 UUPT).



UUPT mengatur sedemikian rupa kemungkinan pemberhentian anggota direksi dan/atau komisaris hanya melalui RUPS(LB). Sebab, terkait dengan nama baik dan reputasi anggota direksi dan/atau komisaris yang diberhentikan secara mendadak (di tengah masa jabatannya). Pemberhentian di tengah masa jabatan, identik dengan pemecatan. Oleh karena itu, pengambilan keputusannya dikecualikan dari keputusan RUPS(LB) yang dapat dilakukan melalui Circular Resolution.



Padahal, umumnya pasal 22 ayat 9 Anggaran Dasar Perseroan diatur bahwa keputusan yang dibuat melalui Circular Resolution yang telah disetujui dengan suara penuh oleh semua pemegang saham, akan memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai keputusan RUPS(LB) perseroan.



Circular ini dimungkinkan dalam rangka untuk mengakomodasi kepraktisan praktek dunia bisnis. Pasalnya, begitu sulit mempertemukan pemegang saham dalam waktu dan tempat secara bersamaan. Namun, penggantian anggota anggota direksi dan/atau komisaris, UUPT tidak mengakomodasinya. Begitu besar UUPT melindungi nama baik direksi dan komisaris perseroan, hingga pemberhentiannya harus melalui RUPS(LB) yang memebrikan kesempatan untuk membela diri.



Kembali ke perseteruan antara Direksi PTSP dan PTSG (pemegang saham PTSP). Semestinya, perlawanan Direksi PTSP tidak berhenti setelah keputusan RUPSLB digelar dan berhasil memutuskan penggantian anggota Direksi dan Komisaris PTSP. Sejatinya, direksi dan komisaris lama PTSP mempunyai dua kesempatan untuk mempertahankan argumennya menolak alasan penggantian mereka oleh PTSG selaku pemegang saham yakni karena kinerja keuangan yang menurun.



Pertama, Direksi PTSP dapat melakukan pembelaan diri pada RUPSLB. Tentunya, disertai bukti dan alasan yang valid. UUPT memang memberikan wewenang kepada pemegang saham mengganti direksi dan komisaris yang ditunjuknya secara subjektif. Namun alasan kali ini, sesuatu yang dapat diukur secara akuntasi/ekonomi, yakni kinerja keuangan PTSP yang memburuk.



Mungkin, di RUPSLB ini Direksi dan Komisaris PTSP mengalami kesulitan untuk menolak alasan pemegang saham mayoritas (PTSG). Sebab, PTSG bertindak dalam dua kapasitas pada saat bersamaan yakni 'penggugat' dan sekaligus hakim. Selaku 'penggugat', menilai kinerja keuangan PTSP memburuk. Selaku hakim, PTSG berhak memutuskan apakah dapat menerima alasan/pembelaan Direksi dan Komisaris PTSP atau tidak. Padahal, PTSG sudah berpraduga yang kurang baik atas kinerja mereka, sehingga penilaiannya relatif tidak objektif.



Kedua, melalui pengadilan. Sejatinya, Direksi dan Komisaris lama PTSG lebih efektif melakukan perlawanan secara optimal atas keputusan RUPSLB justru lewat pengadilan. Di sinilah Direksi dan Komisaris PTSG lebih mendapatkan hakim yang relatif independen dan bebas dari subjektivitas, karena di luar pihak yang bersengketa.



Direksi dan Komisaris PTSP dapat memberikan bukti dan alasan bahwa tuduhan pemegang saham (PTSG) kepada pihaknya adalah tidak benar. Atau bisa juga beralasan bahwa kinerja keuangan PTSP menurun bukan akibat kesalahan Direksi dan Komisaris PTSP, tapi karena kebijakan pemerintah di sektor semen yang merugikan PTSP. Misalnya, PTSP dijadikan anak perusahaan PTSG. Akibatnya, mau tidak mau PTSP kurang bebas mengambil keputusan bisnis yang mungkin berseberangan atau bahkan merugikan PTSG selaku induk perusahaan.



Selanjutnya, pengadilan akan menilai keputusan PTSG mengganti Direksi dan Komisaris PTSP didasarkan alasan yang benar atau tidak. Tentu, putusan hakim ini akan bersejarah bagi dunia hukum perseroan di Indonesia dan bisa dijadikan landmark verdict atau preseden. Yakni, putusan yang dapat digunakan sebagai acuan bagi putusan hakim di masa yang akan datang.



Hal ini penting untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat di Indonesia. Bisa saja, setelah putusan pengadilan yang menolak alasan penggantian anggota Direksi dan Komisaris PTSP, mereka mengundurkan diri. Yang jelas mereka keluar bukan karena 'dipecat', tapi lebih dengan cara yang terhormat, yakni dengan mengundurkan diri. Bukan karena kinerjanya tidak becus.



Kita dapat memetik pelajaran dari yurisprudensi di Belanda yang dikenal dengan Forum Bank Arrest, Arrest H.R. 21 Januari 1955 (N.J 1959 N.43). Adapun duduk perkaranya menyakut NV (semacam PT) Forum Bank dengan dua kelompok pemegang saham yang perbandingan kepemilikan sahamnya 4:1.



Dalam RUPS, kelompok mayoritas berhasil memaksakan untuk memerintahkan 300 saham yang mereka miliki dalam NV harus dibeli kembali oleh NV dengan harga @ pari. Dengan maksud agar dengan uang hasil penjualan tersebut, pemegang saham ini dapat bukan saja mengadakan perhitungan pelunasan atas hutangnya yang ada kepada NV. Namun, lebih daripada itu masih dapat menarik sejumlah uang dari NV yang bersangkutan.



Keputusan ini ditentang, utamanya kelompok pemegang saham minoritas, direksi dan komisaris NV, yang tidak bersedia mengadakan jual-beli sebagaimana dimaksud pemegang saham mayoritas. Adapun pertimbangan direksi, penjualan dengan harga @ pari tersebut tidak wajar jika dinilai dari harta NV tersebut. Jika dilaksanakan, akan membahayakan posisi NV tersebut (Forum Bank).



Akhirnya, diajukan gugatan ke Pengadilan untuk membatalkan keputusan RUPS tersebut dengan dua alasan. Pertama, pemegang saham mayoritas telah bertindak bertentangan dengan UU dan Anggaran Dasar NV serta kesusilaan, keadilan, kepantasan, dan/atau itikad baik. Kedua, sesuai degan hukum Belanda bahwa pengurusan NV dan pengurusan harta kekayaan NV adalah mutlak wewenang direksi.



Selanjutnya, pemegang saham mayoritas beralasan bahwa RUPS mempunyai kekuasaan tertinggi yang tidak dapat ditentang oleh direksi, meski direksi berpandangan lain. Pengadilan memutuskan menerima gugatan tersebut dan membatalkan keputusan RUPS atas dasar bahwa keputusan RUPS bertentangan dengan kepantasan dan itikad baik.



Semoga saja Direksi PTSP berkehendak mempersoalkan pemecatannya di pengadilan. Ini penting untuk iklim manajemen di BUMN dan anak perusahaannya. Selayaknya pemerintah harus menunjuk direksi dan komisaris pada BUMN atau anak perusahaannya (PTSP masuk dalam kategori ini) berdasarkan pertimbangan yang terukur. Asas profesionalitas harus lebih ditekankan, bukan perkoncoan atau karena kepatuhannya pada 'titah' pemerintah selaku pemegang saham, yang pada gilirannya akan membuat BUMN atau anak perusahaan tidak sehat.



Sudah waktunya kita berani menata ulang iklim profesionalitas di dunia BUMN dan anak perusahaannya. Dengan begitu, Indonesia yang banyak memiliki BUMN dan anak perusahaannya adalah benar-benar menjadi contoh baik bagi pilar bisnis di tanah air, menjadi pioner bagi penerapan good corporate governance.



Paradigma hukum selama ini (mungkin) menganggap pemegang saham memiliki hak secara absolut sekehendak hati atas perusahaannya adalah harus ditelaah secara kritis. Hukum punya kepentingan menciptakan sistem pengelolaan perusahaan yang profesional dan mandiri sesuai dengan kepentingan perusahaan, bukan kepentingan pemegang saham.



Ini penting untuk menciptakan perusahaan yang sehat dan berdaya saing tinggi. Utamanya bagi perusahaan yang bergerak di bidang usaha atas barang atau jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sebab, kehancuran dunia usaha tersebut sangat mungkin akan membawa gejolak sosial yang tidak bisa diremehkan. Hakim sebagai penjaga garda hukum, bisa melakukan insiatif penafsiran, sepanjang hukum yang tersedia belum melingkupinya. Kita tunggu saja keberanian hakim dalam memandang perkembangan di masyarakat yang (akan) tercermin dari putusannya. Tentu saja, ini harus dimulai dengan adanya kasus yang diajukan.

Dominasi Pasar dalam Tata Kelola Air di Indonesia

Oleh
Wijanto Hadipuro

Tema Hari Air Sedunia tahun pada 22 Maret 2007 ini adalah Coping with Water Scarcity. Jika tidak hati-hati, tema ini dapat mengarahkan air menjadi melulu barang ekonomi, mengingat kelangkaan merupakan hal pokok bagi ilmu ekonomi.Selengkapnya...

Menyoal Kepemilikan Saham Temasek pada Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia

Menyoal Kepemilikan Saham Temasek pada Perusahaan Telekomunikasi di Indonesia

Oleh
Ita Kurniasih


sumber : http://hukumonline.com
[22/3/07]

Dalam jawaban tertulis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR-RI pada 5 Februari 2007, KPPU menyampaikan hasil evaluasinya tentang kebijakan di sektor telekomunikasi.

Berkaitan dengan privatisasi dan merger perusahaan telekomunikasi, KPPU mengharapkan pemerintah tidak melakukan penjualan kepada pelaku usaha yang juga telah memiliki perusahaan telekomunikasi di Indonesia agar tidak mereduksi terjadinya persaingan usaha. Khusus mengenai privatisasi perusahaan telemokunikasi, kepemilikan Temasek pada perusahaan telekomunikasi di Indonesia menimbulkan masalah dari segi hukum persaingan usaha.

Melalui divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94% pada 15 Desember 2002 lalu, Temasek menjadi pemegang saham ganda atas perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Setidaknya secara tidak langsung melalui Singapore Technologies Telemedia (STT) yang 100% dimiliki oleh Temasek. Padahal, sejak 2002 sampai kini melalui Singapore Telecommunication Limited (Singtel)- yang 100% sahamnya dimiliki juga oleh Temasek- telah memiliki saham sebesar 35% di PT Telkomsel yang juga merupakan anak perusahaan PT Telkom Tbk. Hubungan STT, Singtel dan Temasek pada posisi tahun 2002 terlihat dalam bagan berikut.

Berdasarkan gambaran di atas dan diagram terlampir, penulis mencoba menganalisa apakah tindakan Temasek melalui STT tersebut akan membahayakan persaingan usaha di bidang telekomunikasi di Indonesia. Pasal 28 Ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat menyatakan ’Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat.’ Memang ketentuan itu tidak menjelaskan apa ukurannya suatu pengambilalihan saham sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat. Namun ada beberapa parameter penilaian yang dapat diuji terkait dengan tindakan Temasek tersebut untuk posisi 2002.

Pertama, penguasaan pasar di bidang telekomunikasi. STT, yang seluruh dimiliki oleh Temasek yaitu badan usaha milik pemerintah Singapura, pada Juli 2002 bersama Hutchinson Whampoa membeli Global Crosing senilai US$ 750 juta. Global Crosing adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang menguasai jaringan serat optik sepanjang 10 ribu mil yang menjangkau 27 negara di dunia termasuk Amerika, Eropa dan Asia Pasifik.

Dalam pengembangan jaringan globalnya, STT pada Oktober 2002 juga membeli Equinix dan Pihana Pasific. Keduanya adalah penyelenggara internet business exchange (IBM) sedang Pihana Pasific menyelenggarakan neutral internet exchange data center di Asia Pasific. Kemudian pada Desember 2002 STT dinyatakan sebagai pemenang atas divestasi saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94%. Selain itu, melalui Singtel sebagai perpanjangan tangannya Temasek juga memilliki saham sebesar 35% di PT Telkomsel yang merupakan anak perusahaan dari PT Telkom Tbk. Sehingga dengan menguasai Indosat, Telkomsel, Global Crossing, Pihana Pasific dan Equinix, berarti Temasek menguasai hampir separuh jaringan telekomunikasi dunia.

Kedua, soal posisi dominan dalam bidang telekomunikasi. Setelah diketahui bahwa Temasek menguasi pasar di bidang telekomunikasi dan struktur kepemilikan saham Temasek diatas, maka dapat dikatakan Temasek berada dalam posisi dominan dalam bidang telekomunikasi. Karena, dengan menguasai mayoritas kepemilikan saham di bidang telekomunikasi itu, Temasek dapat mendominasi susunan anggota direksi dan komisaris. Akibatnya, Temasek berada dalam posisi sentral untuk mendorong dan mengarahkan rencana dan strategi perusahaan-perusahaan terkait. Keadaan demikian sangat berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan yang tidak sehat.

Hal ini dapat dilihat sebagaimana dituangkan dalam Shareholder Agreement dalam divestasi saham PT Indosat Tbk. Disebutkan bahwa dalam pemilihan dewan komisaris dan direksi ditetapkan berdasarkan simple majority. Akibatnya, Kementrian Negara BUMN sebagai kuasa pemegang saham seri A atau saham golden share namun memiliki jumlah kepemilikannya kecil hanya dapat mencalonkan komisaris dan direksi masing-masing hanya satu orang. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifnya kepemilikan atas saham seri A tersebut dan seberapa besar pengaruh satu orang direksi atau komisaris yang dicalonkan oleh Kementrian BUMN tersebut untuk dapat mengubah kebijakan PT Indosat Tbk tersebut apabila bertentangan dengan kebijakan dari STT?

Meskipun sebagai pemegang saham seri A Kementrian BUMN memiliki hak veto, tetapi dengan komposisi kepemilikan yang kecil tersebut dan pemilihan dewan komisaris dan dewan direksi ditentukan dengan simple majority, hak veto itu sulit untuk dapat dilaksanakan. Karena, memiliki saham golden share tanpa menjadi pemegang saham mayoritas maka saham golden share tersebut menjadi tidak berarti karena haknya hanya untuk pencalonannya satu orang direksi dan komisaris, pada akhirnya yang memutuskan adalah RUPS dengan simple majority.

Ketiga, analisa atas potensi kerugian akibat tindakan pengambilalihan saham PT Indosat tersebut. Divestasi sebesar 41,94% saham PT Indosat Tbk tersebut, menimbulkan potensi kerugian bagi Indonesia karena harga penjualan saham tersebut jauh di bawah nilai strategis PT Indosat Tbk. Adapun nilai strategis PT Indosat Tbk antara lain:

a. Indosat sebagai pemegang lisensi frekuensi GSM selular dengan total 15 Mhz paling besar dibandingkan dengan Telkomsel dan Exelcom sebesar 12,5 Mhz;

b. Lisensi yang dimiliki oleh Indosat Group adalah seluler, telepon lokal, telepon SLJJ, telepon SLI 001dan 008, satelit, Network Access Point Internet, VOIP 2 buah, TV kabel dan multimedia;

c. Pelanggan Indosat terdiri dari:
(1) 3,1 juta pelanggan seluler Satelindo;
(2) 500.000 pelanggan IM-3
(3) 100% pelanggan SLI 001 (Indosat) dan 008 (Satelindo);
(4) Pelanggan Lintasarta, IM2 meliputi komunikasi data, internet, multimedia, 75% jaringan perbankan Indonesia, 30.000 pelanggan internet IM2, 300 pelanggan TV kabel IM2

d. Perangkat teknologi:
(1) 4 sentral gerbang teknologi
(2) 2 stasiun kabel laut internasional
(3) 5 stasiun bumi satelit
(4) Satelit palapa (untuk domestik), Intelsat & Inmarsat (untuk internasional)

e. Dari segi geografis, negara Indonesia diklasifikasikan sebagai space power state artinya negara yang berpotensi menjadi negara ruang angkasa sebagai suatu negara kepulauan memiliki kekayaan alam yang melimpah, keadaan cuaca yang positif dan memiliki laut pedalaman yang luas. Belum lagi penduduk yang besar sehingga berpotensi untuk pasaran telekomunikasi.

f. Kemudian Indonesia negara yang dipotong oleh garis khatulistiwa sehingga berada dibawah geo stationary orbit (GSO) berjarak kurang lebih 360.000 km dari permukaan bumi merupakan tempat yang efisien dan ekonomis untuk meletakkan satelit telekomunikasi karena bebas dari pengaruh negatif seperti gempa bumi, badai listrik, tanah longsor. Satelit Indosat mempunyai kedudukan di GSO di atas Indonesia dan mempunyai nilai dari segi ekonomis, budaya, strategi keamanan, pertahanan dan masa depan pembangunan bangsa Indonesia. Dengan adanya satelit Indosat memudahkan untuk mengakses informasi mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan sehingga dapat dikatakan: “who controls Indosat, controls not only Indonesia but the whole South East Asia” (Priyatna Abdurasyid, 2003).

Keempat, analisa peraturan terkait dengan privatisasi. Ketentuan tentang privatisasi yang dikeluarkan oleh Kementrian BUMN dan PP No. 30 tahun 2002 tentang Penjualan Saham Milik Negara Republik Indonesia pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indosat Tbk, mensyaratkan kriteria calon investor adalah:

a. pihak yang bukan merupakan:
(1) operator telekomunikasi yang berdomisili hukum di Indonesia dan dimiliki oleh Pemerintah RI sebesar 25% atau lebih dari saham yang ditempatkan dalam pihak ini;
(2) anak perusahaan dari pihak (1) di atas yang memiliki ijin penyelenggaraan bisnis seluler bersifat nasional;
(3) anak perusahaan dari pihak (1) dan (2) di atas;
(4) pemilik saham mayoritas (lebih dari 25%) atas pihak (1) dan (2) diatas;

b. memiliki total asset atau dana dalam pengelolaan berdasarkan laporan keuangan terbaru minimal US$ 450 juta;

c. memiliki pengalaman signifikan sebagai operator dan/atau investor dalam bidang telekomunikasi dan/atau dapat menunjukan bahwa pihak tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kontribusi dalam bidang telekomunikasi.

Mengingat STT dimiliki 100% oleh Temasek dan Temasek juga memiliki 100% atas Singtel dimana Singtel sebagai salah satu pemegang saham dari PT Telkomsel sebagai anak perusahaan dari PT Telkom Tbk, sebagai salah satu operator telekomunikasi di Indonesia. Sehingga dapat dikatakan Temasek sebagai pemegang saham ganda di dua operator telekomunikasi dan menguasai industri telekomunikasi di Indonesia.

Berdasarkan analisa di atas, maka dapat dikatakan pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek selaku pelaku usaha dalam bidang telekomunikasi mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha persaingan tidak sehat di industri telekomunikasi. Sehingga, sudah tepat KPPU melakukan kajian atas tindakan Temasek tersebut khususnya hubungan STT dengan Temasek yang menguasai 35% saham di PT Telkomsel.

Salah satu kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 butir b dan l Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999): ”KPPU berwenang melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar undang-undang’.

Opsi tindak lanjut KPPU sesuai Pasal 47 ayat 2 huruf e UU No. 5/1999 adalah penetapan pembatalan atas pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek. Selain itu, pelanggaran atas Pasal 28 juga diancam dengan pidana denda dan pidana tambahan sebagaimana dalam Pasal 48 ayat 1 jo Pasal 49 UU No. 5/1999 pidana denda minimal Rp. 25 milyar dan maksimal Rp. 100 milyar atau pidana kurungan pengganti denda maksimal 6 bulan dan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha atau larangan untuk menjadi direktur atau komisaris minimal 2 tahun dan maksimal 5 tahun atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.

Oleh karena itu, pengambilalihan saham yang dilakukan Temasek melalui STT atas saham Indosat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat melanggar UU No. 5/1999 sehingga harus dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. UU No. 5/1999 memang dirancang untuk mengoreksi tindakan dari pelaku ekonomi yang memiliki posisi yang dominan kaena mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha tersebut. Selain itu maksud dari diadakannya privatisasi adalah untuk mendorong persaingan yang sehat bukannya untuk memonopoli usaha dibidang telekomunikasi di Indonesia.



*) Penulis adalah peneliti pada Centre for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL)

Jumat, Maret 16, 2007

Perkawinan: Kahlil Gibran

"...Kalian telah diciptakan berpasang-pasangan, dan selamanya pula kalian akan berpasangan. Tapi biarkan ada ruang antara kalian, tempat angin surgawi melintas dan memainkan tarian...
Saling mengasihilah selalu tapi jangan jadikan cinta sebagai belenggu. Biarkan cinta bergerak bebas bagaikan gelombang yang lincah mengalir antara pantai kedua jiwa....
Kalian dapat saling mengisi minuman tapi jangan minum dari satu piala, dan kalian dapat saling berbagi roti tapi jangan makan makan dari pinggan yang sama...
Bernyanyi dan menarilah bersama dalam segala suka dan duka, dan sisakan ruang bagi masing-masing untuk menghayati ketunggalannya. dawai-dawai kecapi punya sendiri-sendiri meskipun digetarkan oleh petikan tangan yang sama....."

(Perkawinan: Kahlil Gibran)